Puisi : Nurul Jannah*)
Bumi,
yang dulu penuh cahaya,
kini duduk sendirian di sudut semesta,
menampal luka-luka yang kita robekkan
tanpa pernah kita minta maaf.
Ia masih berusaha tersenyum,
namun senyumnya kini retak,
rapuh seperti embun yang kehilangan pagi.
Ada kesedihan yang mengalir,
dari retakan gunung,
dari tepi sungai yang menghitam,
dari udara yang mulai enggan
menjadi napas kita.
Seperti seorang kekasih
yang mencintai terlalu dalam,
Bumi menahan sakit
yang tak ingin ia tunjukkan.
Ia ingat bagaimana manusia datang
dengan janji menjaga.
Ia ingat bagaimana manusia dulu berdoa
di atas tanahnya yang subur.
Namun waktu berjalan,
manusia berubah,
mencari emas dari perutnya,
mengambil nyawa dari hutan-hutannya,
menghisap detak jantungnya,
untuk menyalakan lampu-lampu kota.
Kini Bumi mulai kelelahan.
Napasnya pendek,
anginnya membawa pesan duka,
lautnya bergejolak seperti hati perempuan
yang tak sanggup lagi menanggung pengkhianatan.
“Aku mencintaimu, manusia… tapi aku tidak sanggup terus begini.”
Bumi memanggil kita
bukan dengan hujan,
tetapi dengan badai.
Bukan dengan angin,
tetapi dengan amukan yang tak lagi ia tahan.
Ia menunjukkan cinta yang terluka,
dengan cara yang paling gelap.
Banjir di tempat yang tak seharusnya,
panas di musim yang tak seharusnya,
Meski kita terus menyakitinya,
Bumi masih berharap
Masih menunggu
Masih ingin kita pulang,
Masih percaya bahwa kita bisa menjadi cinta yang ia impikan.
Bumi tidak meminta kita menjadi pahlawan.
Ia hanya memohon,
“Rawatlah aku…
atau aku akan pergi,
dan kalian takkan pernah menemukan tempat lain
yang mencintai kalian
seperti aku.”
Dan jika hari itu tiba,
ketahuilah,
bukan Bumi yang menghukum kita.
Kita-lah yang membunuh satu-satunya cinta
yang seharusnya kita jaga
dengan segenap jiwa.🌹❤🔥🌷
Jakarta, 15 November 2025
Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)




