“SUMATERA MENANGIS”, Kajian Ilmiah atas Krisis Ekologis, Sosial, dan Paradoks Kebijakan Pembangunan

Oleh : Alirman Sori*)

Abstrak

Pulau Sumatera merupakan salah satu kawasan strategis Indonesia dengan kekayaan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati yang tinggi. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, Sumatera mengalami degradasi lingkungan yang signifikan akibat deforestasi, alih fungsi lahan, eksploitasi sumber daya alam, serta lemahnya tata kelola lingkungan.

Artikel ini disusun menggunakan pendekatan naratif-ilmiah untuk menggambarkan fenomena “Sumatera Menangis” sebagai metafora akademik atas krisis ekologis dan sosial yang berlangsung secara sistemik.

Melalui pendekatan deskriptif-analitis, artikel ini menguraikan hubungan antara kebijakan pembangunan, kerusakan lingkungan, dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat.

Hasil kajian menunjukkan bahwa krisis di Sumatera bukan semata-mata bencana alam, melainkan konsekuensi dari paradigma pembangunan yang eksploitatif dan tidak punya tujuan jelas pada keberlanjutan ekologis serta keadilan sosial.

Pendahuluan

“Sumatera Menangis” mencerminkan kondisi objektif Pulau Sumatera yang menghadapi tekanan ekologis dan sosial secara berkelanjutan. Berbagai peristiwa seperti banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, serta konflik agraria terus berulang dan menunjukkan pola yang sistematis.

Fenomena tersebut menandakan adanya disparitas antara aktivitas manusia dan daya dukung lingkungan hidup.  

Sumatera yang dahulu dikenal sebagai salah satu kawasan hutan tropis terluas di dunia kini mengalami laju deforestasi yang tinggi akibat ekspansi perkebunan, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur.

Pembangunan yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek sering kali mengabaikan aspek keberlanjutan lingkungan dan perlindungan masyarakat lokal, sehingga menimbulkan krisis multidimensional.

Kondisi Ekologis Sumatera

Secara ekologis, Pulau Sumatera memiliki peran strategis sebagai penyangga kehidupan dan pusat biodiversitas. Hutan hujan tropis Sumatera menjadi habitat berbagai spesies endemik yang dilindungi secara nasional maupun internasional.

Namun, alih fungsi kawasan hutan telah menyebabkan fragmentasi habitat dan penurunan populasi satwa liar secara signifikan (WWF Indonesia, 2021).

Kerusakan daerah aliran sungai akibat pembukaan hutan menyebabkan meningkatnya risiko bencana hidrometeorologis, seperti banjir dan longsor.

Selain itu, degradasi lahan gambut memperburuk kondisi ekologis karena lahan gambut yang kering sangat rentan terhadap kebakaran dan menghasilkan emisi karbon dalam jumlah besar (Page et al., 2011).

Dampak Sosial dan Kemanusiaan

Kerusakan lingkungan di Sumatera berdampak langsung terhadap kehidupan sosial masyarakat. Masyarakat adat dan komunitas lokal menjadi kelompok paling rentan akibat hilangnya akses terhadap tanah, hutan, dan sumber penghidupan tradisional.

Konflik agraria sering terjadi sebagai akibat tumpang tindih perizinan dan lemahnya pengakuan hak masyarakat adat atas wilayah kelola mereka (Safitri, 2013).

Selain itu, ketimpangan pembangunan antara wilayah perkotaan dan pedesaan semakin memperlebar jurang sosial. Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari eksploitasi sumber daya alam tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar, sehingga melahirkan kemiskinan structural, peminggiran sosial dan menjadi kelompok marjinal.

Paradoks Kebijakan Pembangunan

Negara secara normatif memiliki tanggung jawab konstitusional untuk melindungi lingkungan hidup dan menjamin kesejahteraan rakyat.

Namun, dalam praktiknya, kebijakan pembangunan di Sumatera masih dimonopoli oleh paradigma ekstraktif yang menempatkan sumber daya alam sebagai komoditas ekonomi semata. Lemahnya penegakan hukum lingkungan serta kemunafikan kebijakan tata ruang memperparah kerusakan ekologis yang terjadi.

Penerbitan izin usaha tanpa kajian lingkungan yang komprehensif menunjukkan adanya paradoks antara tujuan pembangunan dan prinsip sustainable.

Akibatnya, kerusakan lingkungan tidak hanya berlanjut, tetapi juga diwariskan kepada generasi mendatang sebagai beban ekologis dan sosial (Sachs, 2015).

Sumatera Menangis sebagai Metafora Akademik

Dalam perspektif ilmiah, “Sumatera Menangis” dapat dipahami sebagai metafora akademik atas krisis peradaban.

Tangisan tersebut merupakan peringatan bahwa relasi manusia dengan alam telah bergeser dari hubungan harmonis menjadi hubungan eksploitatif. Krisis ekologis yang terjadi bukan sekadar persoalan teknis, melainkan persoalan etika pembangunan dan keadilan antar generasi (Keraf, 2010).

Metode pembangunan berkesinambungan menuntut integrasi antara kepentingan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan keadilan sosial. Tanpa perubahan paradigma, kerusakan yang terjadi di Sumatera akan terus berulang dan semakin sulit dipulihkan.

Simpulan

Bahwa, fenomena “Sumatera Menangis” merupakan cerminan krisis ekologis dan sosial yang bersifat struktural. Kerusakan lingkungan, konflik agraria, dan ketimpangan pembangunan di Sumatera tidak dapat dilepaskan dari paradigma pembangunan yang kurang berorientasi pada sistem keberlanjutan.

Oleh karena itu, diperlukan reformasi kebijakan pembangunan yang menempatkan lingkungan hidup dan manusia sebagai pusat perencanaan pembangunan agar Sumatera dapat kembali menjadi ruang hidup yang lestari dan berkeadilan. []

Penulis adalah Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI dan Ketua Dewan Redaksi www.fokussumbar.com*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *