Iqbal Calon “Naturalisasi” Tidak Seperti yang Dibayangkan

Oleh : Taufiq Ikhsan Darlius*)

Sabtu, (26/10/2024) yang lalu, 3 pasang walikota dan wakil walikota Padang sudah menyelesaikan debat. Seri pertama dari dua seri.

Banyak pengamat yang sudah memberikan penilaian. Ada yang menilai pasangan Fadly – Maigus yang memenangi debat. Yang menilai pasangan Iqbal – Amasrul menang ada juga. Banyak juga yang mengatakan pasangan Hendri – Hidayat lebih unggul karena mereka berdua sukses menyampaikan hasil kerja dan fakta selama 2,5 tahun pemerintahan yang dijalankan Hendri.

Penulis sangat menunggu momen ini. Menunggu apakah “calon impor” atau “calon naturalisasi”, Muhammad Iqbal memang benar-benar hebat seperti yang dibayangkan sebagian orang selama ini. Diksi “naturalisasi” digunakan sendiri oleh Iqbal dalam debat tanggal 26 Oktober itu. Intinya dia bilang begini: biasa saja orang yang tidak pernah tinggal di Padang jadi Walikota Padang. Dalam sepak bola saja ada pemain “naturalisasi”.

Penulis bukan orang yang menolak konsep “naturalisasi”, baik dan sepak bola maupun pencalonan kepala daerah. Sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, siapa saja boleh mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah.

Tapi, ada catatannya. Yaitu kualitas pemain yang dinaturalisasi mestinya jauh di atas pemain lokal. Misalnya, dalam sepak bola, praktik “naturalisasi” yang dilakukan pelatih Shin Tae-yong (STY) boleh dicontoh. Marten Paes, Ragnar Oratmangun, Tom Haye, Jay Idzes, Calvin Verdonk dan kawan-kawan dinaturalisasi karena kemampuan mereka memang diatas kemampuan bermain pemain-pemain lokal yang sekarang tersedia.

Iqbal? Tidak ada yang menonjol dari Rektor kampus kecil di Jati Waringin ini. Debat pertama membuktikan. Tidak keluar dari mulutnya ide-ide bernas bagaimana mengatasi aneka problem kota yang berpenduduk lebih dari 900 ribu jiwa itu.

Kita tidak mendengar konsep bagaimana Iqbal mengatasi Batang Arau yang kotor secara terukur. Di debat itu juga tidak terdengar langkah kongkretnya bersama Amasrul mengatasi Gini Ratio kota Padang yang tahun 2023 tercatat cukup tinggi: 0,312.

Beliau juga tidak bicara secara sepesifik bagaimana cara mengatasi banjir atau genangan air yang di musim hujan mengepung kota. Soal macet di beberapa titik seperti di Simpang Lubeg dan Jembatan dekat Basko juga tidak ada jalan keluar dari mulut Iqbal.

Alih-alih menawarkan ide-ide bernas, Iqbal hanya sibuk menyerang Hendri Septa dengan retorika khas tukang debat. Seperti yang diulang-ulangnya di akun media sosial miliknya, Iqbal menyerang Hendri soal Adipura yang juga dibantah oleh Hendri. Iqbal juga mengulang-nungulang pernyataannya di akun instagramnya yang “mendaram” Hendri soal banyaknya tawuran. Dan serangan-serangan lainnya.

Tidak munculnya ide bernas Iqbal ini bisa jadi disebabkan dua hal. Pertama, Iqbal tidak menguasai medan dan fakta lapangan. Tak bisa dipungkiri, penguasaan medan dan fakta lapangan sangat penting sebagai bekal mencarikan jalan keluar persoalan kota. Kota Padang itu besar dan luas. Penduduknya saja berjumlah 934.847 jiwa dengan luas 694,96 km². Sebab itu, jika calon Walikota tidak berinteraksi secara intens dengan masyarakat yang tersebar di 11 Kecamatan, akan sangat sulit berharap dari mulutnya keluar solusi kongkret menyelesaikan masalah Kota yang sangat kompleks.

Kedua, Iqbal memang tidak punya ide bernas yang hendak disampaikan. Kemungkinan yang kedua ini cukup beralasan. Sebab, sependek pengetahuan penulis, Iqbal tidak punya rekam jejak memimpin banyak orang. Dia seorang dosen dan rektor, tapi rektor kampus kecil. Karakter manusia yang dipimpinnya di kampus tentu jauh berbeda dengan memimpin masyarakat umum.

Di kampus, yang dipimpin sebagian besarnya adalah anak-anak muda yang berharap ilmu dan kebaikan hati rektor dan dosen.

*) Peminat Hukum Politik dan Alumni Fakultas Hukum UBH

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *