Oleh : Dr. Raudhatul Hidayah, SE., ME., Ak., CA*
Simbol Besar, Tapi Tubuhnya Ringkih
Koperasi telah lama dimuliakan sebagai soko guru perekonomian nasional. Dalam pidato kenegaraan, koperasi selalu hadir sebagai simbol kedaulatan ekonomi rakyat. Ia ditulis indah dalam dokumen perencanaan pembangunan, dimasukkan dalam kurikulum ekonomi kerakyatan, bahkan sering disebut sebagai tulang punggung bangsa.
Namun mari kita jujur dan berani berkaca: jika koperasi adalah soko guru, maka hari ini ia sedang berdiri tanpa tulang. Gagah dalam simbol, tapi rapuh dalam struktur. Ia megah dalam angka, namun lemah dalam daya gerak.
Indonesia boleh saja mencatat lebih dari 130 ribu koperasi aktif, tetapi angka itu lebih sering menyesatkan daripada memberi harapan. Sebab di balik deretan statistik, banyak koperasi yang hanya hidup dalam dokumen RAT, bukan dalam denyut nadi ekonomi anggotanya.
Koperasi: Warisan Perlawanan yang Dilupakan
Koperasi bukan lahir dari ruang yang nyaman. Ia tumbuh dari pergolakan dan perlawanan. Pada tahun 1844, buruh tekstil miskin di Rochdale, Inggris, bangkit melawan dominasi kapitalisme dengan menciptakan koperasi—sebuah alternatif ekonomi yang menempatkan kejujuran, keterbukaan, dan keadilan sebagai fondasi utama.
Semangat inilah yang kemudian diserap oleh Indonesia pasca-kemerdekaan. Bung Hatta tidak pernah melihat koperasi sebagai sekadar badan usaha. Baginya, koperasi adalah alat pembebasan rakyat dari sistem ekonomi kolonial yang menindas. Ia adalah simbol kedaulatan ekonomi yang menyejahterakan dari bawah, bukan dari atas.
Namun apa yang kita lihat hari ini? Koperasi sering hanya menjadi pelengkap administrasi, syarat proposal, atau sekadar nama di papan kantor desa. Warisan perjuangan itu telah direduksi menjadi rutinitas tahunan yang kering makna. RAT menjadi seremoni formal, laporan keuangan disusun untuk menggugurkan kewajiban, dan semangat kolektivitas berubah menjadi sikap pasif menunggu bantuan pemerintah.
Dari “Soko Guru” ke Simbol Kosong
Hari ini, banyak koperasi tak ubahnya bangunan kosong yang hanya dibersihkan menjelang Rapat Anggota Tahunan (RAT), lalu kembali sunyi hingga tahun berikutnya. Aktivitas riil nyaris tak tampak. Laporan keuangan disusun bukan oleh pengurus yang memahami nilai-nilai koperasi, melainkan oleh konsultan musiman yang hanya datang untuk menggugurkan kewajiban administratif. RAT pun lebih sering menjadi ajang seremonial ketimbang forum pertanggungjawaban.
Anggota, yang sejatinya adalah pemilik, hanya hadir untuk menandatangani daftar kehadiran. Mereka jarang diberi ruang untuk memahami laporan keuangan secara utuh, apalagi terlibat dalam pengawasan kebijakan organisasi. Dalam situasi seperti ini, koperasi kehilangan ruhnya sebagai lembaga demokratis berbasis partisipasi.
Akibatnya, krisis kepercayaan tak terhindarkan. Transparansi menguap, akuntabilitas menghilang, dan partisipasi merosot tajam. Yang lebih mengkhawatirkan, banyak koperasi justru disalahgunakan oleh elite lokal sebagai instrumen untuk mengelola dana secara eksklusif dan tertutup.
Sementara itu, anggota—yang seharusnya menjadi pemilik sah dan pengambil keputusan utama—justru dipinggirkan dan direduksi perannya menjadi sekadar pelengkap formalitas.
Krisis Kepercayaan dan Ilusi Transparansi
Seharusnya, laporan keuangan koperasi menjadi cermin yang jernih: transparan, jujur, dan mencerminkan kondisi organisasi. Namun dalam praktiknya, laporan itu sering menjadi tirai asap—membungkus fakta dengan angka-angka yang tak bermakna.
Lebih menyedihkan lagi, literasi keuangan anggota sangat rendah. Mereka tak tahu cara membaca laporan keuangan, tak paham apa itu SHU, dan tak pernah bertanya saat terjadi kejanggalan. Di ruang inilah, penyimpangan tumbuh subur.
Akuntabilitas kehilangan taji, karena tak ada yang benar-benar mengerti atau peduli. Koperasi pun beringsut menjadi lembaga yang berjalan tanpa kontrol, tanpa pengawasan, tanpa semangat kolektif.
Cukup Sudah Romantisme Koperasi
Kita tidak bisa terus-menerus berlindung di balik romantisme sejarah koperasi. Sudah waktunya koperasi diperlakukan sebagai entitas ekonomi modern, yang menuntut profesionalisme, integritas, dan partisipasi aktif.
1. Pengurus Harus Dipilih Karena Kapasitas, Bukan Karena Kedekatan
Koperasi mengelola uang kolektif. Ini bukan tugas seremonial, tapi tanggung jawab besar. Pengurus harus memahami prinsip akuntansi, manajemen risiko, serta etika organisasi. Tidak ada ruang bagi nepotisme.
2. Anggota Harus Cerdas, Bukan Sekadar Ada
Anggota bukan penonton, melainkan pemilik sekaligus pengawas. Mereka harus dibekali literasi keuangan dasar: membaca laporan keuangan, memahami arus kas, menilai kinerja koperasi. Pendidikan anggota adalah investasi jangka panjang.
3. Disiplin Keuangan Itu Harus Harian
Menyusun laporan keuangan bukan pekerjaan musiman menjelang RAT. Setiap transaksi harus dicatat. Tak perlu software mahal—yang diperlukan hanyalah komitmen dan konsistensi.
4. Audit Bukan Ancaman, Tapi Nafas Sehat Organisasi
Audit harus dibudayakan. Bukan sebagai bentuk kecurigaan, tapi sebagai alat refleksi dan koreksi. Audit internal dan eksternal yang jujur akan membangun kepercayaan anggota.
5. Digitalisasi Itu Mungkin dan Perlu
Tak perlu aplikasi jutaan. Banyak alat digital gratis yang bisa digunakan: spreadsheet, laporan mingguan via WhatsApp, atau sistem kas sederhana berbasis Google Form. Digitalisasi bukan tentang alat, tapi tentang niat dan sistem kerja.
Koperasi Harus Kembali Menjadi Gerakan
Koperasi bukanlah sekadar lembaga ekonomi. Ia adalah gerakan sosial—gerakan melawan ketimpangan, memperjuangkan keadilan, dan memperkuat basis ekonomi rakyat.
Jika koperasi ingin kembali relevan, maka ia harus keluar dari zona nyaman administratif dan masuk ke medan nyata ekonomi lokal.
Kita tidak butuh koperasi yang hanya indah di papan nama. Kita butuh koperasi yang hadir dalam kehidupan sehari-hari anggotanya—menjadi solusi atas kebutuhan, menjadi tempat bertumbuh bersama.
Kesimpulan: Soko Guru Harus Bertulang, Bukan Berdebu
Jika koperasi masih ingin menjadi soko guru, maka ia harus punya tulang—struktur yang kuat, prinsip yang tegak, dan keberanian untuk berubah.
Koperasi harus dibersihkan dari praktik semu yang hanya memperpanjang usia di atas kertas. Yang dibutuhkan bukan koperasi dalam bentuk, tapi koperasi dalam makna.
Tanpa akuntabilitas, koperasi hanya akan menjadi luka kolektif: kenangan tentang cita-cita besar yang gagal diwujudkan. Namun jika dibenahi, koperasi bisa kembali menjadi rumah besar—tempat rakyat membangun kedaulatan ekonomi mereka sendiri, dengan cara yang jujur, adil, dan bermartabat. []
*Staf Pengajar Departemen Akuntansi, FEB Universitas Andalas