Dakwah  

Puasa Syawal, Ibadah Ringan yang Menawan

Oleh : M. Rafi Putra Pratama*

LEBARAN telah lama berlalu. Memasuki hari-hari terakhir di bulan Syawal, suasana lebaran Idul Fitri yang semarak mulai meredup. Hiruk-pikuk silaturahmi dan gema takbir yang mengisi di awal bulan Syawal, kini telah tergantikan oleh ritme kehidupan yang kembali normal. Semua orang kembali tenggelam dalam aktivitas dan rutinitasnya masing-masing, baik itu bekerja, sekolah, maupun urusan rumah tangga yang sempat tertunda.

Namun, di tengah kesibukan duniawi yang seakan tak pernah berhenti, banyak orang yang lupa atau bahkan tidak tahu akan adanya satu amalan sunnah yang sangat istimewa di bulan Syawal, yakni puasa enam hari.

Ibadah ringan ini menyimpan begitu banyak keutamaan dan menjadi peluang emas bagi umat muslim yang ingin memperbanyak amal ibadahnya. Sayangnya, godaan kenyamanan dan padatnya jadwal pekerjaan seringkali membuat kesempatan ini terlewat begitu saja, hingga hari-hari di bulan Syawal pada akhirnya habis tak bersisa.

Mengapa Puasa Syawal Begitu Istimewa?

Sesuai dengan namanya, puasa Syawal adalah sebuah amalan puasa sunnah yang dilaksanakan selama enam hari di bulan Syawal, boleh secara berurutan dan boleh juga tidak. Begitu besarnya keutamaan dan pahala puasa ini hingga Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wasallam mengibaratkannya dengan pahala berpuasa selama setahun penuh.

Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعُهُ بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Artinya: “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian dilanjutkan dengan enam hari di bulan Syawal, maka seperti pahala berpuasa selama setahun” (HR. Muslim)

Hadits di atas menggambarkan betapa besarnya keutamaan yang Allah sediakan bagi hambanya yang melanjutkan puasa Ramadhan dengan enam hari puasa di bulan Syawal.

Dalam sebuah ceramah melalui kanal YouTubenya, Ustadz Adi Hidayat Lc., M.A. memaparkan adanya pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa besaran pahala selama setahun penuh yang disebutkan pada hadits di atas adalah akumulasi dari pahala puasa Ramadahan yang digabungkan dengan puasa Syawal.

Beliau menjelaskan bahwa hal ini didasari pada Q.S Al-An’am ayat 161, yang berbunyi:
مَنْ جَاۤءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهٗ عَشْرُ اَمْثَالِهَاۚ وَمَنْ جَاۤءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزٰٓى اِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ

Artinya: “Barangsiapa yang berbuat kebaikan, maka dia akan mendapat balasan sepuluh kali lipatnya. Dan barangsiapa yang berbuat keburukan, maka dia tidak akan diberi balasan melainkan yang seimbang dengannya. Mereka (sedikit pun) tidak dizalimi (dirugikan).”

Bukan Sekedar Tambahan, Tapi Juga Penyempurna

Selain adanya pahala besar yang dijanjikan, puasa Syawal juga menjadi penyempurna dari puasa Ramadhan yang telah dilakukan sebelumnya. Jika shalat fardhu memiliki shalat rawatib sebagai penyempurnanya, maka puasa Ramadhan punya puasa Syawal.

Hal ini berangkat dari hadits riwayat Tirmidzi yang menjelaskan bahwa amalan-amalan sunnah berperan sebagai penyempurna bagi kekurangan amalan ibadah wajib. Maka dari itu, puasa Syawal tidak hanya menjadi pilihan yang bersifat “opsional”, tetapi juga sebagai bentuk keseriusan spiritual seorang hamba pada Allah dalam menyempurnakan ibadahnya.

Tanda Diterimanya Amal

Salah satu hal yang mengindikasikan diterima atau tidaknya amalan seorang hamba adalah keberlanjutan amalan-amalan baik secara kontinu. Sebagian ulama menyebutkan bahwa amalan seorang hamba yang diterima oleh Allah akan memotivasi dirinya untuk terus melakukan perbuatan dan amalan baik.

Maka, mereka yang tetap mempertahankan, menjaga, dan meningkatkan semangatnya dalam beribadah bahkan setelah selesainya bulan Ramadhan adalah orang-orang yang benar-benar telah mendapatkan gelar “muttaqun” dari Tuhannya.

Di bulan Syawal ini, kita dapat melihat siapa-siapa saja yang masih bertahan dalam ketaatannya beribadah. Siapa yang tetap bangun di sepertiga malamnya, siapa yang tetap menjaga tilawah hariannya, siapa yang konsisten dalam sedekahnya, dan siapa yang tetap menyambung puasa meski tanpa adanya euforia Ramadhan di belakangnya. Merekalah orang-orang yang berhasil membawa “ruh Ramadhan” ke dalam diri mereka.

Itulah puasa Syawal, sebuah ibadah ringan namun menawan, ibadah singkat yang mendatangkan begitu banyak nikmat.

Hari-hari di bulan Syawal kini tersisa hitungan jari. Momentum sepuluh hari terakhir ini mestinya menjadi pengingat dan penyemangat bagi kita umat muslim yang mengejar gelar “tattaquun” untuk menuntaskan amalan yang penuh pahala ini. Meskipun suasana Ramadhan telah usai, semangat dalam beribadah seharusnya tak ikut memudar.

Puasa Syawal seharusnya menjadi kesempatan untuk membuktikan bahwa ibadah kita tak berhenti hanya sampai di hari raya, justru di sinilah ujiannya. Ketika tak ada sorotan, tak ada desakan dunia luar, hanya diri kita dan niat tulus mengejar ridha-Nya. []

*) Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang, peserta Student Literacy Camp (SLC) 2025

Exit mobile version