Oleh : Lusi Hardianti Siregar*)
Pagi itu, suasana di SMA Harapan Bangsa terasa berbeda. Tak ada lagi pemandangan siswa yang berkerumun di depan mading (majalah dinding) untuk melihat pengumuman. Sebagai gantinya, notifikasi dari grup aplikasi pesan singkat berdenting serempak di ponsel masing-masing.
Bu Rina, guru Bahasa Indonesia, baru saja mengirim materi pelajaran dan tugas proyek kolaboratif melalui platform pembelajaran daring. Inilah potret kecil dari sebuah revolusi senyap yang tengah melanda dunia pendidikan Indonesia: pergeseran menuju pembelajaran yang dipersonalisasi dan berbasis teknologi.
Kisah ini bukan hanya tentang SMA Harapan Bangsa, tetapi cerminan dari ribuan sekolah lain di seluruh negeri yang sedang beradaptasi dengan tren pendidikan terkini.
Pandemi COVID-19 beberapa tahun lalu menjadi katalisator yang mempercepat adopsi teknologi digital dalam proses belajar-mengajar. Apa yang tadinya dianggap sebagai alternatif, kini menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan. Pembelajaran hibrida, yang menggabungkan sesi tatap muka dengan kelas virtual, kini menjadi pemandangan umum.
Di sudut lain sekolah, Pak Budi, seorang guru sejarah, sedang mencoba sesuatu yang baru. Ia menggunakan aplikasi virtual reality (VR) untuk mengajak siswanya “berkunjung” ke situs-situs bersejarah.
Para siswa tak lagi hanya membaca teks tentang Candi Borobudur; mereka bisa “berjalan-jalan” di lorong-lorongnya dan melihat reliefnya dari dekat. Ini adalah bagian dari upaya untuk membuat pembelajaran lebih imersif dan interaktif, sebuah tren yang didorong oleh kemajuan teknologi seperti Artificial Intelligence (AI), Augmented Reality (AR), dan VR.
Namun, transformasi ini tidak hanya soal teknologi. Di jantung perubahan ini ada sebuah gagasan besar yang sedang viral: Kurikulum Merdeka. Kurikulum ini memberikan keleluasaan bagi guru seperti Bu Rina dan Pak Budi untuk tidak lagi terpaku pada target materi yang kaku.
Mereka didorong untuk menjadi fasilitator yang kreatif, merancang pembelajaran berbasis proyek yang relevan dengan minat dan bakat siswa. Misalnya, siswa yang tertarik pada isu lingkungan bisa membuat proyek berkebun di sekolah, belajar tentang biologi, ekonomi, dan kemandirian sekaligus.
Fokusnya pun bergeser. Pendidikan kini tidak lagi melulu soal nilai akademis atau hafalan. Ada penekanan kuat pada pengembangan karakter dan soft skills—kemampuan berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi.
Sekolah menjadi tempat untuk menumbuhkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berintegritas dan siap menghadapi tantangan dunia kerja yang dinamis.
Tentu saja, perjalanan ini tidak mulus. Kesenjangan fasilitas digital antar daerah, tingkat literasi yang masih perlu ditingkatkan, dan tantangan dalam memastikan keamanan siswa di dunia maya adalah beberapa isu kritis yang terus menjadi catatan.
Namun, semangat untuk berubah terus menyala. Dari ruang-ruang kelas yang dulu sunyi, kini lahir diskusi-diskusi riuh yang meluas hingga ke dunia maya, didorong oleh semangat kemerdekaan belajar dan inovasi tanpa henti. Pendidikan Indonesia sedang menulis babak barunya, sebuah cerita tentang adaptasi, teknologi, dan harapan untuk masa depan yang lebih cerah. []
Mahasiswa Tadris Fisika Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Imam Bonjol Padang*)




