Kami Percaya, Tapi Kami Butuh Tindakan Nyata

Oleh : Salwa Dwi Jannah*

Belum ada satu tahun, seorang pemimpin datang ke sebuah desa yang telah lama dilanda kekeringan. Ia membawa selembar peta besar yang bergambarkan rencana masa depan. Memberikan harapan perubahan lewat janji akan menanam 19 juta pohon buah-buahan. Upaya itu mendapatkan respon baik dari masyarakat desa, hingga mereka juga akan antusias untuk ikut serta merealisasikannya.

Namun, sangat disayangkan, ucapan itu hanyalah janji manis yang dipakai sebagai alat membungkam. Nyatanya, sampai detik ini tanah itu tetap gersang, pohon-pohon yang dicanangkan pun tak pernah kunjung datang. Rencana itu bagaikan lukisan abstrak yang tersimpan rapi dalam pigura kaca, tak pernah beranjak dari dinding mimpi, hanya menjadi hiasan bisu tanpa sentuhan kuas kenyataan.

Belum lagi sembuh dari luka pengkhianatan, kenyataan pahit kembali lagi menyayat hati. Kali ini, bukan hanya sekadar goresan, melainkan sayatan dalam yang mengoyak sisa-sisa harapan. Bahwasanya saat ini banyak pekerja mengalami PHK.

Berdasarkan data (ANTARA) 2025, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengungkapkan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) telah mencapai 26.455 ribu. Salah satu contohnya adalah PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), perusahaan tekstil besar nasional yang belakangan ini juga melakukan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran terhadap para pekerjanya.

Tidak hanya itu, dilansir juga dari KORAN-PIKIRAN RAKYAT- Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, jumlah pengangguran di tanah air per Februari 2025 meningkat menjadi 7,28 juta orang. Angka tersebut naik 83.450 orang dibandingkan dengan periode Februari 2024. Ini sejalan dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun tanpa pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan investasi yang sehat, janji 19 juta lapangan kerja justru terdengar seperti ilusi statistik, bukan strategi pembangunan.

Hal ini jelas memicu kegeraman dan keresahan mendalam di tengah masyarakat. Pasalnya, realita yang terjadi terus-menerus bertolak belakang dengan harapan yang digantungkan pada setiap pergantian kepemimpinan.

Keresahan ini bukan lagi bisikan, melainkan teriakan kemarahan yang membuncah dari sanubari rakyat. Bagaimana tidak? Berulang kali janji diobral, kebijakan digembar-gemborkan, namun yang terjadi adalah roda kehidupan yang terus-menerus terasa mencekik.

Janji-janji itu masih terngiang jelas di benak pikiran masyarakat, dari pemerataan pembangunan hingga pelosok negeri, penciptaan jutaan lapangan kerja baru, peningkatan kesejahteraan petani dan nelayan, pendidikan gratis dan berkualitas untuk semua, hingga jaminan kesehatan yang merata.

Tapi sampai detik ini, pemerintahan seolah tak mampu menghadirkan secuil pun warna baru dari semua retorika yang pernah mereka lontarkan. Dari salah satu platform media sosia mengungkapkan keresahannya, “Mengapa politisi begitu mudah berjanji? Jika janji tinggal janji dan semua hanya mimpi. Janji 19 juta lapangan kerja belum tertunaikan malah gelombang PHK sudah mulai masif,” kata akun @dogel**********

Dilihat-liat, seutas janji itu senjata yang sangat ampuh juga ya. Cukup lemparkan beberapa kata indah, suguhkan harapan palsu, dan lihatlah bagaimana suara-suara sumbang itu meredup, terbuai dalam ilusi perubahan. Mereka akan diam, patuh, dan kita bisa terus melangkah sesuai kehendak kita.

Kenyataannya bisa kita lihat, sebab bukan kali pertama terjadi, mulai dari tiap pergantian rezim, rakyat selalu disuguhi janji-janji besar soal lapangan kerja. Namun berkali-kali pula, kenyataan tak pernah berpihak. Ini bukan sekadar masalah realisasi, tetapi kegagalan struktural dalam membangun ekosistem ketenagakerjaan yang sehat dan berkelanjutan.

Fenomena ini bukan sekadar statistik belaka, ini adalah persoalan kemanusiaan yang mendesak dan harus segera ditindaklanjuti. Ketika janji pembangunan hanya berakhir di atas kertas dan PHK massal menjadi momok yang tak terhindarkan, masyarakat dihadapkan pada jurang ketidakpastian yang dalam. Kita harus ingat, pekerjaan adalah instrumen fundamental untuk melanjutkan kehidupan. Ia bukan hanya tentang pendapatan semata, melainkan tentang martabat, stabilitas keluarga, akses terhadap pendidikan dan kesehatan, serta fondasi bagi keberlangsungan komunitas.

Kondisi seperti ini menciptakan efek domino yang merugikan. Pengangguran yang melonjak tidak hanya meningkatkan angka kemiskinan, tetapi juga berpotensi memicu masalah sosial lain seperti peningkatan kriminalitas dan penurunan kualitas hidup secara keseluruhan. Janji palsu dari para pemimpin, yang berulang kali menghancurkan kepercayaan rakyat, hanya memperparah luka yang ada.

Bagaimana mungkin masyarakat bisa membangun kembali harapan jika setiap upaya mereka untuk bangkit selalu dihadapkan pada realitas pahit pengkhianatan dan kehancuran ekonomi? Pemerintah, sebagai pemangku kebijakan tertinggi, memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk memastikan stabilitas ekonomi dan ketersediaan lapangan kerja yang layak.

Kegagalan dalam hal ini sama dengan membiarkan masyarakat terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan dan keputusasaan, sebuah skenario yang tidak bisa dan tidak boleh kita biarkan berlanjut. Ini adalah panggilan darurat untuk tindakan nyata, bukan lagi sekadar retorika dan rencana tanpa implementasi.

Cukuplah kawan dengan apa yang telah terjadi. Sudah saatnya menjawab janji bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan nyata. Buktikan bahwa kami tidak salah mengamanahkan negara ini di tangan kalian, dengan memberikan kebijakan konkret, regulasi yang benar-benar melindungi tenaga kerja, dan strategi ekonomi yang mampu menahan gelombang hantaman dari luar.

Ingatlah, rakyat memilih kalian untuk membawa perubahan, bukan untuk menjerumuskan ke dalam kesengsaraan. []

* Mahasiswa Hukum Tata Negera Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang, Anggota muda UKM Surau Konstitusi

Exit mobile version