Bolehkah Kebijakan Dipidana?: Kajian Yuridis

Oleh : Alirman Sori*)

ABSTRAK

Pertanyaan mengenai apakah kebijakan dapat dipidana merupakan isu klasik namun tetap relevan dalam praktik penegakan hukum modern, terutama ketika banyak pejabat publik menghadapi risiko kriminalisasi atas kebijakan yang dianggap menimbulkan kerugian negara (Hadjon, 2010).¹

Kajian ini menganalisis dasar hukum pidana terhadap suatu kebijakan, batas antara kesalahan administratif-politik dengan tindak pidana, serta prinsip perlindungan hukum bagi pejabat negara.

Hasil kajian menunjukkan bahwa kebijakan tidak dapat dipidana selama masih berada dalam ruang diskresi, dilakukan dengan itikad baik, berdasarkan kewenangan, serta tidak memenuhi unsur-unsur delik pidana (UU 30/2014).²

Sebaliknya, kebijakan dapat dipidana apabila merupakan penyalahgunaan kewenangan, tindakan melawan hukum, atau digunakan untuk memperoleh keuntungan pribadi maupun merugikan kepentingan umum (Putusan MA No. 21/Pid.Sus/2017).³

A. Pendahuluan

Dalam sistem hukum Indonesia, perdebatan mengenai batasan antara kebijakan (policy) dan tindak pidana muncul terutama dalam perkara korupsi yang melibatkan pejabat publik (Hiariej, 2014).⁴

Banyak kasus terkait pengelolaan anggaran, proyek pembangunan, dan pengadaan barang/jasa menimbulkan pertanyaan apakah pejabat publik dapat dipidana karena kebijakan yang keliru atau tidak efektif, atau hanya bertanggung jawab secara administratif dan politik (Asshiddiqie, 2006).⁵

Pertanyaan ini penting untuk menjaga keseimbangan antara dua kepentingan, yaitu perlindungan pejabat agar tidak takut mengambil kebijakan dan perlindungan masyarakat dari penyalahgunaan kewenangan (KPK, 2019).⁶ 

Hal ini diperumit oleh konsep onrechtmatig handelen, abuse of power, hingga diskresi yang kerap disalahpahami sebagai celah untuk menghindari pidana (Philipus M. Hadjon, 2012).⁷

Karena itu diperlukan kajian yuridis komprehensif untuk menentukan batas tegas antara kebijakan yang sah dan kebijakan yang berpotensi menjadi tindak pidana.

B. Kerangka Teori dan Landasan Yuridis

1. Teori Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dalam Pidana

Dalam hukum pidana, suatu tindakan disebut melawan hukum bila memenuhi aspek formil—bertentangan dengan undang-undang—dan aspek materiil—bertentangan dengan rasa keadilan serta prinsip umum pemerintahan yang baik (Simons, 1992).⁸

2. Pertanggungjawaban Pidana Pejabat Publik

Pertanggungjawaban pidana terjadi apabila terdapat perbuatan, akibat, kesalahan (mens rea), dan hubungan sebab-akibat (Moeljatno, 2002).⁹ 

Pada pejabat publik, kesalahan dibuktikan melalui unsur kesengajaan atau kelalaian berat (gross negligence) serta penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir) (UU Tipikor).¹⁰

3. Kebijakan Publik dan Diskresi

UU Administrasi Pemerintahan (UU No. 30 Tahun 2014) memberikan ruang diskresi dengan syarat untuk kepentingan umum, tidak melanggar hukum, berdasarkan alasan objektif, serta dilakukan dengan itikad baik.¹¹

Diskresi yang memenuhi unsur tersebut tidak dapat dipidana meskipun menimbulkan kerugian negara (Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016).¹²

C. Pembahasan

1. Apakah Kebijakan Dapat Dipidana?

Secara prinsip, kebijakan tidak dapat dipidana karena merupakan keputusan administratif atau politik yang lahir dari kewenangan pejabat, bukan dari perbuatan pidana (Hadjon, 2010).¹³

Hukum pidana adalah ultimum remedium sehingga tidak boleh digunakan untuk menilai risiko kebijakan (Muladi, 1995).¹⁴

Namun, kebijakan dapat dipidana apabila hanya menyamar sebagai kebijakan tetapi sebenarnya merupakan tindak pidana. Contohnya: proyek fiktif atas nama percepatan pembangunan, penunjukan langsung untuk memperoleh komisi pribadi, atau penggunaan anggaran di luar prosedur untuk kepentingan pihak tertentu (KPK, 2020).¹⁵

Dalam kondisi ini, yang dipidana bukan “kebijakan”, tetapi penyalahgunaan kewenangan.

2. Batas antara Kebijakan dan Tindak Pidana

Penentuan apakah kebijakan dapat dipidana dapat diuji melalui:

  1. Tes Legalitas: apakah kebijakan berdasar kewenangan; jika tidak, berpotensi menjadi tindak pidana (UU Pemda).¹⁶
  2. Tes Prosedural: pelanggaran prosedur adalah kesalahan administratif, kecuali dilakukan untuk menutupi niat jahat (mens rea) (Hiariej, 2014).¹⁷
  3. Tes Intent/Mens Rea: bila terdapat niat memperkaya diri/ orang lain, kebijakan berubah menjadi kejahatan (UU Tipikor).¹⁸
  4. Tes Kerugian Negara: kerugian negara tidak otomatis menjadikan kebijakan sebagai tindak pidana; harus dibuktikan adanya perbuatan melawan hukum serta mens rea (Putusan MA No. 42 Pid.Sus/2018).¹⁹

Putusan MK dan MA menegaskan bahwa kerugian negara akibat risiko kebijakan (policy loss) tidak dapat dipidana.²⁰

3. Kondisi di Mana Kebijakan Dapat Dipidana

Kebijakan dapat dipidana bila memenuhi tiga kategori:

  1. Penyalahgunaan Kewenangan: kebijakan dibuat untuk menguntungkan diri sendiri, kelompok, atau merugikan pihak lain secara sengaja (UU Tipikor).²¹
  2. Perbuatan Melawan Hukum: kebijakan bertentangan dengan undang-undang, seperti pembelian tanpa anggaran atau penetapan tarif tanpa dasar hukum.²
  3.  Kebijakan Bohong/Fiktif: kebijakan yang dibuat sebagai kedok untuk korupsi, gratifikasi, atau pencucian uang (KPK, 2021).²³

D. Konsep Kriminalisasi Kebijakan

Kriminalisasi kebijakan kerap muncul ketika penyidik menilai hasil kebijakan, bukan proses pembuatannya (Hadjon, 2012).²⁴ Kerugian negara sering dihitung tanpa menguji unsur kesalahan pejabat, dan terjadi perbedaan penilaian antara auditor, ahli administrasi, serta penyidik (BPK, 2018).²⁵

Untuk mencegah kriminalisasi kebijakan, diperlukan:

  1. Audit administratif sebelum audit pidana (UU 30/2014).²⁶
  2. Pelibatan ahli administrasi pemerintahan (LAN, 2019).²⁷
  3. Penerapan asas lex specialis UU Administrasi Pemerintahan terhadap diskresi (MK, 2016).²⁸

E. Kesimpulan

  1. Kebijakan pada dasarnya tidak dapat dipidana.²⁹
  2. Kebijakan adalah tindakan eksekutif dalam domain administratif dan politik.³⁰
  3. Kebijakan dapat dipidana bila mengandung unsur tindak pidana seperti penyalahgunaan kewenangan, niat jahat, atau perbuatan melawan hukum.³¹
  4. Kerugian negara tidak otomatis menjadikan kebijakan sebagai tindak pidana tanpa bukti adanya mens rea dan perbuatan melawan hukum (MA, 2018).³²
  5. Perlindungan hukum bagi pejabat negara harus diperkuat untuk mencegah kriminalisasi kebijakan yang dapat menghambat inovasi dan pelayanan publik (LAN, 2020).³³

Penulis adalah Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI dan Ketua Dewan Redaksi www.fokussumbar.com*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *