“Bumi Juga Berdoa”

Essay : Nurul Jannah*)

Saat Langit Tak Lagi Bening

Pagi itu langit tampak murung, seakan menyimpan luka. Tak lagi sebening masa silam. Cahaya mentari menembus kabut debu dengan langkah gontai, ragu apakah ia masih pantas menyinari bumi yang kian gelap oleh ulah manusia yang tak kenal jeda.

Angin yang dulu berbisik lembut kini membawa aroma besi, asap, dan sisa plastik. Dan di antara riuh lalu lintas, deru mesin, dan kesibukan, aku merasa bumi sedang berdoa.

Namun bukan doa yang indah. Ia terdengar seperti rintihan panjang yang tertahan di dada alam.

“Ampuni mereka, Ya Rabb. Mereka mencintai hasilku, tapi mengoyak tubuhku tanpa jeda.”

Sesungguhnya bumi tidak diam. Hanya manusia yang berhenti mendengar. Lihatlah sungai yang dulu jernih, kini mengalir dalam warna kelabu kesedihan. Dengarlah suara pohon yang tumbang di ujung hutan. Itu bukan semata batang yang patah, itu adalah doa yang terputus sebelum sampai ke langit.

Setiap daun yang gugur adalah ayat yang tak sempat dibaca. Setiap tanah yang retak adalah luka yang kita buat atas nama kemajuan.

Kita menebang pohon dengan dalih pembangunan, meratakan bukit atas nama kesejahteraan, dan mencemari laut dengan alasan kebutuhan.

Ibu yang Terluka

Pernahkah kita merenung, bahwa bumi adalah ibu yang tengah menahan tangisnya sendiri?

Ia memeluk kita sejak lahir, menumbuhkan padi di pangkuannya, meneteskan air dari matanya, dan menghangatkan tubuh kita dengan napasnya yang panjang.

Namun balasannya? Kita mencabik kulitnya dengan beton, membekap napasnya dengan aspal, dan menindih tubuhnya dengan ambisi.

Jika bumi bisa menulis surat, mungkin ia hanya akan menulis satu kalimat, “Aku mencintai kalian… tapi kalian terlalu sibuk menghancurkanku.”

Doa yang Tersisa

Pagi itu aku berhenti sejenak. Menunduk, mendengarkan gemericik air, mencium aroma tanah setelah hujan, meraba getar lembut dedaunan yang tersentuh angin.

Mungkin di situlah doa bumi bersemayam. Doa yang tak lagi menuntut, hanya berharap manusia kembali punya hati.

Bumi tak butuh belas kasihan, ia hanya ingin disayangi. Ia tak menolak kemajuan, hanya menagih keseimbangan. Ia tak melarang manusia hidup lebih baik, ia hanya ingin hidup bersama tanpa disakiti.

Kita lupa, bumi bukan semata tempat berpijak, ia adalah cermin. Lihatlah hutan yang gundul, itu hati manusia yang kehilangan kesadaran. Lihatlah laut yang keruh, itu jiwa manusia yang dikotori keserakahan. Dan lihatlah langit yang muram, itu wajah kita sendiri yang kehilangan makna syukur.

Kita adalah bayangan dari bumi yang kita tinggali. Dan barangkali, bencana yang datang adalah cara ia menegur karena kita berhenti menjaganya.

Ketika Bumi Menangis di Sujudnya

Kini bumi sedang bersujud. Gunung menunduk dalam diam, laut bergetar menahan tangis, dan langit berdoa agar manusia segera sadar sebelum segalanya terlambat.

Alam tidak meminta balasan, hanya pemulihan. Ia tidak butuh penghormatan, hanya kesadaran.

Dan di antara jeda itu, aku ingin menyampaikan salam cinta kepada angin, kepada air, kepada setiap jengkal tanah yang lelah, “Maafkan kami…Kami terlalu sibuk menulis masa depan, hingga lupa menulis rasa syukur. Kami berlari mengejar dunia, hingga lupa bahwa dunia ini sedang terluka karena kami.”

Jika hari itu tiba, saat pohon terakhir tumbang, sungai terakhir mengering, dan udara terakhir berhenti bernapas, barulah manusia sadar bahwa segala harta tak mampu menebus satu hembusan bumi yang terluka.

Dan ketika bumi menangis dalam sujud terakhirnya, mungkin masih ada satu manusia yang tersisa, yang berkata dengan jujur,

“Kami telah lalai, Ya Rabb…Kami terus membangun dunia, tapi lupa menjaga bumi tempat Engkau titipkan kehidupan kami.”

Doa Terakhir dari Bumi

Karena yang akan menyelamatkan bumi bukan teknologi, bukan kekuasaan, melainkan kesadaran manusia, bahwa menjaga bumi adalah bagian dari mencintai Tuhan.

Hanya ketika manusia mencintai bumi dengan hati, barulah langit kembali tenang, dan doa bumi berganti menjadi syukur. ❤‍🔥🌹🌷.

Bumi Allah, 8 November 2025

Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *