Essay : Nurul Jannah*)
Tentang Doa yang Tertahan di Ujung Waktu
Pagi itu hujan turun perlahan. Di sebuah kafe kecil di sudut kota, seorang sahabat menatapku dengan mata sembab. Menahan tangis yang hampir pecah.
“Aku sudah berdoa setiap malam,” katanya, suaranya bergetar di antara isak yang ditahan. “Aku sudah bersujud, menangis, berharap. Tapi kenapa Allah belum juga kasih jalan, Nurul?”
Aku menatapnya lama.
Kadang, tak ada jawaban yang bisa langsung menenangkan hati yang retak.
Aku tahu, ia tak butuh nasihat panjang atau ayat-ayat penguat yang sering diucapkan tanpa rasa. Ia hanya butuh seseorang yang diam di sisinya. Yang tidak menilai, hanya memahami.
Aku menarik napas pelan.
“Pernahkah kamu berpikir,” kataku pelan, “bahwa mungkin bukan Allah yang belum menjawab… tapi kita yang belum siap menerima?”
Ia menoleh. Menatapku dengan tatapan kosong, sambil berusaha memahami. “Jadi maksudmu, aku yang salah?”
“Bukan. Kau tidak salah.” kataku hati-hati.
Ia terdiam. Menatap hujan. Lalu menatapku lagi.
“Kau hanya sedang disiapkan. Agar ketika waktunya tiba, hatimu sanggup menerima dengan tenang…” lanjutku kemudian.
Ia menunduk, menatap cangkir di depannya yang kini mulai kehilangan hangatnya.
Hujan di luar belum reda, tapi entah mengapa suasana di dalam terasa lebih sunyi daripada suara rintiknya.
“Disiapkan…” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.
Kata itu menggantung di udara, menembus diam yang panjang. Lalu ia menatapku lagi, dan kali ini matanya tak hanya sembab, tapi juga penuh tanya.
“Kalau memang sedang disiapkan,” ujarnya lirih, “kenapa rasanya seperti ditinggalkan?”
Aku menarik napas panjang. Pertanyaan itu terasa menohok.
“Sesungguhnya, Allah tidak sedang menjauh. Allah bahkan sedang mendekat dengan cara yang berbeda. Lewat rasa sepi, lewat waktu yang panjang, lewat sabar yang kita tanam sendiri.”
Aku menatapnya lekat. “Dan mungkin, justru di jarak itulah kita belajar mengenal-Nya lebih dalam. Tanpa pamrih. Tanpa syarat.”
Ia terdiam. Menatap hujan yang kini mulai reda. Sesekali matanya bergerak mengikuti tetesan air yang meluncur di kaca, satu per satu, seolah menghitung setiap doa yang turun bersama hujan.
Lalu aku menyadari satu hal, bahwa doa bukan hanya tentang hasil, tapi tentang perjalanan. Tentang bagaimana kita belajar menunggu dengan sabar, tanpa kehilangan iman. Tentang bagaimana kita berhenti memaksa, dan mulai percaya bahwa Allah selalu tahu waktu yang paling tepat. Bahkan ketika kita tidak mengerti sama sekali.
Doa, kadang, bukan tentang dikabulkan atau tidak. Tapi tentang bagaimana ia membentuk hati kita di tengah penantian.
Aku pun pernah di posisi itu. Berdoa untuk sesuatu yang sangat aku inginkan. Sampai setiap sujud rasanya adalah permohonan yang sama. Dan ketika jawaban tak kunjung datang. Aku kecewa. Aku bahkan sempat ingin berhenti berdoa.
Namun, di satu malam yang sunyi, saat aku lelah menuntut dan hanya bisa diam menatap sajadah, aku merasa ada suara lirih menyapa.
“Nurul, Aku tidak menolak doamu. Aku hanya sedang memperbaiki waktumu.”
Sejak itu aku paham, bukan doa yang belum naik, tapi hati kita yang belum sampai.
Allah mboten sare. Allah bahkan selalu ada untuk kita. Ia hanya menunggu sampai kita bisa menerima semua dengan lapang dada, bukan dengan kecewa.
Beberapa bulan kemudian, doaku terkabul. Bukan seperti yang aku minta. Malah lebih indah, lebih sempurna dalam balutan takdir yang tak aku pahami.
Di situ aku merasa sangat malu, karena pernah meragukan kasih-Nya. Ternyata semua yang kupinta terlalu kecil dibanding apa yang akhirnya Allah siapkan. Masya Allah.
Saat Doa menjadi Cermin
Sore itu, sahabatku datang lagi. Kali ini dengan pancaran wajah berbeda. Matanya nampak berbinar bahagia.
“Doaku akhirnya dikabulkan. Alhamdulillah, ” katanya penuh semangat.
Aku menatapnya lalu bertanya, “Bagaimana rasanya?”
“Justru yang paling aku syukuri adalah masa-masa menunggu doa itu diijabah Allah, Nurul. Karena di situ aku belajar mengenal Allah, bukan sebagai pengabul keinginan, tapi sebagai penjaga hati.”
Aku terdiam, dada ini terasa penuh. Terkadang, yang paling indah dari doa bukan jawabannya, tapi prosesnya. Bagaimana Allah menjahit luka kita dengan waktu, dan menjadikan sabar sebagai tanda cinta-Nya.
Kini aku tahu, tidak ada doa yang tertolak. Yang belum dikabulkan sedang diuji oleh waktu, yang sudah dikabulkan sedang diuji oleh rasa syukur, dan yang diganti sedang diuji oleh keikhlasan.
Allah tidak pernah salah waktu. Kita saja yang sering salah cara meminta. Kita ingin cepat, padahal Allah ingin tepat. Kita ingin segera, padahal Allah ingin sempurna.
Ada saat-saat dalam hidup, ketika kita berdoa sampai suara serak, menangis sampai mata bengkak, tapi langit tetap diam.
Seolah Allah sedang menutup telinga. Tak satu pun permohonan kita menembus batas langit itu.
Padahal tidak. Allah tidak diam. Ia hanya sedang menguji. Apakah kita berdoa karena ingin sesuatu, atau karena benar-benar menginginkan-Nya?
Maka, malam nanti, ketika kita bersujud, jangan buru-buru menuntut jawaban.
Karena bisa jadi, yang kita minta sedang berjalan pelan menuju waktunya. Dan yang tertunda bukan berarti hilang, hanya sedang disempurnakan.
Sebab tidak ada doa yang sia-sia. Ada yang Allah kabulkan, ada yang Ia simpan, dan ada yang Ia ubah menjadi pelukan tak terlihat.
Jangan takut jika doamu belum dijawab. Allah bukan lupa, hanya sedang menyiapkan waktu yang tepat untuk mengabulkan seluruh pintamu.🌹❤🔥🌷.
Bogor, 13 November 2025
Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)



