Hening Sejenak, Tatapan Kosong ke Atas, Tiba-tiba jadi Jenius: Kita Tahu Apa yang Kamu Lakukan Dibawah Meja

Oleh : Nofan Alfandi*)

Pernah nggak sih melihat adegan seperti ini? Di tengah ruang kelas atau rapat penting, sebuah pertanyaan sulit dilontarkan. Sunyi, senyap. Semua orang tampak berpikir keras, menatap langit-langit seolah mencari ilham yang tersangkut di sana.

Lalu, dari salah satu sudut, sebuah tangan terangkat dengan ragu namun pasti. Dengan tatapan yang sama kosong sesaat, lalu berbinar ia menjawab pertanyaan itu dengan lancar, lengkap dengan data dan istilah yang terdengar canggih. Semua mata tertuju padanya. “Wow, jenius,” bisik orang-orang.

Tapi, coba deh kita putar ulang adegan itu dalam gerak lambat. Tepat setelah pertanyaan dilempar, ada gerakan kecil yang luput dari perhatian. Sebuah lirikan cepat ke bawah meja, jempol yang menari lincah di atas layar bercahaya, dan kilatan informasi dari halaman Wikipedia atau blog acak.

Momen “hening” itu bukanlah proses berpikir mendalam, melainkan waktu loading halaman. Tatapan kosong ke atas itu hanyalah sebuah seni pertunjukan untuk menutupi aksi cepat di bawah sana.

Selamat datang di era jenius digital instan. Kita begitu terbiasa memiliki jawaban untuk segalanya di ujung jari, hingga kita lupa bedanya antara mengetahui sesuatu dan menemukan sesuatu. Yang pertama tersimpan di otak, yang kedua tersimpan di riwayat pencarian. Kelihatannya sama, tapi keduanya adalah dunia yang berbeda. Masalahnya, kita mulai mencampuradukkannya.

Ketergantungan pada “contekan digital” ini seperti membangun rumah megah tanpa fondasi. Terlihat kokoh dari luar, tapi rapuh di dalam. Kamu bisa menjawab apa ibu kota Turki dalam tiga detik (Ankara!), tapi kamu tidak melalui proses mengingat, menghubungkan informasi, atau bahkan merasakan sedikit kepanikan yang memaksa otakmu bekerja. Kamu hanya menjadi kurir informasi, bukan pemiliknya.

Bahayanya terasa saat “koneksi” itu hilang. Bukan cuma koneksi internet, tapi koneksi antara satu konsep dengan konsep lainnya di dalam kepalamu. Saat ditanya “kenapa begitu?” atau diminta menjelaskan dengan kata-katamu sendiri, sang jenius digital tadi mendadak kembali menatap langit-langit. Kali ini, benar-benar kosong.

Lalu, apakah Google itu jahat? Tentu tidak. Pisau juga tidak jahat, tapi bisa berbahaya jika hanya dipakai untuk menodong, bukan untuk memotong sayur. Masalahnya bukan pada alatnya, tapi pada cara kita menggunakannya. Kita terlalu sering menggunakannya sebagai jalan pintas yang mematikan proses belajar.

Jadi, bagaimana cara membedakannya? Mari kita ubah pendekatannya.

Gunakan Google sebagai Peta, Bukan sebagai Helikopter Pribadi.

Bayangkan kamu ingin pergi ke sebuah tempat baru. Naik helikopter pribadi akan mengantarkanmu langsung ke titik tujuan. Cepat, efisien, tanpa usaha.

Tapi, kamu tidak akan tahu jalan mana yang kamu lewati, gang mana yang menarik, atau di mana letak warung kopi terenak di sepanjang rute. Kamu tiba di tujuan, tapi buta arah.

Sekarang, bayangkan kamu menggunakan peta. Kamu harus melihat rutenya, memperhatikan nama jalan, mengenali patokan, bahkan mungkin sesekali tersesat. Prosesnya lebih lambat dan butuh usaha. Tapi saat kamu tiba, kamu tidak hanya sampai di tujuan; kamu memahami perjalanannya. Kamu punya gambaran mental tentang seluruh area itu.

Itulah bedanya. Menggunakan Google sebagai “helikopter” berarti langsung mengetik pertanyaan dan menyalin jawabannya. Menggunakannya sebagai “peta” berarti saat kamu buntu, kamu memakainya untuk mencari petunjuk, bukan jawaban akhir.

Misalnya, alih-alih mencari “jawaban soal nomor 5”, cobalah cari “konsep dasar teori relativitas untuk pemula”. Yang satu memberimu ikan, yang lain mengajarimu cara memancing.

Mari kita mulai dengan satu kebiasaan kecil: Aturan 5 Menit Berpikir. Sebelum jarimu refleks membuka browser, beri otakmu kesempatan bertarung selama lima menit. Apa yang sudah kamu tahu tentang ini? Informasi apa yang bisa kamu hubungkan?

Biarkan otakmu sedikit “berkeringat”. Setelah itu, barulah gunakan Google sebagai teman diskusimu, bukan sebagai juru selamatmu.

Karena pada akhirnya, yang membedakan seorang pemikir sejati dari pengguna Google tercepat bukanlah kecepatan menemukan jawaban, melainkan kedalaman pemahaman saat internet sedang mati. Koneksi di browser bisa putus, tapi koneksi sinaps di dalam otakmu akan selalu jadi milikmu. []

Mahasiswa Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang*)

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *