Ketika Memberi Cinta dan Berakhir Luka yang Membekas

Oleh : Natasya Syahirha*

MAYORITAS dari kita menganggap bahwa pacaran berarti saling mencintai. Tapi ketika kata saling mencintai dijadikan sebagai dalih agar bisa menyentuh tanpa persetujuan, apakah itu masih disebut dengan kata cinta? Atau hanya bentuk pemuas nafsu yang dibungkus dengan kata romantis?

Akhir-akhir ini banyak sekali kasus kekerasan seksual. Kekerasan ini juga banyak dilakukan oleh mereka yang sedang menjalin hubungan pacaran. Berawal dari panggilan sayang yang berujung tangisan dan aborsi. Alih-alih sudah meminta persetujuan tapi malah berakhir fatal.

Menurut data Komnas Perempuan, hubungan gelap yang dilakukan oleh non-suami istri. Termasuk pacaran terus meningkat setiap tahunnya. Namun, dari mereka yang melakukan hubungan gelap tersebut lebih memilih diam dan menahannya sendirian. Maka tak heran jika banyak yang aborsi.

Kalian pernah nggak sih, ketika sedang menjadikan seseorang sosok someone terlintas kata ‘tidak enak untuk menolak?’

Dalam menjalin hubungan seseorang harus bisa mengatakan ‘tidak’ untuk membatasi hubungan yang menyangkut hal pribadi. menghapus kata “aku ngga enak nolak dia, dia pacar aku”. Itu bukan hubungan sehat. Kita perlu membangun hubungan sehat dengan saling menghormati. Tidak melukai.

Banyak mitos di kalangan remaja,  jika konsep pacaran boleh melakukan apa saja. Padahal nggak gitu juga aturan yang harus diambil. Mitos ini memang harus dibongkar. Karena jika kita berpikir dengan akal logika dan tidak diselimuti dengan kata cinta, 98% dari perempuan pasti akan menolak disentuh dengan bebas.

Tidak hanya itu, ketika seorang tersebut bukan type perempuan, mereka  juga tidak akan segan-segan untuk menolak. Jadi, selama kita belum hidup dilingkup suami istri, belajarlah untuk tidak berbuat layaknya suami istri. Anggap saja mereka bukan type kita.

Kekerasan seksual tidak hanya dimaknai dengan tidur satu ranjang. Tetapi ketika seorang lelaki tersebut sudah menyentuh bebas bagian tubuh perempuan itu awal dari kekerasan seksual. Jangan membungkus diri dengan rasa tidak enak untuk menolak. Biasakan diri untuk tetap menjaga marwah perempuan. Pacaran itu bukan kontrak kepemilikan yang bisa dijadikan acuan untuk bertingkah laku mesra layaknya suami istri.

Kita perlu menyuarakan pada remaja bahwa hal ini tidak boleh dinormalisasikan. Ini bukan standar ideal yang diinginkan. Cobalah untuk berpikir sebelum bertindak. Mengingat apa konsekuensi yang akan didapatkan setelahnya.

Untuk itu perlu dari kita baik laki-laki ataupun perempuan untuk saling menghormati dan memiliki batasan dalam pergaulan. Karena pada masa ini ada baiknya fokus berkembang dan mencapai hasil yang diimpikan, bukan malah memberi goresan yang susah untuk dihapus. []

*) Mahasiswa Hukum Ekonomi Syari’ah di Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang, juga salah seorang alumni Student Literacy Camp (SLC) tahun 2025

Exit mobile version