Oleh : Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, M.A.,*)
Bencana besar yang menimpa tiga provinsi di Sumatera kembali menguji kesiapan negara dalam merespons keadaan darurat. Pemerintah pusat telah bergerak, Presiden Prabowo Subianto sendiri turun langsung, dan pemerintah daerah di wilayah terdampak sudah berupaya maksimal.
Namun persoalan yang paling mendasar justru berada pada dukungan kolaborasi dan koordinasi lintas daerah, serta kerangka regulasi kebencanaan kita yang sudah usang dan tidak lagi memadai untuk era krisis iklim global.
Dalam kacamata pemerintahan dan otonomi daerah, apa yang kita hadapi hari ini menunjukkan satu hal: Indonesia membutuhkan kategori baru dalam penanggulangan bencana—kategori “bencana regional”. Kekosongan aturan ini membuat penanganan di lapangan tidak seefektif yang seharusnya.
Solidaritas Antarprovinsi Tetangga Lemah
Pulau Sumatera memiliki 10 provinsi. Tiga di antaranya terdampak langsung, sementara tujuh provinsi lain sebenarnya memiliki kemampuan dan sumber daya untuk membantu secara cepat. Begitu pula provinsi di Jawa, Kalimantan, atau Sulawesi yang punya kapasitas logistik, peralatan, dan personel.
Namun, praktiknya, dukungan ini masih jauh dari optimal. Bantuan baru mengalir dari beberapa daerah seperti DKI Jakarta dan Jawa Tengah.
Padahal dalam situasi darurat, solidaritas antarprovinsi dalam satu pulau besar seharusnya bekerja otomatis—tanpa menunggu perintah panjang dan tanpa ketakutan berlebihan terhadap aturan administrasi.
Di sinilah letak persoalan besar itu: aturan yang ada tidak memberikan dasar yang cukup bagi daerah sebelah untuk bertindak cepat ketika bencana melintas beberapa provinsi sekaligus. Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi hingga Riau sesuai pepatah “kabar buruk barambauan” ternyata tak terjadi.
Kekosongan Regulasi: Menghambat Kecepatan, Menggantungkan Kepastian
UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Bencana Alam hanya mengenal tiga tingkatan:
- Bencana Kabupaten/Kota
- Bencana Provinsi
- Bencana Nasional
Namun bencana yang terjadi kini bukan lagi sekadar bencana sebuah provinsi, tapi sudah tiga provinsi di sebelah utara pulau Sumatera. Rupanya alot sekali untuk bisa disebut memenuhi definisi administratif “bencana nasional”, setidaknya sudah seminggu sampai kini Presiden belum menetapkan status bencananya.
Lalu di mana posisi bencana yang berdampak lintas provinsi seperti sekarang?
Jawabannya: tidak ada.
Inilah kekosongan yang membuat penanganan menjadi lambat dan sering mengambang.
Dengan adanya kategori bencana regional, disamping pusat, provinsi-provinsi di sekitar wilayah terdampak secara yuridis formal dapat bergerak mengulurkan tangan membantu daerah tetangganya. Tidak perlu ada kekhawatiran pejabat daerah itu akan terjerat perkara administrasi atau audit setelah bencana berlalu, karena tindakan mereka memiliki dasar hukum yang jelas.
Kekosongan aturan ini harus segera diisi. Saya meyakini Kementerian Dalam Negeri dapat mengambil posisi terdepan untuk menginisiasi pembaruan regulasi tersebut.
Keputusan Status Bencana Tidak Boleh Berlarut-Larut
Hari demi hari berjalan, dan sementara itu korban yang memerlukan pertolongan terus bertambah. Namun hingga kini, pemerintah pusat belum menetapkan status bencana apakah bencana provinsi atau bencana nasional. Ketidakpastian ini tentu menghambat koordinasi dan memperlambat mobilisasi sumber daya.
Padahal prosedurnya jelas. BNPB seharusnya menilai: jumlah korban, luas kerusakan, gangguan pada pelayanan publik, kondisi pemerintahan lokal, skala geografis bencana.
Dengan lebih dari 600 korban jiwa dan sekitar 500 hilang, kerusakan jalan dan jembatan meluas di tiga provinsi, maka penetapan status seharusnya tidak lagi menjadi isu yang menunggu kajian terlalu panjang.
Dalam situasi darurat, ketegasan lebih penting daripada presisi. Ketidakpastian justru akan memperparah penderitaan rakyat di lapangan yang membutuhkan makanan, obat-obatan, pakaian, dan akses logistik.
Distribusi Bantuan: Jangan Terjebak Birokrasi Data
Tantangan lain adalah keterisolasian wilayah. Ada daerah yang sulit diakses, dan ini sering menjadi alasan mengapa bantuan menumpuk di satu titik sementara warga di titik lain justru kekurangan.
Dalam keadaan darurat, kita tidak boleh terlalu terpaku pada data yang belum lengkap. Bila wilayah telah teridentifikasi sebagai area terdampak paling parah, maka bantuan harus didrop dengan segera—melalui helikopter, pesawat kecil, atau apa pun yang tersedia.
Tak perlu menunggu daftar rinci. Prinsipnya sederhana: “Turunkan dulu, selamatkan dulu.” Data dapat disempurnakan sambil bantuan berjalan.
Saatnya Reformasi Sistem Kebencanaan Kita
Bencana di Sumatera hari ini adalah alarm keras bagi negara. Sistem penanggulangan bencana kita harus segera diperbarui, terutama pada aspek kolaborasi dan koordinasi regional.
Tanpa itu, setiap bencana besar yang melampaui batas administratif provinsi akan mengulang masalah yang sama: lambat, tidak terarah, dan minim kepastian hukum.
Saya percaya Indonesia mampu bergerak lebih cepat dan lebih terstruktur. Namun itu hanya mungkin jika:
- Kategori “bencana regional” segera dimasukkan ke dalam regulasi,
- Status bencana ditetapkan tanpa menunggu terlalu lama,
- Provinsi-provinsi nonterdampak digerakkan untuk membantu,
- Distribusi bantuan mendahulukan kemanusiaan daripada administrasi.
Kita tidak bisa membiarkan regulasi lama menjadi penghambat keselamatan jiwa rakyat.
Saat bencana datang, yang mereka butuhkan hanyalah uluran tangan yang cepat—bukan rapat panjang atau perdebatan kewenangan.
Dan negara lewat kepemimpinan presiden harus hadir melalui kebijakan yang tegas, jelas, dan berpihak pada korban. []
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dan Ahli Otonomi Daerah*)




