Oleh: Boy Surya Hamta*
Indonesia merupakan salah satu negara dengan sistem demokrasi terbesar di dunia. Secara teori, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi adalah pemerintahan rakyat atau bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya ikut memerintah dengan perantara wakilnya.
Sementara menurut Oxford English Dictionary disebutkan, demokrasi merupakan pemerintahan oleh rakyat; bentuk pemerintahannya terletak pada kedaulatan rakyat secara menyeluruh dan dijalankan secara langsung oleh rakyat atau oleh pejabat yang dipilih rakyat.
Di Indonesia, teori demokrasi tersebut dijalankan melalui pemilihan umum legislatif (Pileg), pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang semua berorientasi kepada suara rakyat.
Sementara model yang dijalankan tentu saja demokrasi langsung. Kata langsung didefinisikan sebagai demokrasi yang melibatkan partisipasi rakyat secara langsung. Dimana dalam demokrasi ini, batas dan perbedaan antara pemerintah dan rakyat dihapus dan keduanya menyatu menjadi sistem pemerintahan oleh rakyat.
Tahun ini, Indonesia sudah menyelesaikan tahapan Pileg dan Pilpres. Kini, Indonesia tengah menyelenggarakan Pilkada serentak untuk memilih gubernur, walikota dan bupati lima tahun ke depan.
Di balik itu, ada tantangan besar dalam demokrasi tanah air, yakni fenomena bisnis politik.
Dalam bisnis politik, seorang calon kepala daerah sering kali harus menyerahkan sejumlah uang mahar kepada partai politik tertentu demi mendapatkan dukungan.
Fenomena ini tentu tidak hanya merusak integritas demokrasi, tetapi berdampak pada buruknya kualitas kepemimpinan dan berimbas pada kesejahteraan masyarakat di masa depan.
Besaran mahar yang mencapai puluhan miliar rupiah, tentu menimbulkan beban finansial yang sangat besar bagi setiap calon. Selain mahar, biaya operasional tim dan kampanye juga sangat tinggi yang membuat politik kian sulit diakses mereka yang tidak memiliki modal besar, namun punya visi dan kualitas kepemimpinan.
Kondisi ini tentu berdampak buruk bagi pemerintahan itu sendiri. Sebab, seorang calon kepala daerah yang telah mengeluarkan uang besar untuk meraih kursi kepala daerah akan berfikir untuk mengembalikan modal setelah mereka terpilih.
Hal inilah yang kemudian mendorong mereka korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan. Apalagi kalau modal politik yang digunakan berasal dari cukong atau pihak ketiga. Tentu saja, balasan yang diberikan dalam bentuk proyek.
Alih-alih fokus pada kesejahteraan masyarakat, mereka tentu akan lebih memilih kebijakan yang menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya atau tim suksesnya tersebut, termasuk para pemodal atau cukong.
Lihat saja yang terjadi sekarang, berapa banyak kepala daerah atau pejabat pemerintah yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Atau kepala daerah yang terpaksa mundur sebab terjerat kasus korupsi. Ini bukti nyata dari dampak buruk bisnis politik.
Kini, demokrasi yang seharusnya menghasilkan pemimpin unggul, memiliki visi dan berintegritas menjadi sulit terujud. Demokrasi terdegradasi menjadi sekadar transaksi bisnis dari kelompok-kelompok tertentu dan para cukong.
Proses seleksi pemimpin yang seharusnya demokratis, berubah menjadi arena jual beli dukungan dan kepentingan masyarakat menjadi korban.
Partai politik yang harusnya menjadi pilar demokrasi dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat, justru berubah menjadi arena bisnis. Partai didirikan bukan lagi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, tetapi untuk memperoleh keuntungan semata.
Dukungan partai diobral kepada calon yang bisa membayar mahal, tanpa memperhatikan kemampuan dan integritas.
Bagaimana solusinya
Untuk memberengus masalah bisnis politik tersebut, tentu membutuhkan keseriusan dan keberanian aparat penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan dan KPK untuk menindak mereka yang terlibat.
Pemerintah juga perlu mereformasi sistem pendanaan partai politik dan kampanye. Pendanaan harus transparan dan akuntabel, dengan pengawasan ketat lembaga independen.
Selain itu, masyarakat juga harus dididik untuk lebih kritis memilih pemimpin. Masyarakat harus didorong memilih pemimpin yang berintegritas, bukan hanya sekedar memiliki kemampuan finansial atau pemimpin yang suka memberi saweran saat kampanye.
Sebab, bisnis dan mahar politik merupakan ancaman serius bagi demokrasi dan kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Bila dibiarkan terus berlangsung, praktik ini akan semakin merusak integritas demokrasi dan menghambat pembangunan daerah.
Butuh komitmen pemerintah dan masyarakat, untuk melawan praktik ini dan memastikan demokrasi berjalan sesuai prinsip demi kepentingan rakyat, bukan segelintir orang yang memiliki kekuasaan dan uang saja. (*)
*Penulis adalah Editor FokusRiau.Com dan Sekretaris DPD Pro Jurnalismedia Siber (PJS) Riau.