Warning Rupiah, Eratkan Ikat Pinggang, Jangan sampai Melarat

Oleh : Khairul Fadli Rambe*

TUNGGU ekonomiku pulih akan kuceritakan, bagaimana rasanya di jauhi ketika tidak punya apa-apa.”

Realitanya terbongkar dengan jelas, ketika suatu negara memiliki problem yang begitu dahsyat, para investor pun akan menjauh dan berpindah haluan. Bagaikan ikan di sungai, yang akan lari berhamburan ketika batu dilemparkan ke arahnya.

Dinamika negara saat ini menunjukkan hidupnya proses pembentukan kebijakan dan implementasinya yang terus dievaluasi, baik pada proses politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Namun yang menyedihkan, kebijakan yang diberikan belum juga dapat menyenangkan kehidupan masyakarat luas.

Buktinya, persoalan yang timbul saat ini membuat beber sejagat raya. Di mana posisi rupiah terhadap dolar AS merosot tajam hingga mencapai Rp16.611 pada penutupan pasar hari Selasa (25 Maret). Angka ini merupakan yang terlemah sejak tahun 1998 ketika sempat berada di Rp16.800 per dolar AS. (Sumber: CNN Indonesia).

Analis Mata Uang dari Doo Financial Futures, Lukman Leong, menyatakan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah dipicu oleh sentimen yang bersumber dari faktor internal maupun eksternal. Faktor eksternal yang membebani rupiah antara lain adalah rilis data perekonomian Amerika Serikat, seperti Indeks Manajer Pembelian (PMI) Jasa, yang menunjukkan angka di atas perkiraan. Selain itu, peningkatan permintaan terhadap dolar AS menjelang periode libur panjang juga menyebabkan gejolak di pasar keuangan.

Lebih lanjut, Leong mengutip pernyataan anggota FOMC Bostic yang cenderung hawkish turut memberikan tekanan terhadap rupiah. Ia juga menjelaskan bahwa sentimen eksternal ini tidak hanya berdampak pada rupiah, melainkan juga mata uang negara-negara Asia lainnya.

Meskipun demikian, Indonesia mengalami tekanan yang lebih signifikan akibat kondisi dalam negeri yang kurang stabil sebagai konsekuensi dari kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang kurang memuaskan.

Menurut data Kementerian Keuangan, kinerja APBN hingga akhir Februari 2025 memperlihatkan situasi yang mengkhawatirkan. Pendapatan negara yang baru terkumpul Rp316,9 triliun (10,5% dari target Rp3.005,1 triliun) lebih rendah dibandingkan belanja negara yang sudah terealisasi Rp348,1 triliun (9,7% dari target Rp3.621,3 triliun). Kondisi ini menyebabkan defisit APBN sebesar Rp31,2 triliun (0,13% PDB). Beda dengan tahun lalu, di mana pada periode yang sama menunjukkan surplus.

Sedangkan dalam faktor internal, tidak sedikit juga dipengaruhi oleh inflasi tinggi dan defisit anggaran yang menurunkan keyakinan investor terhadap rupiah. Tak hanya itu, pengaruh dari kebijakan Moneter Bank Indonesia yang menerapkan terhadap kondisi makroekonomi melalui suku bunga dan intervensi di pasar valuta asing dan isu politik yang menunjukkan ketidakpastian juga termasuk, sehingga hasilnya menyebabkan investor asing menarik investasi mereka, sehingga mempengaruhi nilai tukar. Di tambah lagi pada kondisi daya beli masyarakat yang rendah sejak tahun lalu masih belum juga pulih.

Penurunan harga rupiah ke level terendah ini menimbulkan pengaruh yang signifikan. Dilihat dari pergerakannya, akibat pelemahan rupiah yang signifikan, harga bahan baku melonjak yang menyebabkan dilema bagi industri kecil tanpa cadangan yang cukup, di mana mereka terpaksa memilih antara menaikkan harga jual produk mereka, yang berpotensi mengurangi daya saing, atau mengurangi ukuran produk yang dapat mengecewakan konsumen.

Sebagaimana dikatakan oleh Analisis Doo Financial Futures Lukman Leong, jalan satu-sarunya untuk meredam tekanan Rupiah yang bisa dilakukan pemerintah adalah mendukung Bank Indonesia (BI) meredam tekanan lebih dalam terhadap rupiah. Sembari pemerintah juga menjaga belanja agar APBN tak makin boncos. “Untuk saat ini mungkin tidak banyak. BI mesti terus intervensi. Pemerintah harus menjaga pengeluaran dan menjaga defisit,” kata Lukman, dikutip dari CNN Indonesia.

Oleh karena itu, hal ini harus menjadi pusat perhatian oleh kalangan pemerintahan, supaya dapat melakukan gerak cepat dalam upaya mencari solusi. Sebab, bila ini dibiarkan tanpa ada tindakan untuk menanggulangi, tidak menutup kemungkinan akan memicu inflasi, yang akan mengurangi daya beli masyarakat secara keseluruhan dalam jangka yang cukup lama. Dan, juga besar kemungkinan akan menciptakan ketidakstabilan ekonomi, menghambat investasi, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. []

*) Kadiv Divisi Riset dan Jaringan Publik _ UKM Surau Konstitusi UIN Imam Bonjol Padang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *