Oleh : Patra Rina Dewi, S.Si, M.Sc*
SEBELUM meneruskan tulisan ini, perlu saya tegaskan bahwa tak seorangpun yang menginginkan terjadi bencana di daerahnya. Menanyakan kesiapan Sumatera Barat bukan berarti berharap tsunami terjadi, sama sekali tidak. Jangan lagi paradigma penyangkalan ini yang dipakai, karena penyangkalan ini akan membutakan hati dan pikiran kita untuk belajar tentang alam ciptaan Allah.
Cukup sudah tsunami Aceh benar-benar menjadi pelajaran berharga supaya tak terulang korban meninggal dunia sampai 230.000 jiwa. Saking dahsyatnya tsunami Aceh 26 Desember 2024 tersebut, negara-negara dunia terutama yang bernaung di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan pertemuan konferensi pada tanggal 18-22 Januari 2005 yang menghasilkan Kerangka Aksi Hyogo.
Kerangka Aksi Hyogo menegaskan perlunya perubahan paradigma dari respon tanggap darurat bencana menjadi pengurangan risiko bencana (PRB) – memastikan PRB menjadi prioritas nasional dan lokal yang didukung oleh kelembagaan yang kuat. Untuk menindaklanjuti hal tersebut, pemerintah Indonesia pada tanggal 26 April 2007 menerbitkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang diikuti dengan pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tanggal 26 Januari 2008.
Hal tersebut diikuti oleh Provinsi Sumatera Barat dengan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No. 5 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (yang sekarang sudah diganti dengan Perda No. 4 Tahun 2023). Pemerintah Provinsi Sumatera Barat juga menerbitkan Perda No. 9 Tahun 2009 tentang Pembentukan BPBD Provinsi Sumatera Barat yang berpedoman pada UU No. 24 Tahun 2007 dan Permendagri No. 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Sejak saat itu, BPBD memainkan peranan sebagai Lembaga koordinasi untuk kegiatan penanggulangan bencana, mulai dari pra bencana, tanggap darurat dan paska bencana, serta menjadi fungsi komando pada saat situasi darurat bencana.
Ketika BPBD Provinsi Sumatera Barat baru saja dibentuk, pemerintah Provinsi Sumatera Barat sudah dihadapkan pada ancaman tsunami pada zona megathrust Mentawai. Hal ini dikemukakan oleh para ahli yang hadir pada International Conference on the Sumatran Earthquake Challenge dilaksanakan di kota Padang selama tiga hari dan di hari terakhir pada tanggal 28 Agustus 2005 melahirkan sebuah rekomendasi untuk pemerintah dan organisasi kemasyarakatan di Sumatera Barat untuk : mengedukasi masyarakat tentang penyelamatan diri terhadap gempa dan tsunami, terutama di sekolah-sekolah, melakukan upaya kesiapsiagaan untuk respon keadaan darurat, memperkuat infrastruktur seperti; bangunan dan jembatan, menyusun rencana evakuasi dengan rute-rute evakuasi yang jelas, serta membangun tempat evakuasi vertikal.
Namun, empat tahun setelah konferensi tersebut dilaksanakan, Sumatera Barat luluh lantak dilanda gempa dahsyat berkekuatan 7.6 SR yang menyebabkan 1.117 orang tewas, 1.214 luka berat dan 1.668 luka ringan (data Satkorlak PB). Pada saat itu, BPBD baru saja lahir, sehingga amanah Undang-undang dan Perda Penanggulangan Bencana belum bisa dilaksanakan.
Kemudian, Provinsi Sumatera Barat kembali diuji oleh tsunami yang terjadi di Mentawai pada tanggal 25 Oktober 2010 akibat gempa berkekuatan 7.7 SR pada Pukul 21.42 WIB. Kurang lebih 500 orang tewas. Banyak yang tidak tahu kalau telah terjadi tsunami Mentawai pada malam tersebut. BMKG pun sempat “disalahkan” karena mengakhiri peringatan dini pada saat tsunami tengah melanda.
Berdasarkan kesaksian masyarakat, gempa yang dirasakan tidaklah terlalu kuat, sehingga ada warga yang langsung evakuasi ke bukit-bukit setelah gempa tapi ada juga yang menunggu informasi dulu melalui siaran Televisi dan ada juga yang tidak mau evakuasi karena gempa yang dirasakan tidak kuat. Lagi-lagi jatuh korban jiwa karena alasan minimnya edukasi, pelatihan dan sistem peringatan dini yang masih butuh penyempurnaan.
Di tanggal ini, 26 Desember 2024, 20 tahun setelah tsunami Aceh, seberapa siapkah Sumatera Barat menghadapi ancaman gempa megathrust yang berpotensi tsunami? Dari kajian para ahli, energi yang mungkin lepas diperkirakan 8.8 magnitud dan akan memicu tsunami dengan ketinggian landaan 8-10 meter dari permukaan laut dan untuk Mentawai diperkirakan 10-15 meter. Jika gempa tersebut membangkitkan tsunami, maka masyarakat di sepanjang pesisir pantai hanya punya wakatu 20 menit dan untuk Mentawai 5-10 menit untuk menyelamatkan diri, sebagai skenario terburuk. Hantaman gelombang ini akan berlangsung 3 kali selama 3 jam.
Lebih lanjut, berdasarkan rencana kontinjensi pada Peraturan Gubernur (Pergub) No. 27 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Nomor 71 Tahun 2012 tentang Rencana Kontinjensi, Sistem Peringatan Dini dan Penanganan Darurat Bencana Tsunami Provinsi Sumatera Barat, prakiraan masyarakat yang berada di kawasan ancaman tsunami berjumlah 950,271 jiwa yang tersebar pada tujuh kota/kabupaten yaitu : Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Pesisir Selatan, Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman dan jumlah terbanyak di kota Padang, yaitu sekitar 556, 559 jiwa.
Sudah 20 tahun tsunami Aceh, sudah 15 tahun gempa Padang serta sudah 14 tahun tsunami Mentawai berlalu, bagaimana kesiapsiagaan Sumatera Barat jika tsunami yang dipicu gempa megathrust itu terjadi?
Apakah 950 ribu jiwa terancam tersebut bisa selamat seperti masyarakat Pulau Simeulue yang hampir 100% selamat ketika tsunami Aceh melanda?
Sampai sekarang, penulis belum pernah mendapatkan kajian kesipasiagaan ini dari pemerintah Provinsi Sumatera Barat, kecuali yang pernah dilakukan oleh LIPI pada tahun 2006. Bukankah Pemerintah Provinsi bisa bekerja sama dengan perguruan tinggi yang juga punya program pengabdian masyarakat, jika masalah dana yang menjadi kendala?
Memang, sudah banyak kegiatan mitigasi dan kesiapsiagaan yang dilakukan oleh Pemerintah, yang didukung oleh Komunitas Siaga Tsunami (KOGAMI) dan Lembaga-lembaga lain anggota Forum Pengurangan Risiko Bencana (Forum PRB) Provinsi Sumatera Barat, tapi belum terlihat dukungan yang kuat dari Gubernur serta Walikota/Bupati di daerah ancaman tsunami.
Hanya Kota Padang yang selalu punya program pengurangan risiko bencana yang berkelanjutan, seperti Kelurahan Tangguh Bencana, Pelatihan Relawan KSB, Pelatihan aparatur terkait kebencanaan, Bimtek dan Implementasi Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB), dan lain-lain. Tapi, hal ini juga belum massive menjadi perhatian Pentahelix (Pemerintah, akademisi, swasta, media dan masyarakat). Seringkali pelatihan-pelatihan yang dilakukan tidak berkelanjutan, dengan berbagai alasan.
Seperti pada dua tahun belakangan ini, minim sekali kegiatan BPBD Sumbar untuk peningkatan kapasitas aparatur dan masyarakat, dengan alasan pendanaan. Apakah pendanaan yang tidak cukup atau memang pengusulan anggarannya yang tidak segencar sebelumnya. Pusat Pengendali Operasi (Pusdalops) PB BPBD yang dulu menjadi kebanggaan Sumatera Barat, sekarang ini seperti kehilangan gairah.
Insan kebencanaan seperti kehilangan “rumah” tempat bernaung. Memang, sudah ada rencana kontinjensi menghadapi ancaman tsunami seperti dipaparkan di atas, tapi apakah semua OPD/Lembaga yang terlibat pada rencana kontinjensi tersebut mengetahui tupoksinya?
Hal ini hanya akan terjawab dengan adanya Gladi atau Simulasi yang dilakukan secara rutin, karena dengan gladi atau simulasi inilah semua prosedur diuji, untuk diperbaiki, disempurnakan atau dipertahankan. Tapi uji rencana kontinjensi, system peringatan dini dan penanganan darurat inipun tak selalu dilakukan.
Lagi-lagi, alasannya anggaran. Begitu juga dengan implementasi Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) yang biasanya rutin dilakukan setiap tahun oleh BPBD Sumbar berupa Bimtek untuk Kepala Sekolah setingkat SMA, SMK dan SLB terakhir dilakukan pada tahun 2022. Pada tahun 2022 juga Kemendikbudristek RI berupaya untuk mendorong Pemerintah Provinsi Sumatera Barat membentuk Sekretariat Bersama (Sekber) SPAB dengan Dinas Pendidikan sebagai koordinatornya, tapi lagi-lagi belum seperti yang diharapkan. Sekber SPAB belum terbentuk secara kelembagaan yang legitimate.
Sekber SPAB Daerah adalah sekretariat yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah untuk mengkoordinasikan penyelenggaraan Program SPAB, sesuai yang termaktub pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 33 Tahun 2019 dan Peraturan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Program Satuan Pendidikan Aman Bencana.
Peraturan di nasional tidak dilanjutkan menjadi peraturan serupa di daerah. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Pool Fasilitator BPBD Sumbar saat melakukan Bimtek Kepala Sekolah, sosialisasi ini tidak sampai ke setiap Kepala Sekolah. Dan pada saat monitoring dan evaluasi dilakukan akhir tahun oleh BPBD Sumbar kesatuan Pendidikan yang Kepala Sekolahnya telah dibimtek, juga tidak dilakukan implementasi seperti yang diharapkan.
Dalam hal ini, Dinas Penddikan Sumbar belum menjadikan SPAB ini sebagai prioritas. Ada juga Kepala Sekolah berdasarkan inisiatif sendiri ingin melaksanakan SPAB di satuan Pendidikan tapi masih bingung apakah SPAB ini bisa menggunakan dana BOS.
Tapi dengan adanya Persesjen Kemendikbudristek No 6 Tahun 2023, kebingungan ini terjawab karena pada huruf C Penyelenggaraan Program SPAB oleh Pemerintah Daerah poin 13 tertulis Memasukkan Program SPAB dalam rencana kegiatan dan anggaran sekolah di masing-masing Satuan Pendidikan berdasarkan rencana aksi penyelenggaraan Program SPAB yang telah dibuat, yang artinya dana BOS boleh digunakan.
Satu-satunya kota Padang yang rutin melaksanakan implementasi SPAB di SD dan SMP setiap tahunnya dan itupun masih diselenggarakan oleh BPBD kota Padang. Walaupun begitu, kota Padang sudah menunjukkan kemajuan yang signifikan dengan adanya program Kelurahan Tangguh Bencana dan SPAB secara rutin, juga sudah terbentuk Sekber SPAB dengan koordinatornya Kepala Dinas Pendidikan Kota Padang. Sekber SPAB ini di-SK-kan oleh Walikota Padang dan dilaunching pada saat peringatan mengenang gempa Padang, pada tanggal 30 September 2023 di tugu gempa.
Belum lagi bicara tentang infrastruktur pendukung evakuasi masyarakat seperti Tempat Evakuasi Sementara (TES) vertikal dan di titik-titik yang sudah ditentukan sebagai TES (tidak berupa bangunan), belum banyak masyarakat yang tahu dimana lokasinya, berapa daya tampungnya dan apa saja faslitas yang disediakan oleh pemerintah daerah. Rencana evakuasi yang disusun oleh masyarakat, belum terintegrasi dengan rencana evakuasi dan dukungan di tempat evakuasi oleh pemerintah daerah.
Dua puluh tahun tsunami Aceh, Sumatera Barat belum se-siap yang diharapkan. Perlu keseriusan antara eksekutif dan legislatif jika memang anggaran yang menjadi tantangannya. Jangan anggap anggaran untuk mitigasi dan kesiapsiagaan bencana itu sebagai dana “terbuang” tapi justeru itu menjadi investasi yang luar biasa, karena menurut World Bank, 1 dolar yang diinvestasikan untuk kegiatan pengurangan risiko bencana di masa pra bencana akan menghemat biaya penanggulangan bencana sebesar USD4-7. Artinya investasi di masa pra bencana menjadi penting.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut gempa megathrust di Indonesia tinggal menunggu waktu, yang maknanya semua pihak harus terus mempersiapkan diri dan meningkatkan kesiapsiagaan. Semua pihak harus bergandengan tangan untuk mewujukan Sumatera Barat yang Siap, Siaga, Tangguh dan Tawakal dalam Menghadapi Bencana.
Tokoh masyarakat, ulama, praktisi, akademisi, swasta, media, bundo kanduang dan Lembaga sosial kemasayarakatan dilibatkan secara aktif dalam mewujudkan visi tersebut, yang sebenarnya sudah termaktub di dalam Forum PRB Sumbar. Program Provinsi dengan program Kabupaten/Kota untuk Pengurangan Risiko Bencana harus sejalan dan saling menguatkan. Semua harus dilakukan dengan cepat, efektif dan efisien, karena bencana tidak pernah menunggu kita siap. Salam Tangguh!
*) Penulis adalah Pendiri Komunitas Siaga Tsunami (KOGAMI). Hp. 082173044555 Email : patrawenle@gmail.com