Oleh: Israr Iskandar*
Menghadapi perhelatan demokrasi dalam wujud ratusan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak November tahun ini, sejumlah pihak, khususnya dari elemen-elemen masyarakat sipil, mengingatkan akan potensi distorsi politik yang dapat mengurangi kualitas pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Distorsi demokrasi dimaksud antara lain berupa politik uang dan politik dinasti yang indikasinya sudah terbaca jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan pilkada.
Masalahnya, dalam sistem demokrasi liberal yang kita anut hingga ke aras lokal, politik uang seolah-olah sudah menjadi “syarat” mutlak bagi para aktor politik. Ada indikasi pembiaran. Begitu pula, hubungan-hubungan politik dalam wujud politik dinasti, sebagaimana terjadi di banyak tempat, juga seolah telah menjadi determinant factor bagi para pemain politik untuk bisa tampil di panggung elektoral. Mereka yang tidak ikut dalam “pakem” politik semacam itu tidak bisa masuk ke dalam arena persaingan kekuasaan.
Memang dalam konteks ekonomi-politik elektoral ini mesti dibedakan antara uang politik dan politik uang. Uang politik (political financing) adalah biaya logis dari keikutsertaan politisi pada suatu pesta demokrasi.
Dana yang diperlukan untuk sosialisasi politik, misalnya untuk sewa gedung, sound system dan pernak-pernik kampanye lainnya termasuk dalam ranah pembiayaan politik. Biaya politisi untuk beriklan di berbagai platform media, walaupun mesti diatur dengan baik, juga termasuk political financing.
Sementara politik uang (money politics) adalah istilah yang merujuk pada korupsi politik pada umumnya, termasuk model klientelisme hingga pembelian suara (buying votes). Intinya, politik uang adalah upaya mempengaruhi perilaku orang lain dengan memberikan, menggunakan atau menjanjikan imbalan tertentu.
Dewasa ini, dalam konteks pilkada misalnya, politik uang tak hanya menyangkut politisi “membeli” suara rakyat pada saat akan melakukan pencoblosan, katakanlah dalam bentuk “serangan fajar”, tetapi juga praktik jual beli “tiket” yang disediakan partai politik atau gabungan partai politik kepada calon kepala daerah yang akan didukung atau diusung.
Sejarah politik uang
Sebagai suatu upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih merupakan praktik yang sudah cukup lama juga dalam sejarah politik Indonesia. Setidaknya praktik semacam ini sudah berlangsung sejak masa Orde Baru ketika pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
Sejarah mencatat, pemilu pada masa Soeharto pada umumnya dianggap sebagai “demokrasi semu” (pseudo democracy) . Hal itu karena keberpihakan yang mencolok dan sengaja dari pemerintah dan aparat negara kepada salah satu kontestan pemilu, yakni Golkar (Golongan Karya) yang pada waktu itu diaku atau diklaim bukan partai politik. Kontestan-kontestan lain (yang justru dinisbatkan sebagai partai politik) seolah hanya dijadikan pelengkap penderita belaka dalam pesta elektoral masa itu.
Pemilu 1971, misalnya, sebagai pesta demokrasi pertama ala Orde Baru, diikuti sepuluh kontestan: Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah Indonesia (Perti,) Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai Katolik, dan Golongan Karya (Golkar).
Namun sejak pemilu 1977, pesta politik itu hanya diikuti tiga kontestan: yakni Partai Persatuan Pembangunan (hasil fusi partai-partai Islam), Partai Demokrasi Indoensia (hasil fusi partai-partai nasionalis dan Kristiani) dan Golkar. Dalam konteks ini, berbagai upaya politik bersifat manipulatif dilakukan Golkar yang didukung perangkat negara, seperti aparat keamanan, birokrasi dan bahkan justifikasi kaum “cerdik pandai” untuk memenangkan “Beringin” secara mutlak.
Di antaranya adalah melakukan politik uang, dalam arti membeli suara dan dukungan pemilih. Bisa dikatakan, rezim Orde Baru adalah “soko guru” politik uang paling solid dalam sejarah korupsi politik di negara kita. Memang hal itu bisa “dipahami,” karena sistem politik otoritarian pada masa itu memungkinkan rezim dapat melakukan apapun untuk mewujudkan visi dan misi politiknya.
Dalam konteks itu, dua partai lainnya (PPP dan PDI) menjadi sasaran politik “Machiavellian” ala Orde Baru. Karena memiliki sumber daya yang berlimpah, termasuk penggunaan secara mencolok berbagai fasilitas negara, politik uang menjadi salah satu modal andalan Golkar untuk membujuk rakyat dan elit sosial pada setiap pemilu.
Di daerah-daerah basis PPP, misalnya, banyak tokoh informal yang menjadi pendukung tradisional “Partai Ka’bah” (PPP) dibujuk dan diiming-imingi dengan bantuan uang, jabatan dan bentuk materi lainnya, agar mengalihkan dukungannya kepada Golkar. Pada masa inilah banyak rakyat dan tokoh masyarakat mulai “dinodai” oleh aneka praktik politik uang yang kelak berdampak sistemik pada mentalitas sosial kita.
Politik ‘Machiavellian’
Celakanya, setelah rezim Orde Baru tumbang, model politik menghalalkan segala cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan justru berlanjut, bahkan hingga ke dekade ketiga era reformasi. Perubahan sistem dari otoriter ke demokrasi malah melanjutkan siklus distorsi politik, termasuk politik uang dalam politik elektoral kita.
Pada era reformasi, demi kekuasaan, banyak politisi sepertinya tidak lagi merasa malu untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan norma-norma hukum, agama maupun sosial. Dalam konteks (ilmu) politik adanya perilaku para aktor yang mengabaikan berbagai norma dan etika itu mengingatkan orang pada kecenderungan perilaku “Machiavellianisme” dalam sejarah Eropa pada abad pertengahan.
Niccolo Machiavelli (1467-1527) dalam bukunya yang terkenal, The Prince, sebenarnya mengajarkan politik “menghalalkan segala cara” demi mempertahankan negara atau demi kepentingan publik sebenarnya. Walaupun demikian, sejarah terlanjur mencap Machiavelli sebagai orang yang mengajarkan politik menghalalkan segala cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan (Suhelmi, 2001)
Politik Machiavellian yang dipraktikkan (sebagian) politikus kita bukan untuk kepentingan negara dan kepentingan publik, tetapi justru untuk kepentingan individu dan kelompok sendiri. Mereka tidak malu dan tidak takut dicela dan dibenci oleh rakyat. Celakanya, watak politik Machiavellian itu masih marak hingga memasuki dekade ketiga era pasca otoritarian Orde Baru dewasa ini.
Politisi nir-etika dan norma pada dasarnya juga seorang Machiavellian, bahkan mungkin lebih berbahaya dari itu, karena yang menjadi korbannya orang banyak. Terbongkarnya sejumlah kasus korupsi yang dilakukan para politisi, aparat negara bahkan penyelenggara pemilu sejak awal reformasi menunjukkan bahwa mereka sebenarnya bukan memperjuangkan kepentingan rakyat, tapi justru berladang di punggung rakyat.
Ironinya, banyak aktor politik justru memanfaatkan situasi “zig zag” masa reformasi untuk meraup keuntungan dan kepentingan politik sebesar-besarnya. Mereka memanfaatkan lemahnya institusi hukum, rendahnya kesadaran hukum masyarakat, dan tidak efektifnya lembaga-lembaga kontrol. Mereka tak mempertimbangkan kondisi bangsa yang terpuruk.
Suatu ungkapan lama mengatakan, harapan terlalu besar sering mengecewakan. Namun, apapun respon terhadap perkembangan keadaan, sejarah akan terus berjalan. Kita berpendapat agar harapan yang terlalu besar tidak terlalu mengecewakan, maka pelbagai gerakan moral, seperti gerakan anti-politik uang dan politik dinasti yang berkumandang di sejumlah daerah akhir-akhir ini, harus didukung penuh oleh segenap elemen masyarakat sipil. (**)
* Penulis merupakan dosen sejarah FIB Universitas Andalas