Renungan Bencana Sumatera
Oleh : Nurul Jannah*)
Ada hari-hari ketika bumi tidak lagi berbicara pelan. Ia berteriak. Dan Sumatera adalah teriakannya hari ini.
Banjir bandang menyapu rumah-rumah yang sudah berdiri puluhan tahun. Tanah longsor merobek desa-desa yang selama ini penuh suara anak-anak. Belasan hingga puluhan nyawa melayang, disebutkan dingin dalam laporan berita, seolah itu bukan manusia, seolah itu bukan ayah, bukan ibu, bukan anak, bukan keluarga yang menunggu makan malam bersama.
Kita menatap kabar itu dengan kening berkerut sebentar… lalu kembali sibuk menelan dunia digital yang tak pernah selesai. Seolah tragedi itu hanya terjadi di layar, bukan di tanah yang sama, tanah Indonesia tercinta.
Sumatera tidak hanya kebanjiran. Sumatera sedang menangis. Air bah membelah jalanan, menghancurkan jembatan, menenggelamkan dusun-dusun. Hujan turun bukan sebagai rahmat, tetapi sebagai tanda kemurkaan alam yang sudah terlalu lama disakiti.
Mereka yang kehilangan. Anak-anak yang tiba-tiba menyandang status yatim piatu. Ibu yang berteriak histeris mencari anaknya di antara puing. Ayah yang memeluk pakaian kecil milik putrinya sambil memohon agar itu bukan satu-satunya kenangan yang tersisa.
Dan kita, yang tidak berada di sana, terseret ke dalam tanya sunyi: apakah kita sudah menjaga bumi seperti ia menjaga kita selama ini?
Semua ini sudah terlambat.
Sangat terlambat malah.
Tanda-tanda sudah muncul sejak lama; hutan yang direnggut, bukit yang dicukur, sungai yang diperas sampai kehilangan jernihnya. Alam sudah berkali-kali mengetuk pintu kita. Tapi kita sibuk, bahkan terlalu sibuk menjadi manusia modern yang bangga dengan kemajuan yang merusak dirinya sendiri.
Luka itu ada di Sumatera. Namun pantulannya nampak dan terasa sampai di seluruh negeri. Kalimantan yang hutannya habis, Sulawesi yang tanahnya rapuh, Jawa yang drainasenya tersumbat, atau di kota-kota yang tumbuh tanpa ruang bernapas.
Luka itu tinggal menunggu giliran. Hari ini Sumatera. Besok mungkin wilayah lain, mungkin juga desa kecil lainnya, atau bisa jadi kota di mana kita berdiri saat ini.
Mengapa Ini Semua Terjadi?
Karena kita rakus. Karena kita lengah. Karena kita terlalu sering menyebut “musibah” seolah semua datang dari langit. Padahal sebagian besar musibah, sesungguhnya adalah buah dari ulah dan pilihan kita sendiri.
Alam tidak membalas dendam. Alam hanya mengembalikan apa yang kita berikan. Dan kita telah memberi terlalu banyak luka.
Suara yang Tidak Kita Dengar
Kadang aku bertanya, berapa banyak lagi suara yang harus hilang; sebelum kita benar-benar mendengarnya? Suara ayah yang tenggelam bersama arus deras. Suara seorang ibu yang memeluk tubuh anaknya sambil meratap, “Kenapa bukan aku saja yang pergi? Kenapa harus kamu nak?”
Suara-suara itu memang tidak viral. Namun mereka bergema dan mengguncang dada kita juga.
Ketika Foto-foto Itu Menatap Kita
Cobalah tatap foto-foto itu sebentar. Anak kecil duduk di antara puing, membawa sandal sebelah milik adiknya. Kakek yang berdiri gemetar memandangi tanah kosong tempat rumahnya dulu berdiri. Relawan yang memeluk jasad kecil terbungkus terpal biru dengan tangan bergetar.
Itu bukan “dokumentasi” biasa. Itu adalah babak kehidupan yang dirampas tanpa permisi.
Setiap foto itu seharusnya cukup untuk membuat kita menundukkan kepala, bertanya pada diri sendiri. Apa yang telah kita lakukan terhadap bumi yang selama ini menjaga napas kita?
Kita Tidak Punya Banyak Waktu
Bumi tidak menunggu kita sadar. Ia tidak menawar.
Hutan yang hilang hari ini tidak kembali tumbuh besok. Sungai yang menghitam tidak akan jernih hanya karena doa. Dan anak-anak yang menjadi yatim karena bencana, tidak akan dipeluk ayahnya lagi hanya dengan ucapan belasungkawa.
Kita bukan lagi kekurangan waktu. Kita sudah melewati batas waktu. Dan jika hari ini kita tetap diam, maka besok yang akan bergerak hanyalah bencana berikutnya.
LALU APA YANG HARUS KITA LAKUKAN?
Kita tidak bisa hanya bersimpati. Tidak cukup hanya menulis “turut berduka.” Tidak cukup hanya membagikan video bencana.
Kemarahan kita harus berubah menjadi tindakan. Menanam pohon. Menjaga sungai. Mengurangi sampah.Mendidik anak-anak untuk mencintai bumi lebih dari yang kita lakukan. Mengawasi apa yang terjadi di sekitar kita. Karena satu tindakan kecil yang kita lakukan hari ini, bisa menjadi doa panjang yang menyelamatkan satu nyawa di masa depan.
Bencana bukan semata peringatan. Ini adalah tamparan keras pada wajah kita yang terlalu lama merasa aman.
Bumi sudah berteriak sejak lama. Hari ini, ia menangis di Sumatera. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kita akan mendengar…atau tetap pura-pura tuli?😭😭😭
Bogor, 2 Desember 2025
Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)




