Oleh : Nurul Jannah*)
Ibu adalah nama pertama yang kita kenal sebelum dunia memperkenalkan dirinya. Ia bukan hanya sosok yang melahirkan, tetapi ruang pertama tempat kita belajar merasa aman.
Bahkan sebelum kita bisa bicara, tubuh kitalah yang lebih dulu mengenal denyut jantungnya; irama cinta yang tak pernah terputus, bahkan ketika kita tumbuh dewasa dan menjauh dari pangkuannya.
Di sanalah hidup pertama kali terasa ramah. Di dadanya, ketakutan pertama kita ditenangkan. Di pelukannya, dunia yang asing perlahan menjadi bisa ditaklukkan.
Ibu adalah doa yang berjalan tanpa suara. Ia mencintai tanpa syarat, memberi tanpa hitung-hitungan, dan bertahan tanpa perlu dipuji.
Ketika dunia menuntut kita kuat, Ibu justru mengizinkan kita rapuh, di pangkuannya, tanpa perlu menjelaskan, tanpa takut dihakimi.
“Aku capek, Bu…”
Ibu menatap, mengusap kepala pelan, lalu berkata lirih,
“Capek boleh. Menyerah jangan.”
Kalimat itu sederhana, tetapi sering kali menjadi satu-satunya alasan kita memilih bangkit, saat dunia tak lagi memberi alasan untuk bertahan.
Kapan kita benar-benar menyadari arti Ibu?
Sering kali bukan saat ia ada di dekat kita. Kita baru paham betapa besarnya cinta itu ketika jarak hadir, ketika waktu terasa sempit, atau ketika kehilangan datang tanpa aba-aba. Saat itulah kita sadar: ada satu orang yang selalu mengingat kita, bahkan ketika kita sibuk melupakan diri sendiri.
“Sudah makan?”
“Jangan pulang malam.”
“Hati-hati di jalan.”
Kalimat-kalimat yang dulu kita anggap biasa, perlahan berubah menjadi gema rindu yang menghantam dada, terlambat kita sadari nilainya. Banyak dari kita baru mengerti, setelah suara itu tak lagi menyapa. Setelah pesan singkatnya tak lagi masuk. Setelah rumah terasa sama, tapi tak lagi hidup.
Di mana peran Ibu bekerja paling senyap?
Di ruang-ruang yang tak terlihat. Di dapur saat semua kenyang dan tertidur. Di kamar sunyi saat lelah akhirnya menemukan jalannya sendiri. Di sajadah, ketika air mata jatuh pelan dan doa dipanjatkan diam-diam. Di sudut rumah, ketika ia memilih menyimpan lelahnya sendiri agar anak-anaknya tumbuh tanpa beban.
Ibu tidak meminta dikenang sebagai pahlawan. Ia hanya ingin anak-anaknya baik-baik saja. Bahkan ketika hidupnya sendiri nyaris tak pernah benar-benar ringan.
“Kalau kamu bahagia, Ibu sudah cukup,” katanya suatu malam, padahal kita tahu, kebahagiaan itu ia beli dengan pengorbanan panjang yang tak pernah ia ceritakan kepada siapa pun.
Mengapa Ibu begitu kuat?
Karena cintanya tidak bergantung pada balasan. Ia bertahan bukan karena hidup mudah, melainkan karena ada amanah yang ia jaga sepenuh jiwa. Ia mungkin tak sempurna, tetapi cintanya selalu utuh, tak pernah terpecah oleh kecewa.
Ibu tidak selalu tahu jawaban dari semua masalah kita, tetapi ia selalu tahu ke mana harus membawa doa. Ketika logika kita buntu, ia ⁰mengetuk langit dengan keyakinan yang sederhana namun teguh.
“Ya Allah, jaga anakku…”
Doa itu mungkin pendek,
tetapi getarnya sampai ke Arsy dan pulang kepada kita dalam bentuk perlindungan yang tak kita sadari.
Bagaimana seharusnya kita memaknai Hari Ibu?
Bukan sekadar memberi bunga atau unggahan kata manis.
Hari Ibu adalah undangan sunyi untuk berhenti sejenak, menunduk, dan bertanya dengan jujur, sudahkah aku menjadi anak yang membuatnya tenang?
Mungkin kita tak bisa membalas seluruh pengorbanannya. Tapi kita selalu bisa memulai dari hal-hal kecil. Mendengar dengan sabar, berbicara dengan lembut, dan tidak menunda cinta.
“Bu, maaf ya…”
Kalimat itu sering tertahan di tenggorokan. Padahal bisa jadi, itulah kalimat yang paling lama ia tunggu, lebih dari hadiah apa pun.
Hari ini, di Hari Ibu, mari kita ingat satu hal. Jika dunia terasa terlalu keras, ada satu tempat yang selalu siap menerima kita, tanpa syarat, tanpa perhitungan.
Ia bernama Ibu.
Dan selama doa seorang ibu masih menyertai langkah kita, kita tidak pernah benar-benar berjalan sendirian.❤🔥🌹🎀
Jakarta, 22 Desember 2025
Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)




