Membangkitkan Kesadaran Integritas sebagai Refleksi Penting di Hari Antikorupsi

Oleh: Ladifa Putri Marisa*)

HARI ini, Selasa, 9 Desember 2025, kita memperingati Hari Antikorupsi sedunia. Peringatan ini seharusnya bukan hanya sekadar menjadi penanda kalender atau seremoni tahunan yang dipenuhi slogan moral.

Momen ini mestinya menjadi ruang refleksi bagi publik untuk menilai sejauh mana integritas masih hidup atau justru makin memudar dalam kehidupan bernegara.

Indonesia sering membanggakan keberagaman budaya dan kekayaan alam namun, kekayaan paling langka yang semakin surut adalah integritas yakni nilai dasar yang menentukan arah kerja institusi, perilaku pejabat publik, dan karakter warga negara.

Refleksi ini menjadi penting karena korupsi di Indonesia tidak lagi hanya fenomena yang bersifat sederhana atau individual. Ia telah menjadi bagian dari tata kelola kekuasaan yang bersifat sistemik dari rekrutmen politik, penyusunan anggaran, hingga pelayanan publik.

Ini kemudian diperparah oleh kelemahan sistem pengawasan internal dan praktik konflik kepentingan yang dilegalkan atau diabaikan, menciptakan zona abu-abu tempat praktik koruptif mudah berkembang biak. Lebih lanjut, peran sentral oligarki dalam mendistorsi kebijakan publik untuk kepentingan pribadi atau kelompok telah menjadikan korupsi sebagai mekanisme operasional yang terstruktur, bukan sekadar anomali. Apabila integritas diibaratkan benteng, maka kondisinya kini telah rapuh. Negara terlalu sibuk memperkuat ‘senjata’ berupa aturan hukum, tetapi lupa membenahi ‘pondasi’ yang jauh lebih mendasar, yakni kesadaran moral.

Dalam kondisi seperti ini, peringatan Hari Antikorupsi perlu diarahkan bukan lagi pada kampanye normatif, melainkan pada upaya membangkitkan kembali kesadaran integritas sebagai fondasi pembangunan publik.

Integritas tidak dapat hadir melalui retorika kosong belaka, ia lahir dari lingkungan politik dan birokrasi yang memberikan insentif bagi perilaku jujur sekaligus memastikan sanksi tegas bagi penyimpangan.

Namun realitas Indonesia menunjukkan sebaliknya, struktur politik elektoral yang mahal membuat aktor politik terdorong untuk mencari “balik modal”, sementara birokrasi masih dipenuhi pola relasi patronase yang menempatkan loyalitas di atas profesionalisme.

Keberadaan integritas pada nyatanya merupakan kunci penting dalam menentukan kualitas demokrasi dan keadilan sosial. Negara tidak mungkin melindungi hak publik jika para pengelola kekuasaan bekerja dengan orientasi kepentingan pribadi.

Tanpa integritas, hukum kehilangan daya tegaknya, kepercayaan publik melemah dan warga sulit untuk melihat negara sebagai institusi yang berpihak pada mereka. Inilah alasan mengapa korupsi tidak hanya berbicara tentang kerugian material, tetapi juga merusak relasi kepercayaan yang seharusnya menjadi dasar antara negara dan rakyat. Ketika kepercayaan hilang, masyarakat cenderung apatis dan pesimistis, menciptakan ruang bagi elit predatoris untuk semakin dominan.

Perlu diakui pula bahwa menegakkan integritas dalam ruang publik Indonesia tidak mudah karena korupsi telah beroperasi layaknya jaringan sosial yang saling melindungi. Dari level pusat hingga daerah, ada struktur informal yang menopang praktik-praktik koruptif, mulai dari “uang keamanan”, “setoran jabatan”, hingga “bagi hasil proyek”.

Mereka yang mencoba menjaga integritas justru kerap tersingkir atau dianggap tidak “kooperatif”. Ketika sistem memberikan keleluasaan bagi mereka yang bermain kotor dan hukuman kepada mereka yang menegakkan kejujuran, maka krisis integritas menjadi tak terelakkan.

Di sinilah peringatan Hari Antikorupsi harus difungsikan sebagai momen kritik terhadap arah perjalanan bangsa. Kita perlu bertanya dengan jujur, mengapa nilai integritas yang begitu fundamental semakin terkikis di negara yang mengaku menjunjung demokrasi dan hukum?

Pertanyaan ini penting karena tanpa integritas, agenda-agenda reformasi hanya menjadi teks yang tidak pernah benar-benar hidup dalam praktik. Bahkan, lemahnya lembaga KPK beberapa tahun terakhir menunjukkan bagaimana kekuasaan dapat mengubah arsitektur pemberantasan korupsi semudah menggeser kepentingan politik. Ketika lembaga antikorupsi kehilangan taring, pesan moral tentang integritas terdengar hampa.

Membangkitkan kesadaran integritas membutuhkan perubahan cara pandang yang mendasar, dimulai dari fondasi pendidikan dan budaya. Selama ini, berbagai program antikorupsi cenderung bersifat dogmatis, menekankan slogan moral tanpa membentuk kebiasaan nyata. Padahal, integritas harus diajarkan sebagai praktik sehari-hari dalam pengambilan keputusan, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun tempat kerja.

Transparansi juga perlu dipahami sebagai sarana pendidikan publik dengan membuka proses dan keputusan pemerintahan, masyarakat dapat melihat bahwa praktik yang bersih itu mungkin, terukur dan dapat dipertanggungjawabkan.

Gerakan antikorupsi tidak akan bermakna jika ia hanya berkutat pada simbol-simbol. Ia membutuhkan kesadaran bahwa integritas merupakan kekuatan moral dan politik yang dapat mengubah arah negara. Ketika publik mulai sadar bahwa korupsi bukan hanya penyimpangan kekuasaan, tetapi juga kegagalan dalam membangun budaya integritas, maka langkah-langkah perubahan akan lebih mudah dirintis.

Peringatan Hari Antikorupsi seharusnya mendorong munculnya pembicaraan- pembicaraan kritis semacam ini, bukan sekadar membagi-bagikan komitmen di atas kertas.

Membangkitkan kembali kesadaran integritas adalah langkah paling mendasar yang membutuhkan komitmen penuh dari seluruh elemen bangsa. Tanpa upaya ini, pemberantasan korupsi hanya akan berhenti sebatas seremoni tahunan yang kehilangan makna dan gagal membawa perubahan nyata.

Integritas merupakan jantung yang menjaga pemerintahan tetap bersih, memastikan pembangunan berjalan adil, dan mempertahankan martabat demokrasi.

Karena itu, refleksi di Hari Antikorupsi tidak cukup hanya menilai seberapa luas korupsi masih terjadi, tetapi juga menakar sejauh mana keberanian kita untuk memulihkan integritas sebagai nilai yang hidup dalam ruang publik. Kebangkitan integritas hanya mungkin terwujud melalui partisipasi aktif warga negara dalam mengawasi, menolak gratifikasi, dan menuntut akuntabilitas sehingga rantai impunitas dapat diputus dan etika kembali menjadi fondasi politik serta birokrasi.

Refleksi ini seharusnya menjadi titik awal bagi komitmen kolektif untuk bertindak jujur bukan karena takut pada sanksi, melainkan karena kesadaran bahwa kejujuran adalah pilihan moral yang menentukan masa depan bangsa.[]

Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Andalas.*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *