Saat Mahasiswa Lebih Percaya Tagar Ketimbang Mimbar

Oleh : Putra Rahmadani*

Di era di mana dunia dapat dibuka dari layar 6 inci, mahasiswa tak lagi sekadar menggelar aksi di depan gedung rektorat atau berjalan serempak di jalan protokol. Gelora perjuangan kini menjelma ke bentuk baru beralih ke ruang maya yang berisik oleh unggahan, unggahan yang membawa narasi, narasi yang menciptakan opini, dan opini yang menggiring wacana.

Satu tagar bisa lebih lantang dari ribuan suara yang bergema di pelataran kampus. Satu unggahan story bisa jadi penentu arah diskusi publik. Kini, mahasiswa adalah barisan pejuang digital yang menyelinap lewat pixel, tanpa perlu membawa toa ataupun poster.

Namun, di tengah derasnya arus unggahan itu, terselip tanya yang tak pernah selesai dikunyah: siapa yang sebenarnya memenangkan perang opini ini? Apakah mereka yang suaranya paling nyaring? Atau mereka yang diam-diam mengubah arah berpikir masyarakat?

Media sosial kini telah menjadi panggung utama perjuangan mahasiswa. Di bulan Februari 2025, misalnya, ketika tagar #IndonesiaGelap membuncah di lini masa, lebih dari 3 juta unggahan muncul hanya dalam dua hari. Ini bukan sekadar ledakan emosional atau tren sesaat. Ia adalah jerit kolektif atas tekanan sistemik khususnya pemotongan anggaran pendidikan yang dianggap menyesakkan ruang tumbuh mahasiswa. Laporan dari Kompas.id menegaskan bahwa gelombang ini sebagian besar digerakkan oleh mahasiswa Gen Z: generasi yang akrab dengan teknologi, namun tak kehilangan keberpihakan sosial.

Meski demikian, tidak semua yang bising itu bermakna. Firman Kurniawan, akademisi komunikasi dari Universitas Indonesia, mengingatkan bahwa media sosial kerap menciptakan “lingkaran kebisuan” di mana hanya pendapat mayoritas yang menggema, dan suara yang berbeda secara perlahan diluruhkan hingga tak terdengar.

Ia mengingatkan bahwa di zaman algoritma, kebenaran bukan lagi soal argumentasi, melainkan tentang seberapa sering sebuah unggahan di-klik dan dibagikan. Fakta yang paling telak pun bisa kalah oleh opini yang paling ramai (Kompas.com, 2020).

Hal senada juga diutarakan oleh Wasisto Raharjo Jati dari LIPI. Ia menyebut bahwa media sosial bukan lagi sekadar wadah berbagi, melainkan telah menjadi medan kuasa bagi segelintir kelompok yang lihai mengendalikan arus narasi. Dengan modal data dan dana, mereka bisa menciptakan “kebenaran” versi mereka sendiri, menyulap opini publik menjadi alat politik yang dikemas sedemikian rupa (Kompas Nasional, 2016).

Namun, mahasiswa bukan pion dalam catur digital ini. Mereka juga pelaku aktif yang merancang langkahnya sendiri. ambil contoh Bima Yusril Pratama, seorang alumni komunikasi yang mengaku lebih memilih aktif di media sosial ketimbang turun ke jalan karena keterbatasan ruang gerak. Dalam wawancara bersama Kompas.id, ia menjelaskan bahwa strategi digital yang dirancang dengan baik bisa menembus lebih banyak audiens daripada orasi di tengah terik matahari. Ia adalah wajah baru perjuangan seorang aktivis dalam balutan hoodie, dengan senjata berupa ponsel pintar dan ide yang tak kalah tajam.

Namun, ada sisi gelap dari gemerlap digital ini. Lingkaran informasi yang tertutup, atau yang dikenal sebagai echo chamber dan filter bubble, membuat mahasiswa hanya bersua dengan mereka yang satu pandangan. Ruang dialog pun mengerucut, hingga tak ada tempat bagi argumen yang berbeda. Hal ini, menurut penelitian yang dimuat di Maklumat.id tahun 2023, justru menyuburkan polarisasi, mempersempit horizon berpikir, dan menjadikan mahasiswa makin jauh dari esensi berpikir kritis.

Meski begitu, tak semua suara mahasiswa terjebak di dunia maya. Di banyak kampus, media pers mahasiswa tetap setia menjadi suara yang jernih dan mendalam. Dalam artikelnya, Stekom.ac.id menyebut bahwa media kampus adalah “penyeimbang opini digital” yang tak tunduk pada algoritma atau tren. Di tangan para jurnalis muda kampus, keresahan mahasiswa disulap menjadi tulisan berbobot tajam, faktual, dan konsisten, bahkan ketika tak masuk trending topic sekalipun.

Sayangnya, tak semua media kampus mendapat ruang yang adil. Beberapa masih dibatasi oleh sensor internal dan tekanan birokrasi. Maka lahirlah kebutuhan mendesak akan media kampus yang bebas, independen, dan berlandaskan jurnalisme warga seperti yang selama ini diperjuangkan banyak Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di berbagai sudut Indonesia.

Lalu, siapa yang menang dalam perang opini ini?

Bukan mereka yang paling viral. Bukan pula yang paling banyak pengikut. Tapi mereka yang bisa mengubah arus, dari tagar jadi tafsir, dari like jadi laku, dari unggahan jadi perubahan. Mahasiswa yang menang adalah mereka yang menjadikan media sosial sebagai jembatan, bukan jurang dan menjadikan dialog nyata sebagai tujuan, bukan sekadar tontonan.

Hari ini, mahasiswa tak perlu memilih antara turun ke jalan atau naik ke trending. Keduanya bisa berpadu, asal keduanya digerakkan dengan niat yang sama, membangun kesadaran, menumbuhkan keadilan. Tapi satu hal yang pasti, jika mahasiswa berhenti bertanya, berhenti menulis, dan berhenti berpikir, maka tidak akan ada perang yang bisa dimenangkan bahkan oleh tagar yang paling viral sekalipun. []

*Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Imam Bonjol Padang

Exit mobile version