Sukses di Media Sosial, Gagal di Kepala Sendiri

Oleh : Afdal Salputra*

Hidup di era yang semua bisa dilihat dari layar kaca, hingga kebahagiian pun kini diikutsertakan untuk disiarkan. Anak muda hari ini hidup dalam tekanan yang tak kasat mata, namun begitu nyata : Tekanan terlihat bahagia, produktif, sukses, bahkan menarik bukan didunia nyata, tapi dilinimasa media sosial. Standar hidup tak lagi ditentukan oleh proses atau nilai dan kapasitas diri, melainkan oleh kualitas foto, estetik profil , jumlah like, dan impresi algoritma, yang mana itu bukanlah jati dirinya.

Masalahnya, dibalik konten yang penuh warna bahkan inspirasi itu, banyak dari kita sedang melawan kerapuhan diri yang nyaris tidak terlihat. Menurut laporan Riset Kesehatan Dasar yang dirilis Kementerian Kesehatan, sekitar 5,5% remaja Indonesia mengalami gangguan mental seperti kecemasan sampai depresi. Angka tersebut mungkin nampak kecil, hingga kita sadari bahwa yang terjaring survei hanyalah segelintir kecil yang berani untuk mengakui.

Sementara itu, temuan dari Indonesia : National Adolescent Mental Health Survei ( I-NAMHS ) 2025 mencatat, hampir satu dari tiga remaja Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental dalam setahun terakhir, dan 9,8% diantaranya mengalami gangguan emosional yang serius.

Lebih parahnya lagi, bahwa tekanan itu sebagian besar berasal dari tempat yang kita anggap paling aman dan menyenangkan : media sosial, teman, bahkan rumahnya sendiri. Survei global dari Dove bersama YMCA pada 2023 mengungkapkan bahwa 60% remaja merasa stres karena “Ingin Tampil Sempurna di Media Sosial”. Mereka sampai rela menyembunyikan luka demi citra diri yang rapi, rela mengabaikan diri sendiri asal tetap terlihat “baik-baik saja” dimata orang lain.

Lalu apa hasil dari semua ini ?
Kita menjadi generasi yang sukses di media sosial, tapi gagal dikepala sendiri. Kita terampil menyunting realita, tapi bingung mengelola emosi. Kita tahu cara membuat konten viral, tapi tidak tahu cara meminta bantuan saat merasa hampa. Kita tahu timing terbaik untuk posting story, tapi tidak tahu kapan harus jujur kepada diri sendiri. Tulisan ini jadi sindiran buat penulis pribadi, dan juga sebagai ungkapan dan ajakan keberanian untuk menjadi diri sendiri dalam semua kondisi.

Ironis ? Tentu. Tapi ini fakta.
Kita dengan bangga mengunggah konten “healing” padahal luka batin belum pernah benar-benar dirawat. Kita berkata “self love”, tapi mencintai diri hanya saat tampil glowing. Bahkan ketika burnout melanda, solusinya bukan rehat, tapi ganti tema konten : “Detox sosial media day 1”

Kita menertawakan toxic positivity, tapi dalam waktu yang sama menormalisasikan gaya hidup toxic digital yang kita bangun sendiri. Kita mengajak orang lain untuk jujur, tapi takut ketahuan kalau hidup kita pun sedang kacau. Kita takut terlihat gagal bukan karena kita takut gagal, tapi karena takut dilihat orang saat gagal. Sungguh generasi yang sangat efesiensi : bahagia bisa diedit, sedih bisa difilter, dan krisis identitas bisa dikemas jadi konten inspiratif.

Tentu, media sosial bukan sepenuhnya musuh. Ia bisa menjadi ruang berekspresi, berkarya, bahkan menyembuhkan. Tapi saat ruang itu menjadi ladang kompetisi citra, kita harus berhenti dan bertanya : siapa sebenarnya yang sedang kita perankan di layar itu? Diri kita atau versi palsu dari harapan orang lain?

Sudah saatnya kita mengurangi perlombaan menjadi sempurna, dan mulai membiasakan diri menjadi menusia yang bisa gagal, bisa rapuh, dan bisa jujur bahwa hidup tak selalu estetik. Karena jiwa terus dipaksa sempurna di dunia maya, kita akan hancur diam-diam di dunia nyata. []

*Mahasiswa Hukum Keluarga UIN Imam Bonjol Padang, Uda Literasi Duta Kampus UIN Imam Bonjol Padang

Exit mobile version