Perubahan Nilai Sosial dan Dampaknya Terhadap Perilaku Remaja

Oleh : Faiza Zahra*

Sebagai seorang remaja yang tumbuh dan berkembang di era globalisasi dan digitalisasi, saya sering kali merenungkan betapa cepatnya perubahan terjadi di sekitar saya, terutama dalam hal nilai-nilai sosial yang selama ini menjadi dasar perilaku masyarakat kita.

Dulu, sejak kecil saya diajarkan oleh orang tua dan guru untuk menjunjung tinggi nilai-nilai seperti sopan santun, gotong royong, hormat kepada orang tua, serta pentingnya menjaga nama baik keluarga dan lingkungan. Namun, seiring berjalannya waktu dan masuknya pengaruh dari luar—baik dari media sosial, internet, hingga budaya global saya mulai merasakan adanya pergeseran yang cukup besar dalam cara pandang dan cara hidup sebagian besar remaja.

Perubahan ini bukan hanya saya lihat di luar sana, tapi juga saya rasakan di lingkungan terdekat saya sendiri. Banyak teman sebaya yang dulunya sangat menghormati orang tua atau guru, kini mulai bersikap cuek atau bahkan menantang. Tidak sedikit juga yang lebih memilih mengikuti tren atau panutan dari luar negeri tanpa mempertimbangkan apakah hal itu sesuai dengan budaya kita atau tidak. Nilai-nilai yang dulu dianggap penting, kini dianggap ketinggalan zaman. Padahal, menurut saya, nilai-nilai tersebut justru bisa menjadi bekal hidup yang sangat berharga.

Saya menyadari bahwa perubahan nilai sosial ini memang tidak bisa dihindari. Dunia terus bergerak maju, teknologi semakin canggih, dan informasi begitu mudah diakses. Namun, yang menjadi keprihatinan saya adalah ketika perubahan ini justru mengikis identitas budaya kita, serta berdampak negatif terhadap perilaku remaja.

Fenomena kenakalan remaja, misalnya, kini tidak hanya sebatas tawuran atau bolos sekolah, tapi sudah merambah ke hal-hal yang lebih mengkhawatirkan seperti pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, bahkan tindak kekerasan verbal dan fisik yang tersebar luas di media sosial.

Saya percaya bahwa perubahan nilai sosial yang terjadi saat ini disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu yang paling dominan adalah media digital. Sebagai remaja yang juga aktif di dunia maya, saya merasakan sendiri bagaimana konten-konten yang tersebar bisa membentuk cara pikir dan pola perilaku kita. Apa yang viral, apa yang sedang tren, cenderung lebih dijadikan panutan daripada nasihat orang tua atau guru. Tanpa sadar, kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengamati kehidupan orang lain di layar, daripada berinteraksi langsung dengan lingkungan sekitar.

Di sisi lain, peran keluarga juga semakin lemah dalam membentuk karakter remaja. Banyak orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, sehingga waktu untuk berdialog dengan anak menjadi sangat minim. Bahkan, tidak sedikit orang tua yang menyerahkan sepenuhnya pendidikan nilai kepada sekolah atau teknologi. Padahal, keluarga adalah lingkungan pertama dan utama dalam proses pembentukan karakter. Ketika peran keluarga melemah, maka remaja pun kehilangan pegangan yang kuat dalam menyaring perubahan nilai yang masuk dari luar.

Saya tidak bermaksud menyalahkan siapa pun. Justru saya merasa bahwa ini adalah tanggung jawab bersama keluarga, sekolah, masyarakat, dan tentu saja kami sendiri sebagai remaja. Kami butuh ruang untuk bertumbuh, tapi juga butuh arahan agar tidak tersesat dalam perubahan. Kami ingin menjadi generasi yang bisa beradaptasi dengan zaman, tapi tanpa harus kehilangan nilai-nilai luhur yang menjadi jati diri bangsa.

Menurut saya, solusi dari permasalahan ini bukan dengan melarang remaja mengakses media sosial atau membatasi mereka dari kemajuan teknologi, melainkan dengan membekali kami dengan nilai-nilai yang kuat sejak dini. Pendidikan karakter harus kembali menjadi prioritas, baik di rumah maupun di sekolah. Orang tua perlu lebih terlibat dalam kehidupan anak-anaknya, tidak hanya secara materi, tapi juga secara emosional dan moral. Sekolah juga harus bisa menciptakan lingkungan belajar yang bukan hanya mengejar nilai akademis, tetapi juga membentuk kepribadian yang baik.

Sebagai remaja, saya pun merasa punya tanggung jawab untuk menjaga nilai-nilai yang sudah diajarkan kepada saya sejak kecil. Saya ingin menjadi pribadi yang terbuka terhadap perubahan, namun tetap berpegang pada akar budaya saya. Saya ingin bebas berekspresi, tapi dengan tetap menjaga etika dan sopan santun. Saya ingin tumbuh menjadi bagian dari generasi muda Indonesia yang tidak hanya bangga menjadi orang modern, tapi juga bangga dengan warisan nilai-nilai sosial budaya bangsa sendiri.

Akhirnya, saya menyadari bahwa perubahan nilai sosial memang tidak bisa dihentikan. Namun, bukan berarti kita harus menyerah begitu saja. Justru di sinilah peran kita sebagai generasi muda diuji—apakah kita akan hanyut dan kehilangan arah, ataukah kita mampu berdiri teguh di tengah arus perubahan, dan tetap membawa nilai-nilai kebaikan sebagai pegangan hidup.

Saya berharap, tulisan ini bisa menjadi pengingat, bukan hanya bagi saya sendiri, tetapi juga bagi teman-teman sebaya saya, bahwa menjadi remaja yang modern bukan berarti melupakan siapa kita sebenarnya. []

*Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Ekasakti

Exit mobile version