Kolom  

Hak Pemohon Informasi Publik

Oleh : Musfi Yendra*

Keterbukaan informasi publik menjadi salah satu fondasi utama dalam negara demokratis yang mendukung terciptanya tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel, serta baik. Hak atas akses terhadap informasi publik merupakan bagian dari hak konstitusional setiap warga negara, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam rangka mewujudkan jaminan atas hak ini, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Salah satu elemen kunci dalam regulasi ini ialah pengaturan mengenai pemohon informasi publik, termasuk siapa yang berhak mengajukan permintaan, persyaratan administratif yang harus dipenuhi, hingga prosedur yang berlaku ketika informasi tidak diberikan oleh badan publik.

UU KIP secara tegas menetapkan hak masyarakat untuk bertindak sebagai pemohon informasi. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 11 UU KIP, pemohon informasi publik adalah warga negara atau badan hukum Indonesia yang mengajukan permintaan informasi publik sesuai ketentuan undang-undang tersebut.

Dengan demikian, setiap individu, kelompok masyarakat, hingga lembaga berbadan hukum memiliki hak untuk memperoleh informasi publik dari badan publik, tanpa adanya diskriminasi. Ketentuan ini menunjukkan bahwa keterbukaan informasi bersifat inklusif dan dapat dimanfaatkan oleh semua pihak yang memiliki tujuan sah serta memenuhi syarat administratif dalam permohonan informasi.

Kedudukan hukum pemohon informasi diakui secara resmi oleh negara, memberikan perlindungan tidak hanya kepada individu seperti pelajar, mahasiswa, jurnalis, atau warga biasa, tetapi juga kelompok masyarakat seperti komunitas, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Selain itu, lembaga berbadan hukum seperti yayasan, organisasi profesi, partai politik, koperasi, bahkan perusahaan swasta yang berkedudukan di Indonesia juga dapat mengajukan permintaan informasi publik selama memiliki kepentingan sah atas informasi tersebut. Dengan terbukanya kesempatan ini, partisipasi masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan serta penggunaan anggaran negara menjadi semakin aktif dan kuat.

Hak-hak pemohon informasi diatur secara rinci dalam Pasal 4 UU KIP. Dalam ketentuan ini dijelaskan bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh informasi publik sesuai aturan yang berlaku, termasuk hak untuk melihat, mengetahui, serta menghadiri pertemuan publik yang terbuka guna mendapatkan informasi.

Pemohon juga berhak meminta salinan informasi publik melalui prosedur permohonan, serta berhak menyebarluaskan informasi tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, jika pemohon mengalami hambatan dalam mengakses informasi, mereka diberikan hak untuk mengajukan gugatan ke Komisi Informasi, sebagai bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh negara.

Dalam mengajukan permohonan informasi, pemohon harus mematuhi prosedur yang telah ditetapkan. Permohonan dapat disampaikan langsung ke kantor badan publik, dikirimkan melalui surat, email, ataupun sistem daring yang disediakan. Pemohon diwajibkan mencantumkan identitas lengkap, seperti nama, alamat, dan nomor kontak, serta menjelaskan secara rinci jenis informasi yang diminta, tujuan penggunaannya, dan format informasi yang diinginkan, apakah berupa akses langsung, salinan fisik, atau digital.

Sementara itu, bagi pemohon yang mewakili lembaga berbadan hukum, wajib melampirkan surat permohonan resmi, surat kuasa bila diwakilkan, serta dokumen legalitas lembaga seperti akta pendirian atau tanda daftar badan hukum.

Setelah permohonan diterima, badan publik melalui Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) wajib memberikan tanggapan dalam jangka waktu tertentu. Berdasarkan Pasal 22 UU KIP, badan publik harus merespons permohonan informasi maksimal dalam waktu 10 hari kerja sejak permohonan dinyatakan lengkap.

Jika informasi belum dapat diberikan dalam tenggat tersebut, badan publik dapat memperpanjang waktu paling lama 7 hari kerja, dengan catatan memberikan pemberitahuan beserta alasan tertulis kepada pemohon. Dengan demikian, total jangka waktu maksimal bagi badan publik dalam merespons permohonan informasi adalah 17 hari kerja, yang menjadi ukuran penting dalam menilai kinerja pelayanan keterbukaan informasi publik.

Dalam praktiknya, tidak semua permohonan informasi dapat langsung dipenuhi oleh badan publik. Terkadang, permohonan ditolak, diabaikan, atau informasi yang diberikan tidak sesuai dengan yang diminta. Apabila menghadapi situasi demikian, pemohon berhak mengajukan keberatan kepada atasan PPID, sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU KIP.

Keberatan ini dapat diajukan berdasarkan beberapa alasan, seperti penolakan informasi, informasi berkala yang tidak tersedia, permohonan yang tidak ditanggapi, informasi yang diberikan tidak sesuai, tidak dipenuhinya permintaan informasi, pengenaan biaya yang tidak wajar, atau keterlambatan penyampaian informasi. Atasan PPID wajib memberikan tanggapan tertulis terhadap keberatan tersebut dalam waktu maksimal 30 hari kerja setelah keberatan diterima.

Jika tanggapan terhadap keberatan tidak memuaskan atau tidak diberikan dalam batas waktu yang ditentukan, pemohon informasi berhak membawa sengketa informasi ke Komisi Informasi. Sesuai Pasal 36 UU KIP, pengajuan sengketa informasi harus dilakukan paling lambat dalam 14 hari kerja sejak diterimanya tanggapan keberatan atau berakhirnya tenggat waktu pemberian tanggapan.

Penyelesaian sengketa ini dilakukan melalui dua tahap, yaitu mediasi dan ajudikasi nonlitigasi. Mediasi bertujuan menemukan kesepakatan damai antara pemohon dan badan publik dengan bantuan mediator dari Komisi Informasi. Jika mediasi gagal, maka sengketa akan dilanjutkan ke tahap ajudikasi, yaitu persidangan administratif yang bersifat terbuka dan menghasilkan putusan final serta mengikat.

Meskipun mekanisme ini memerlukan ketekunan dan waktu yang tidak singkat, proses ini memberikan perlindungan hukum yang kuat kepada pemohon informasi sekaligus menjadi alat kontrol terhadap kinerja badan publik. Durasi waktu dari awal permohonan hingga potensi penyelesaian sengketa bisa berlangsung lebih dari 90 hari kerja, bergantung pada respons masing-masing pihak.

Prosedur ini menunjukkan kesungguhan negara dalam menjamin hak informasi sebagai bagian dari hak asasi warga negara. Di sisi lain, pemohon juga memiliki kewajiban moral dan hukum untuk menggunakan informasi yang diperoleh secara bertanggung jawab, menghindari penyalahgunaan yang dapat berujung pada konsekuensi hukum berdasarkan Undang-Undang ITE maupun KUHP.

Badan publik dilarang melakukan diskriminasi terhadap pemohon informasi berdasarkan latar belakang, profesi, atau tujuan permintaan, selama tidak bertentangan dengan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (3) UU KIP yang menyebutkan bahwa informasi publik harus disediakan secara mudah, cepat, dan biaya ringan, sesuai dengan prinsip pelayanan prima. Ketentuan tersebut menggarisbawahi bahwa penyediaan informasi publik merupakan bagian integral dari pelayanan publik yang harus dijalankan secara profesional, transparan, dan berorientasi kepada kepuasan masyarakat.

Melalui kerangka hukum ini, pemohon informasi publik memiliki peran vital dalam mengawal jalannya demokrasi di Indonesia. Mereka tidak hanya berfungsi sebagai pencari data, tetapi juga sebagai agen perubahan yang mendorong peningkatan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan.

Dengan hak atas informasi, masyarakat dapat melakukan pengawasan terhadap penggunaan anggaran, menilai kinerja pejabat publik, serta memastikan pelayanan publik berjalan sesuai dengan prinsip keadilan dan kepentingan umum. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan literasi masyarakat tentang hak dan tata cara permohonan informasi perlu terus diperkuat sebagai bagian dari strategi penguatan demokrasi partisipatif.

Para pemohon informasi publik menjadi faktor penting dalam mendukung implementasi keterbukaan informasi di Indonesia. Mereka dapat berasal dari individu, kelompok masyarakat, maupun lembaga berbadan hukum, dengan hak yang secara tegas dijamin oleh Undang-Undang. Melalui mekanisme yang jelas, mulai dari permohonan, keberatan, hingga penyelesaian sengketa, masyarakat memiliki jalur hukum yang dapat ditempuh untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan.

Keberadaan para pemohon informasi ini merefleksikan partisipasi aktif masyarakat dalam membangun pemerintahan yang bersih, transparan, dan bertanggung jawab. Untuk itu, sinergi antara badan publik dan masyarakat dalam mengimplementasikan UU KIP harus terus dijaga agar prinsip keterbukaan informasi benar-benar menjadi bagian dari budaya demokrasi bangsa ini. []

*) Ketua Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *