Pintar di Kertas, Bodoh di Kehidupan

Oleh : Fikri Alhamdi*)

Banyak orang mengira bahwa puncak gunung adalah selembar kertas wisuda. Padahal, ijazah hanyalah tiket masuk ke sebuah rimba yang tidak pernah peduli seberapa rapi tulisan tanganmu saat ujian akhir.

Kita sedang menghadapi gelombang sarjana yang “silau” di atas kertas, namun “rabun” saat menginjak bumi. Inilah tragedi intelektual yang kita sebut: pintar secara administratif, namun gagap secara eksistensial.

Tulisan ini bukan untuk meremehkan prestasi akademik, melainkan sebuah pengingat keras. Meminjam sentilan Rocky Gerung, ijazah memang bukti seseorang pernah sekolah, bukan bukti ia berpikir. Lebih jauh lagi, ijazah seringkali hanya menjadi sertifikat “kepatuhan akademik”, bukan sertifikat “kecakapan hidup”.

Banyak sarjana yang mampu menyelesaikan persamaan rumit di atas kertas, namun gagal menyelesaikan konflik sederhana dalam relasi sosial atau manajemen emosi di dunia kerja.

Menara Gading dan Jebakan Kunci Jawaban

Kampus sering kali menjadi menara gading yang terlalu nyaman. Di dalamnya, mahasiswa dilatih menjinakkan soal-soal rumit yang sudah ada kunci jawabannya. Namun, kehidupan tidak menyediakan lembar soal.

Di luar sana, masalah datang tanpa pengantar, tanpa silabus, dan tanpa bantuan asisten dosen. Mereka yang hanya mengejar angka 4,0 sering kali mengalami culture shock saat mendapati dunia kerja lebih menghargai ketangguhan mental daripada kecepatan menghafal definisi.

Seperti kata Albert Einstein, “Pendidikan adalah apa yang tersisa setelah seseorang melupakan apa yang dipelajarinya di sekolah.” Jika yang tersisa hanya kertas, maka tamatlah riwayatnya.

Kita melihat banyak “robot akademis” yang mahir mengutip teori besar, namun tak sanggup bernegosiasi dengan rekan kerja. Mereka memiliki IQ yang menjulang, namun kecerdasan emosionalnya (EQ) jongkok.

Howard Gardner, sang perumus kecerdasan majemuk, berkali-kali mengingatkan bahwa kecerdasan interpersonal (berhubungan dengan orang lain) jauh lebih menentukan nasib seseorang di dunia nyata.

Di pasar tenaga kerja yang sesak, kemampuan beradaptasi dan ketahanan banting (resilience) adalah mata uang yang jauh lebih berharga daripada deretan nilai A yang beku di transkrip akademik.

Di sudut-sudut kampus di Kota Padang misalnya, fenomena ini kian nyata. Mahasiswa lebih bangga mengurung diri demi IPK sempurna, namun enggan berkeringat dalam organisasi atau sekadar berdiskusi di warung kopi untuk mengasah kepekaan sosial.

Mereka menjadi eksklusif, merasa lebih tinggi karena gelar, namun sebenarnya sedang memenjarakan diri dalam tempurung teori. Akibatnya, saat terjun ke masyarakat, mereka seperti orang asing yang berbicara bahasa planet lain; tidak membumi dan tidak solutif bagi masalah di sekitarnya.

Mencetak Pemikir, Bukan Sekadar Operator

Pendidikan kita sejatinya bukan tentang mengisi keranjang dengan pengetahuan, melainkan menyalakan api karakter. Jika kuliah hanya berakhir pada kemampuan menjawab soal, maka kita hanya mencetak operator, bukan pemikir.

Kita butuh sarjana yang “liat”, yang tahu cara bangkit saat negosiasinya ditolak, dan memiliki integritas tanpa harus diawasi. Kepintaran di kehidupan adalah tentang bagaimana ilmu yang ada di kepala bisa turun ke tangan menjadi sebuah aksi nyata.

Jangan sampai ijazah yang Anda raih hanya menjadi bukti bahwa Anda pernah “parkir” di perguruan tinggi. Jadilah sarjana yang juga punya “jam terbang” di realitas yang keras.

Karena pada akhirnya, dunia tidak akan bertanya apa indeks prestasimu, melainkan apa yang bisa kamu lakukan dengan tangan dan pikiranmu untuk orang banyak. Jangan jadi pintar yang sia-sia; jadilah cerdas yang bermakna. []

Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *