Standar Kecantikan dan Mekanisme “Whiteness” di Iklan Kecantikan

Oleh : Annisa Anindya*

Standar kecantikan yang dominan di media massa tidak hanya mencerminkan preferensi estetika, tetapi merupakan hasil dari konstruksi sosial yang berakar pada warisan kolonialisme dan dinamika ekonomi modern.

Di Indonesia, gagasan tentang “whiteness” atau kulit cerah telah menjadi standar kecantikan yang diidealkan, dan ini semakin diperkuat oleh iklan-iklan produk kecantikan, terutama produk pemutih kulit. Hal ini juga berkaitan dengan fenomena global, seperti pengaruh budaya Korea yang kini semakin mendominasi.

Media massa dan media sosial terus-menerus mengkonstruksi konsep mengenai standar kecantikan ideal, terutama bagi perempuan. Di Indonesia, standar kecantikan yang awalnya berakar pada warisan kolonial, kini bergeser ke arah yang lebih global, dengan pengaruh besar dari industri kecantikan Korea Selatan.

Perempuan dengan kulit cerah, tubuh langsing, dan fitur wajah tertentu yang mirip dengan standar kecantikan perempuan Korea, kini dianggap sebagai representasi kecantikan ideal. Ini adalah hasil dari paparan simultan media yang secara konsisten menampilkan citra perempuan “sempurna” dengan fitur-fitur tersebut, baik di dalam iklan produk kecantikan, drama Korea, maupun konten media sosial.

Fenomena ini tidak hanya mengubah persepsi kecantikan, tetapi juga menciptakan tuntutan sosial yang seolah-olah harus dipenuhi oleh perempuan. Di bawah tekanan ini, banyak perempuan merasa harus mencapai standar kecantikan yang telah ditetapkan media untuk dianggap cantik, diterima secara sosial, atau bahkan untuk mendapatkan kesempatan yang lebih baik dalam karier dan kehidupan.

Hal ini berimplikasi besar terhadap rasa percaya diri dan citra tubuh perempuan, terutama generasi muda yang sering kali mengukur nilai diri mereka berdasarkan penampilan fisik yang diidealkan oleh media.

Konstruksi kecantikan ini memiliki kaitan erat dengan beauty industrial complex, yang merujuk pada jaringan industri kecantikan global yang terus-menerus membombardir negara-negara, termasuk Indonesia, dengan produk-produk kosmetika.

Salah satu contoh yang paling menonjol adalah ekspansi industri kecantikan Korea Selatan yang semakin merambah pasar Indonesia. Produk-produk seperti krim pemutih kulit, serum anti-penuaan, dan kosmetik lainnya membanjiri rak-rak toko dan platform daring. Industri ini tidak hanya menjual produk, tetapi juga menanamkan narasi bahwa menjadi cantik sesuai dengan standar kecantikan Korea adalah kunci untuk meraih kesuksesan, kebahagiaan, dan pengakuan sosial.

Salah satu dampak besar dari dominasi industri kecantikan Korea adalah meningkatnya minat terhadap operasi plastik di kalangan perempuan, baik di Korea maupun di Indonesia. Banyak perempuan yang merasa terpaksa untuk mengubah penampilan fisik mereka agar sesuai dengan standar kecantikan yang didiktekan oleh media.

Operasi plastik, yang sebelumnya mungkin dianggap sebagai sesuatu yang ekstrem atau tabu, kini semakin menjadi hal yang normal, terutama di kalangan selebriti dan influencer media sosial. Fenomena ini memperkuat narasi bahwa kecantikan adalah sesuatu yang harus dicapai melalui perubahan fisik yang radikal, bukan melalui penerimaan diri atau pengembangan karakter dan kepribadian.

Dalam konteks ini, produk pemutih kulit memainkan peran penting dalam mengokohkan standar kecantikan yang didominasi oleh konsep “whiteness.” Di Indonesia, produk-produk pemutih kulit seperti Pond’s, Wardah, dan banyak lainnya, sering kali diiklankan dengan menonjolkan citra perempuan dengan kulit putih yang dianggap lebih cantik, lebih sukses, dan lebih bahagia.

Pesan yang disampaikan melalui iklan-iklan ini secara halus menanamkan gagasan bahwa kulit putih adalah prasyarat untuk mencapai kesempurnaan fisik, dan pada gilirannya, kesempurnaan sosial.

Mekanisme ini tidak terlepas dari warisan kolonialisme, di mana gagasan bahwa kulit putih lebih superior secara ekonomi dan sosial diperkenalkan oleh penjajah Eropa. Seperti yang terjadi di berbagai belahan dunia lainnya, kolonialisme Belanda di Indonesia turut memperkuat narasi ini.

Para kolonial mengkategorikan masyarakat berdasarkan warna kulit, dengan orang-orang kulit putih berada di puncak hierarki sosial. Hingga kini, gagasan tersebut masih hidup melalui iklan produk pemutih kulit dan media yang terus menonjolkan perempuan berkulit putih sebagai simbol kecantikan yang ideal.

Di sisi lain, setelah konsep kulit putih diterima sebagai “kebenaran” yang tak terbantahkan, iklan produk pemutih memanfaatkan narasi tersebut dengan memposisikan kulit sebagai sesuatu yang dapat diubah. Dengan bantuan produk kecantikan, kulit gelap dianggap dapat “diubah” menjadi lebih putih, yang pada gilirannya akan membuat seseorang lebih cantik dan sukses.

Konsep ini mempromosikan gagasan bahwa kecantikan adalah sesuatu yang dapat diperbaiki secara fisik, dan produk pemutih kulit adalah solusinya.

Dampak dari narasi ini sangat mendalam, terutama bagi perempuan Indonesia yang terus menerus dibanjiri oleh pesan-pesan yang menekankan pentingnya memiliki kulit putih. Media sosial, yang semakin menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, memperkuat tekanan ini.

Selebriti dan influencer yang menampilkan kulit cerah sebagai bagian dari citra ideal mereka, semakin menambah tekanan bagi perempuan biasa untuk mengikuti standar yang sama. Ini menciptakan siklus di mana perempuan merasa bahwa mereka harus menggunakan produk pemutih, melakukan perawatan kecantikan, atau bahkan menjalani operasi plastik untuk mencapai standar kecantikan yang telah dipatok oleh media.

Pada akhirnya, konstruksi kecantikan yang sempit ini tidak hanya berdampak pada cara perempuan memandang diri mereka sendiri, tetapi juga mempersempit definisi kecantikan secara umum. Kecantikan, yang seharusnya mencakup keragaman warna kulit, bentuk tubuh, dan karakter individu, kini direduksi menjadi satu dimensi: kulit putih.

Pesan ini merusak makna inner beauty atau kecantikan dari dalam, yang menekankan nilai moral, kebaikan hati, dan sikap positif sebagai aspek kecantikan yang lebih penting daripada penampilan fisik semata. Sudah saatnya kita mulai mempertanyakan dan melawan narasi kecantikan yang sempit ini.

Kecantikan tidak boleh diukur hanya dari penampilan fisik atau warna kulit, tetapi harus merayakan keragaman dan keunikan setiap individu. Hanya dengan demikian, kita bisa melepaskan diri dari belenggu standar kecantikan yang tidak realistis dan merangkul kecantikan dalam segala bentuknya.

*) Dosen Ilmu Komunikasi pada Universitas Andalas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *