Cinta Monyet

Cerpen : Desvera Inge Kusumadewi*

Mata Joni mengawasi lapangan tempat diadakannya upacara bendera pagi itu. Untuk pertama kalinya ia datang di sekolah baru itu sebagai murid pindahan. Ia duduk di bangku sebuah warung sambil menunggu.

Sesekali matanya melihat ke kiri kanan sembari mengawasi lingkungan barunya itu. Di depannya berdiri sebuah gedung SMA swasta yang megah dan besar. Gedung itu terdiri dari beberapa lantai dan memiliki lahan parkir yang cukup luas. Jika bukan karena ayahnya yang seorang pebisnis sukses, tak mungkin ia bisa masuk sekolah tadi. Keluarganya memang baru saja pindah ke kota Tangerang dari Bandung.

Sebelumnya ayahnya mencari-cari sekolah yang tepat untuk putra sulungnya itu. Ayah dan ibunya sedang menunggu di mobil. Kedatangan mereka ke sekolah itu untuk mendaftarkan Joni sebagai siswa baru. Selagi menunggu, Joni mengambil ponselnya dan mulai mendengarkan musik-musik pop kesukaannya. Ia menggeser layar ponselnya dan menemukan playlist lagu-lagu favoritnya.

Terdengarlah lagu : Cinta Monyet yang dimainkan oleh salah satu band terkenal tanah air. Ia suka lagu itu karena energik dan unik liriknya. Ibunya pernah bilang kalau salah satu personilnya adalah kawan SMA ibunya dulu. Joni terdiam. Tak terasa kini ia berada di masa seperti ibunya saat SMA. Ibunya adalah mantan vokalis sebuah band.

Dan entah mengapa kecintaan pada musik dan lagu menurun padanya. Bahkan di usia belia, sekitar lima tahun, ia sudah merasa percaya diri kalau ia bisa bernyanyi. Di umur dua belas tahun saat menginjak remaja, ia mulai minta diajarkan bermain gitar oleh ibunya. Ibunya memang selain bisa bernyanyi, juga pandai memainkan alat musik. Melihat bakat tersebut, ibunya tambah mendukung dan memberi fasilitas untuk hobinya itu.

“Tapi saran Ibu, musik hanya jadi penyeimbang otak kanan dan kiri saja ya, Nak. Jangan dijadikan profesi!” Ujar Ibu sambil mengajari cara memegang senar gitar kala itu.

“Memang kenapa, Bu?”

“Karena seorang laki-laki itu sejatinya diciptakan sebagai pemimpin. Jadilah pemimpin yang membawa perkembangan negeri ini lebih baik di masa depan. Jangan hanya bernyanyi-nyanyi saja. Boleh saja bermain musik, tapi ingat … sekolah yang utama dan ibadah tetap jalan.”

Kala itu Joni hanya mengangguk-angguk saja. Ia hanya ingin bisa bermain musik, itu saja. Terlepas menjadi profesi atau bukan, ia tak paham. Ibunya lalu memberinya sebuah pick gitar dan menyuruhnya menekan senar.

Setiap jari kirinya menekan senar gitar dan jari kanannya memetiik pick, terdengarnya bunyi yang manis. Begitupun saat jari-jarinya pindah ke kunci lain. Saat pergantian kunci-kunci tadi, mengalunlah nada yang seirama membentuk sebuah musik dinamis. Untuk pertama kalinya ia sangat senang. Akhirnya ia bisa memainkan gitar.

“Perpindahan chord tadi jangan terlalu lambat atau cepat. Sesuai tempo lagu ya! Kalau nggak, bisa amburadul jadinya. Inti dari lagu itu adalah kumpulan nada yang dipadukan dengan lirik dan irama. Sekarang coba mainkan satu lagu yang kamu suka. Coba cari chord nya.”

“Bagaimana kita tahu cara mencari chord-nya, Bu? Aku saja belum bisa memainkannya.”

“Dengan feeling! Bermain musik itu mengandalkan intuisi dan perasaan. Cari satu persatu dan rasakan cocok dan tidaknya dijadikan satu kesatuan utuh materi lagu.”

“Joni tak paham, Bu.”

“Begini Joni, pertama-tama kamu  nyanyikan dulu lagunya. Kemudian samakan dengan nadanya dengan kunci-kunci itu. Setiap ada yang cocok, kamu tulis lalu lanjut ke nada berikutnya. Chord atau kunci dasar terdiri dari tujuh yaitu A, B, C, D, E, F dan G. Setiap kunci memiliki nada mayor dan minor. Begini, perhatikan ya Ibu memainkannya.”

Ibunya mengambil gitar itu dan memperlihatkannya pada Joni. Dalam hati ia merasa kagum memiliki ibu yang cantik, baik dan bertalenta. Hanya saja semenjak ia lahir, ibunya sudah meninggalkan dunia itu karena ingin lebih fokus mengurusnya dan kedua adik perempuannya. Joni memperhatikan dengan seksama dan membuatnya makin jatuh cinta dengan musik.

Empat tahun berselang, saat kini ia menjadi siswa SMA kelas sebelas. Terlihat para peserta upacara bendera meninggalkan lapangan dan menghilang ke dalam kelas masing-masing. Joni segera membuka pintu mobil dan memberitahukan kedua orangtuanya.

Tak lama ketiganya berjalan menelusuri lapangan menuju ruangan kepala sekolah untuk mengurus perpindahannya. Hari itu juga Joni diperkenalkan kepada seluruh siswa di kelasnya. Setelah ia masuk kelas, kedua orangtuanya pulang karena sang ayah hendak bekerja.

Melihat wajah Joni yang tampan bak bintang pop Korea, segera saja kelas itu riuh, terutama oleh para siswi. Mereka tidak menyangka akan kedatangan teman kelas yang tampangnya mirip Jung-kook itu. Wali kelas Joni, yaitu Bu Sinta sampai berkali-kali menyuruh mereka agar tenang. Joni akhirnya duduk di kursi belakang di sebelah seorang siswa blasteran bernama Beni.

Tak butuh waktu lama, keduanya menjadi teman dekat. Beni juga mengajak Joni jajan di kantin saat istirahat dan memperkenalkan pada teman-teman yang lain. Sontak kantin Bu Prapti yang terletak di ujung lorong menjadi ramai dengan kehadiran Joni. Joni merasa risih. Setelah memesan satu piring ketoprak, Beni mengajaknya keluar menuju taman lalu menggodanya,

“Resiko orang tampan ya begitu, Bro! Nikmatilah, haha!”

“Ah, bisa saja kau, Ben! Wajahmu malah lebih tampan dariku. Coba kutebak, kau itu turunan Belanda ya?”

Beni tidak menjawab dan malah cengengesan. Tanpa butuh jawabannya, Joni pun sudah bisa menduganya. Usut punya usut, ternyata Beni pandai bermain bass. Begitu tahu itu, Joni bak mendapatkan durian runtuh. Keduanya langsung menggagas untuk membentuk kelompok musik band.

“Kau bisa vokal dan gitar rhytem, Jon. Hanya kurang pemain drum dan keyboard.”

“Kira-kira siapa ya, Ben?”

Beny diam sejenak sambil berpikir. Tak lama ia melonjak girang karena menemukan jawaban. Joni sampai terkejut.

“Vita, Jon. Vita dari kelas kita yang jago main keyboard. Bahkan dari kelas sepuluh ia sudah sering memenangkan perlombaan.”

“Yang mana orangnya ya?”

“Hari ini ia tidak masuk karena sakit. Nanti kalau dia sudah masuk, akan kuperkenalkan.”

“Beres kalau begitu. Lalu drummer-nya siapa?”

“Nah, itu jadi PR kita selanjutnya. Yuk ah, kita masuk kelas, bel sudah berbunyi.”

***

Sudah empat hari Joni menjadi murid baru di SMA itu. Di hari kelima, Beni memperkenalkannya pada Akmal, siswa dari kelas lain yang bisa bermain drum. Layaknya juri pencarian bakat, Joni segera memintanya untuk menunjukkan kemampuan bermain drumnya. Akmal yang berwajab Arab itu langsung setuju dan ketiganya berencana ke studio musik terdekat sepulang sekolah. Mereka menyewa satu jam.

Begitu Akmal berada di belakang pedal drum, dalam sekejap dirinya berubah menjadi sosok Ringo Starr dari grup band legendaris The Beatles. Joni sampai terkesima. Mendengar dentuman pedal dan pukulan simbal, membuat keduanya tak bisa menahan diri untuk mengiringi permainan Akmal tadi. Tak lama kemudian mengalirlah satu buah lagu manis tanpa persiapan apapun.

Ketiganya langsung klop seolah menemukan dunia baru yang selama ini entah berada di mana. Tak terasa empat lagu mereka mainkan. Satu jam pun sudah terlewati. Mereka sampai kehausan karena serunya permainan tadi. Joni berinsiatif membelikan air mineral untuk kedua kawan barunya itu.

Wow, that’s amazing! Keren banget kita!” Seru Joni girang. Satu botol air mineral sampai habis diteguknya untuk menetralisir suaranya yang serak.

“Gilee, selama ini ke mana saja kita? Kok baru sekarang kita bentuk band ini?” Tanya Beni asal karena jelas-jelas ia tahu kalau Joni baru saja pindah ke sekolahnya.

“Kebayang nggak sih, guys. Kalau Vita jadi bergabung, makin keren kita!” Ungkap Beni lagi. Kali ini satu botol air mineral di genggamannya sudah kosong. Jari tangannya terasa kebas karena lelah membetot bass.

“Besok jika dia sudah masuk, ajak ke sini ya, Ben. Dia setuju untuk bergabung kan?”

“Beres, nanti kita jadwalkan lagi.”

Ketiganya sepakat untuk menyudahi pertemuan sekaligus latihan perdana tadi dan pulang ke rumah masing-masing. Tak lama terdengar deru knalpot racing motor milik Beni dan Akmal. Joni segera masuk ke dalam city car putih yang menjadi hadiah ulang tahunnya ke tujuh belas bulan lalu. Sebuah pesan singkat diterimanya dari sang ibu yang memberitahukan kalau ayahnya sakit. Hati Joni terasa diiris begitu mengetahui penyakit bawaan ayahnya kumat. Segera ia melajukan mobilnya ke rumah sakit tersebut.

***

Wajah ayahnya pucat saat ia tiba di ruang perawatan. Ayahnya memang memiliki riwayat lemah jantung dan tidak bisa terlalu lelah. Sebuah selang infus dipasangkan di tangan kirinya. Begitu ia datang, wajah sang ayah langsung sumringah. Seolah banyak kata yang ia ingin ucapkan pada putra sulungnya itu.

“Ayah dengar kamu mulai membawa mobil ke sekolah. Apa tidak terlalu mencolok untuk anak remaja sepertimu, Nak?”

“Hmm, Joni hanya test drive kok, Yah. Tidak bermaksud untuk sering membawanya. Karena tadi mampir ke suatu tempat dulu, jadi … “

Joni menunduk. Ia tak ingin terlalu banyak bicara. Ia tahu ayahnya tidak terlalu suka dengan kegiatan bermusiknya. Ia lebih baik diam. Tak lama, ibunya datang bersama kedua adik perempuannya yang masih SMP dan SD. Ketiganya memperlihatkan wajah cemas.

“Ayah baik-baik saja, kenapa kalian bersedih?”

Sang ibu mengusap air matanya dan bertanya,

“Apa yang Ayah rasakan saat ini? Apa lebih baik?”

Ayahnya tertawa ringan seolah tanpa beban sambil berucap, “Tentu saja baik! Ayah kan kuat, Bu!”

Ketiga anak dan istrinya hanya bisa memaksakan untuk tersenyum karena mereka tahu anggota keluarga yang paling mereka sayangi itu tidak sedang baik-baik saja.

***

Wajah oriental dengan rambut panjang lurus yang hitam itu langsung mengikat hati Joni saat pertama kali melihat Vita. Gadis berusia enam belas tahun itu baru saja masuk setelah seminggu izin sekolah karena sakit. Begitu diperkenalkan dengan Joni, matanya berbinar. Reaksi keduanya sama. Saling mengagumi satu sama lain. Vita juga tidak percaya jika di kelasnya kini ada salah satu siswa yang mirip anggota boyband. Love at first sight. Joni merasa ia jatuh cinta. Sepersekian detik keduanya saling berpandangan.

“Woi, ini mau pandang-pandangan sampai kapan ya? Udah selesai belum kenalannya?” Tegur Beni sambil bercanda. Kedua tersipu malu dan pipi mereka terlihat semburat merah muda. Tak lama Joni mengulurkan tangannya untuk menyalami Vita. Vita menyambutnya yang dalam sekejap hangat tangannya itu merasuk ke dalam hati Joni. Joni sampai lupa tujuan mereka diperkenalkan.

“Jon, Vita ini jago main piano dan keyboard. Sejak kecil dia sudah belajar keyboard. Ditambah lagi, vokal Vita itu lumayan tinggi. Mungkin kalian bisa kolaborasi,” terang Beni. Mata Joni menbesar saat tahu Vita juga vokalis. Rasanya seperti mendapat belahan hati yang selama ini dicari.

“Benar kamu bisa main keyboard sambil nyanyi? Hebat dong!” Tanya Joni mengatasi rasa penasarannya.

“Tentu saja, apa aku terlihat kurang meyakinkan?”

Joni tertawa sambil menjawab, “Bukan begitu. Hanya memastikan saja.”

“Mungkin maksud Joni adalah cewek cantik kayak kamu cocoknya jadi model ketimbang keyboadist, Vit.” Beni berusaha menengahi keduanya. Vita tersenyum manis mendengar itu semua. Ia pun berkata, “Bagaimana jika nanti sore kita latihan ?”

Joni memandang Beni minta persetujuannya. Beni mengiyakan. Sepulang sekolah mereka bermain kembali studio musik  itu. Benar saja, Vita langsung memperlihatkan kemampuannya. Bahkan  ia berduet sebagai vokal tambahan bersama Joni.

Bukan main indahnya perpaduan suara itu. Akmal tertular energi positif itu. Ia bermain drum dengan semangat. Setelahnya, keempat personil itu keluar dari studio setelah satu setengah jam di dalamnya. Joni berkata, “Kita bisa mulai dengan ikut-event event, guys. Buat menambah pengalaman dan jam terbang.”

“Setuju. Aku mulai mencarinya di internet nanti. Kita mulai dari acara-acara yang terdekat dulu saja,” tawar Vita.

Joni mengangguk setuju. Ia melihat wajah Vita yang sumringah saat menjelaskan tadi. Getaran itu muncul lagi. Entahlah, ia tak tahu apakah itu cinta monyet atau bukan, yang jelas setiap Vita berbicara, Joni sangat suka melihatnya. Suara vokal Vita yang lembut sekaligus melengking di nada-nada tinggi, membuat Joni menjadi fans sukarelanya.

Kelompok band mereka akhirnya mengikuti berbagai macam festival dan banyak mandapatkan penghargaan. Kelompok itu juga akhirnya bisa memiliki album mini yang terdiri dari lima lagu. Lagu-lagu itu kebanyakan liriknya ditulis oleh Joni dan dibantu oleh Vita. Vita juga yang mengaransemen awal lagu-lagu tadi dengan pianonya.

Satu tahun berlalu, publik mulai mengenal kelompok band itu. Lagu-lagu mereka juga mulai dikenal lewat media sosial.  Semua terasa mudah semenjak media mulai meliput kegiatan mereka. Karena pertemuan yang intens itu, di tahun akhir pelajaran sekaligus kelulusan mereka, Joni memberanikan diri untuk mengungkapkan isi hatinya pada Vita. Gayung pun bersambut.

Jadilah pasangan itu menjalin tali asmara yang berawal dari cinta monyet menuju jenjang selanjutnya. Keduanya sepakat meneruskan pendidikan mereka di jurusan seni. Empat tahun menjalani masa kuliah, keduanya memutuskan untuk menikah.

Pasangan musisi itu menjalani hari-hari penuh cinta karena keduanya saling melengkapi sekaligus berkolaborasi. Mereka mengikat janji di pinggir pantai di Bali dikarenakan kondisi jantung ayah Joni semakin memburuk. Sebelum menghembuskan napas terakhir, sang ayah ingin melihat putra sulungnya menikah dan bahagia. Dua bulan setelah pernikahan mereka, ayah Joni meninggal dunia. Sang ayah meninggalkan setengah dari harta warisannya pada Joni. Sebelum pergi ayahnya berpesan,

“Terimakasih, telah berusaha menjadi anak yang baik dan menurut pada Ayah. Maafkan Ayah jika selama ini selalu memaksakan kehendak Ayah padamu. Jalani apa yang menjadi impian dan passionmu. Karena disitulah kau menemukan jati diri dan cinta sejati. Ayah bahagia melihat perjuanganmu di dunia musik. Walau tanpa dukungan Ayah, kau berusaha membuktikan bahwa kau mampu dan layak berhasil. Teruslah kejar mimpimu hingga kau merasa puas dan bahagia. Lalu bahagiakanlah orang-orang di sekitarmu.”

Tangis Joni tak terbendung lagi jika mengingat itu semua. Kini ia berjanji akan konsisten pada pilihannya dan menjadi suami yang baik serta bertanggungjawab untuk istrinya. Di atas pusara ayahnya ia berkata sambil berlinangan air mata,

“Terinakasih telah menjadi ayah terbaik untukku selama ini, Ayah. Aku berjanji akan menjaga Ibu, adik-adik dan istriku. Sekarang beristirahatlah dengan tenang.” 

*** Rawakalong, 7 Februari 2025

Tentang Penulis: Desvera Inge Kusumadewi, S.Sos. akrab dipanggil Inge adalah alumnus Universitas Indonesia jurusan Sosiologi tahun 1999. Inge penyuka seni terutama sastra dan musik. Sedari kecil ia sudah suka menyanyi, menulis lirik dan membaca buku. Ibu dari tiga orang anak ini yang latar belakangnya adalah menulis non fiksi. Menulis fiksi mulai ia seriusi sejak memutuskan untuk keluar dari kerja kantoran yang sudah ditekuni selama 9 tahun.

 Ia telah menulis 10 buku antologi yang di cetak oleh beberapa penerbit indie dan juga 6 buku solo, yaitu; Email Asmara (novel, 2022), Selaksa Makna (novel, 2024), Yang Kuinginkan (Kumpulan Cerpen, 2022), Yang Kuharapkan (Kumpulan Cerpen, 2022), Yang Kulewatkan (Kumpulan Cerpen, 2022), Bacalah, Tulislah (Kumpulan Puisi, 2022).

Saat ini penulis berdomisili di Rawakalong, Bogor dan bisa dijumpai di Instagram : DesveraInge. Karya-karyanya juga bisa dilihat di Youtube Channel : Desvera Inge

Respon (2)

  1. Cerpen yg bagus. Cerpen bisa dinikmati oleh semua kalangan, cerpen yg bisa memotivasi para anak muda, supaya terus berusaha untuk mengejar mimpi.. Dan contoh bagi orang tua untuk tidak memaksa kehendaknya terhada cita2 atau harapan anak2nya. Sukses terus untuk Inge ❤👍

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *