Oleh : Nurul Jannah*)
Hujan Bogor masih turun pelan ketika aku melirik jam tangan. Jarum hampir menyentuh pukul 16.30 sore, dan sesi menguji PKL mahasiswa masih berlangsung dengan riuh yang teratur. Presentasi, tanya jawab, dan suara laptop yang dibuka-tutup.
Entah mengapa, hujan selalu punya cara paling lembut untuk merobek sunyi yang selama ini diam di dada.
Sore itu, di tengah dingin yang merayap pelan, ada sesuatu yang menggeser ruang terdalam dalam diriku. Seperti ada pintu kecil yang tiba-tiba terbuka, melepaskan getaran yang sudah lama tertahan.
Bukan tentang pekerjaan. Bukan tentang berkas penilaian atau materi PKL mahasiswa. Yang datang justru rindu. Pelan, dingin, dan halus seperti embun yang menempel di kaca jendela.
Ingatan itu muncul begitu saja. Tentang seseorang yang pernah kutemui di Juanda Airport Surabaya, lebih dari sepuluh tahun silam. Nama yang jejaknya tertinggal dalam di hati, seperti doa yang belum selesai diaminkan langit.
Di antara tumpukan berkas, clipboard ujian, dan formulir nilai yang harus kutandatangani, yang justru muncul adalah tatapan itu. Tatapan yang dulu sempat membuat langkahku goyah di tengah hiruk-pikuk bandara. Saat itu, tanpa kami sadari, tangan Allah sedang menyulam dua langkah asing untuk bertemu pada satu titik yang tak pernah kami rencanakan. Titik yang mengajarkan bahwa cinta tak pernah datang sebagai kebetulan, melainkan sebagai skenario halus yang ditulis langit dengan sangat hati-hati.
Kini, lebih dari satu dekade berlalu, hujan Bogor kembali menghidupkan semua itu. Rinduku berdiri lagi, utuh, jernih, dan tanpa kupanggil.
Aku menarik napas panjang. Di dalam kelas, mahasiswa masih sibuk mempresentasikan hasil PKL mereka. Sebagai dosen, aku harus hadir sepenuhnya. Objektif, tenang, dan matang. Tanggung jawab tidak boleh goyah, tidak peduli badai apa yang sedang berkecamuk di dada.
Namun di antara sela-sela profesionalitas itu,
aku tetap menyimpan satu getaran yang tak pernah benar-benar mati. Ketenangan halus yang dulu pernah dijanjikan seseorang kepadaku. Seseorang yang pernah berkata pelan, “Suatu hari, kita berjalan ke surga-Nya… bersisian, tanpa dilepas lagi.”
Duhai…
Kalimat itu kembali mengalir bersamaan dengan setiap rintik hujan yang jatuh sore itu. Menghidupkan kembali doa yang lama kupendam rapat-rapat di sudut malam.
Aku merapikan kerudung, mengecek map penilaian, memastikan semua mahasiswa siap menghadapi ujian sidang PKLnya. Tugas menguji harus selesai dengan baik, apa pun yang terjadi di dalam hati.
Namun diam-diam, jiwa ini terus menggenggam sesuatu yang suci. Sebuah kenangan yang tak pernah minta dilupakan, sebuah doa yang selalu pulang pada namanya, sebuah cinta yang tetap tinggal meski waktu terus melangkah.
Ketika presentasi berganti satu per satu, hujan masih menari lembut di luar jendela. Aku tersenyum kecil, senyum yang hanya aku dan Allah tahu maknanya. Bahwa bahkan di tengah riuh pekerjaan, ada satu nama yang tak pernah benar-benar hilang dari ruang terdalam hatiku.
Ada hari-hari ketika langit tidak hanya menurunkan hujan, tetapi juga menurunkan ingatan yang selama ini diam seperti luka yang enggan dibangunkan.
Dan sore itu, Bogor menjadi pengingat paling tajam, bahwa ada satu nama yang tidak pernah pergi, ia hanya menunggu hujan untuk kembali mengetuk.
Dan nama itu… akan selalu tinggal, selama hujan masih memilih Bogor sebagai tempatnya jatuh.
❤🔥🌹💕
Bogor, 19 November 2025
Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)



