Oleh : Adam Al Amri*)
Di tengah gemuruh solidaritas nasional yang dibangkitkan oleh bencana banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, perdebatan soal mekanisme penggalangan dana kembali mencuat ke permukaan.
Pada 9 Desember 2025, Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menegaskan bahwa setiap penggalangan donasi, baik oleh perorangan maupun kelompok, sebaiknya diawali dengan pengajuan izin kepada pemerintah, mulai dari tingkat kabupaten/kota hingga Kementerian Sosial, agar aliran dan pelaporan dana dapat dipertanggungjawabkan secara transparan.
Ia juga mengingatkan bahwa laporan penerimaan dan pemanfaatan sumbangan harus jelas tercatat, bahkan untuk sumbangan di atas Rp 500 juta memerlukan audit oleh auditor bersertifikat. Pernyataan ini, seperti dilaporkan sejumlah media di Jakarta, bermaksud memperkuat tata kelola donasi di masa krisis bencana alam yang sedang berlangsung.
Namun, pertanyaan yang lebih besar muncul: ketika rakyat diminta mematuhi aturan izin untuk berdonasi, pernahkah negara “meminta izin” kepada rakyat ketika kebijakan pembangunan atau eksploitasi sumber daya alam justru berujung pada rusaknya lingkungan dan memperparah risiko bencana?
Fenomena ini membuka ruang diskusi luas tentang konsistensi akuntabilitas publik, dan apakah aturan itu diberlakukan secara adil dan proporsional di kedua sisi baik bagi kontributor bantuan sosial maupun pembuat kebijakan lingkungan.
Pola Perizinan yang Mengorbankan Lingkungan
Selama bertahun-tahun, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan ribuan izin usaha untuk kegiatan-kegiatan ekstraktif tanpa penegakan lingkungan yang ketat. Proses perizinan terbukti menjadi titik rawan terjadinya tindak pidana korupsi yang langsung berakhir pada kerusakan lingkungan.
Penelitian menunjukkan bahwa tata ruang yang tidak jelas menjadi celah bagi pejabat pemerintah untuk “memperjualbelikan” izin, mengubah “tata ruang menjadi tata uang”.
Contoh nyata yang terlihat dalam sektor perkebunan kelapa sawit. Melalui berbagai Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SK Datin I-XII), setidaknya 1,7 juta hektare kebun sawit telah diputihkan, meliputi 1.679 izin untuk perkebunan sawit yang sebelumnya beroperasi tanpa status hukum yang jelas.
Lebih dari 1.000 perusahaan sawit mendapatkan legalisasi meskipun telah beroperasi secara ilegal selama bertahun-tahun. Kebijakan pemutihan ini didasarkan pada Pasal 110A dan 110B Undang-Undang Cipta Kerja, yang memberikan jalan bagi perusahaan untuk mendapatkan legalitas hanya dengan memenuhi persyaratan administratif.
Akibat dari kebijakan permisif ini nyata: selama periode 2017 hingga 2023, deforestasi akibat perkebunan sawit mencapai 330,5 ribu hektare, dengan rata-rata laju deforestasi per tahun sebanyak 55.083 hektare.
Bahkan Data terbaru menunjukkan bahwa selama periode 2016 hingga 2025, seluas 1,4 juta hektare hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah terdeforestasi akibat aktivitas 631 perusahaan pemegang izin pertambangan, HGU sawit, PBPH, geotermal, dan izin pembangkit listrik.
Sedangkan jika kita merujuk kepada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa sumber daya alam harus digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun, dalam praktiknya, negara justru menjadi fasilitator eksploitasi demi keuntungan segelintir elit dan investor, melenceng dari mandat konstitusional dan tanggung jawab syariat.
Fatwa Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama yang ditetapkan dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang secara tegas menyatakan bahwa eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan adalah haram, karena menyebabkan mafsadah (kerusakan atau keburukan).
Meskipun pemerintah pada beberapa kesempatan mencabut izin-izin, upaya ini terbukti tidak konsisten dan sering terlambat. Penelitian TUK Indonesia menemukan bahwa meskipun 72% areal konsesi yang dicabut pada tahun 2022 layak dicabut dari aspek lingkungan, masih banyak izin yang tetap beroperasi meskipun keputusan induk sudah dicabut. Ini mengindikasikan lemahnya pengawasan dari kementerian dan lembaga terkait.
Maka “Apakah masih harus mendapatkan izin terlebih dahulu kepada pemerintah mengenai penggalangan dana bantuan untuk korban bencana, sedangkan penyebab bencana tersebut salah satu dari kebijakan pemerintah yang keliru?”.
Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang, Prodi Pendidikan Bahasa Arab*)




