Saat Rumah Tenggelam dan Tangisan Bersahutan, Status Bencana Masih Diperdebatkan

Oleh : Hazwan Jamil*)

Apakah sebuah bencana harus menunggu tanda tertentu sebelum disebut “Darurat Nasional”, ketika di luar sana rumah-rumah sudah hanyut, tangisan anak dan orang tua saling bersahutan, dan ribuan warga kehilangan tempat pulang yang mereka bangun setengah umur hidupnya?

Di banyak sudut Sumatera, banjir dan longsor yang datang beruntun setelah hujan tak henti-henti telah merenggut begitu banyak nyawa, membuat belasan hingga puluhan orang hilang, dan menghapus habis rumah, jembatan, sekolah dan semua yang selama ini menjadi penopang hidup sebuah komunitas.

Kisah banjir itu terdengar dingin, tapi di baliknya ada wajah, ada cerita, ada keluarga yang kehilangan arah hanya dalam satu malam.

Beberapa daerah memang sudah mengambil langkah cepat dengan menetapkan status tanggap darurat selama dua minggu, tetapi kenyataan lapangan berbicara jauh lebih keras. Banyak keluarga masih bertahan di pengungsian seadanya, menunggu bantuan yang terhalang jalan putus, sementara laporan korban baru terus muncul dari hari ke hari.

Yang membuat hati makin berat adalah kenyataan bahwa di tengah semua itu, status “Bencana Nasional” masih diperdebatkan di tingkat pusat.

Saat warga menunggu kepastian yang bisa membuka akses bantuan lebih luas, air terus naik, dan waktu seolah bergerak lebih lambat daripada banjir yang merendam rumah mereka.

1.Realitas Banjir–Longsor yang Menghantam Sumatera

Hujan terus-menerus mengubah kampung di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat menjadi lautan lumpur: sungai meluap, longsor menutup jalan, rumah dan sekolah hanyut.

Data BNPB per 28 November 2025 mencatat 174 orang meninggal dan puluhan masih hilang dan dilansir dari Detik.com. Di Sumatera Utara tercatat 116 orang tewas dan sekitar 42 orang hilang, sementara ratusan rumah dan fasilitas rusak bukan lagi statistik, melainkan keluarga yang kehilangan tempat pulang dan penghidupan. Banyak warga kini bertahan di pengungsian seadanya karena evakuasi dan logistik terhambat oleh jalan putus.

2.Tanggap Darurat di Daerah vs Kebingungan di Pusat

Beberapa pemerintah daerah sudah menetapkan status tanggap darurat selama dua minggu untuk mempercepat evakuasi dan bantuan diketahui dari Tempo Nasional.com. Namun keputusan pusat soal penetapan bencana nasional belum diambil dilaporkan dari Tempo, sehingga aliran bantuan berskala besar dan pembukaan dana darurat terhambat.

Akibatnya, warga yang kehilangan rumah dan mata pencaharian masih menunggu di tengah cuaca yang belum aman dan ancaman longsor yang terus mengintai.

3.Suara Ahli dan Tokoh: Mendesak, tapi Tersandung Prosedur

Para ahli kebencanaan menegaskan bahwa status bencana nasional bukan hanya soal formalitas. Bagi mereka, status tersebut membuka banyak pintu dari percepatan logistik, koordinasi antarinstansi, hingga pembukaan anggaran darurat.

Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto menjelaskan penetapan status bencana nasional berdasarkan pertimbangan dari skala korban dan akses menuju lokasi bencana.

“Status bencana nasional yang pernah ditetapkan oleh Indonesia itukan Covid-19 dan Tsunami 2004. Cuma dua itu yang bencana nasional. Sementara setelah itu banyak terjadi bencana gempa Palu, gempa NTB kemudian gempa Cianjur (bukan bencana nasional),” ujar Suharyanto, Sabtu (29/11/2025).

Menurut dia, saat ini bencana di tiga provinsi tersebut masih berstatus bencana daerah tingkat provinsi dan diilansir dari Detik.com.

Dari Tempo Nasional diketahui bahwa dari sisi politik, legislator Partai Nasional Demokrat ikut mendesak pemerintah agar tidak menunggu korban bertambah sebelum bertindak, karena setiap hari terlambat berarti penderitaan warga semakin panjang.

Pernyataan-pernyataan ini memperlihatkan betapa semua pihak melihat urgensi situasi, namun langkah administratif pemerintah pusat tetap berjalan lambat.

4.Celah Birokrasi yang Membuat Warga Menanggung Akibatnya

Di balik perdebatan kebijakan di meja rapat, ada kenyataan pahit yang dihadapi warga: prosedur tak pernah secepat bencana. Ada regulasi yang harus disiapkan, ada mekanisme yang perlu dilalui, dan semuanya memakan waktu.

Sementara itu, warga di lapangan menunggu dalam kondisi serba terbatas tidur di ruang kelas yang disulap menjadi pengungsian, kehilangan keluarga tanpa kabar, tidak tahu kapan rumah bisa kembali dibangun.

Di sinilah banyak dari mereka terjebak di ruang kosong antara kebutuhan mendesak dan keputusan yang datang terlalu lambat.

Saat air merenggut rumah dan harapan, fakta di lapangan sudah cukup jelas, ratusan jiwa terdampak, bencana bergerak cepat, tapi keputusan pusat masih tertunda dan itu memperpanjang derita warga. Kita sudah mendengar suara ahli dan relawan yang mendesak langkah nyata.

Bukan perdebatan panjang, sekarang bukan waktunya menunggu angka, melainkan menyalurkan bantuan dan membuka akses bantuan seluas-luasnya.

Sebagai pembaca dan bagian dari masyarakat, mari kita ingat bahwa kebijakan yang cepat menyelamatkan nyawa dan kepedulian kecil donasi, relawan, atau sekadar menyuarakan bisa mengurangi luka mereka. []

Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang, Prodi Pendidikan Bahasa Arab*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *