Oleh: Boy Surya Hamta*
Kasus perusakan rumah doa yang juga berfungsi sebagai tempat pendidikan agama bagi siswa Kristen di Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Minggu (27/7/2025) sore harus menjadi perhatian serius pemerintah dan semua kalangan.
Bukan hanya karena tindakan tersebut berpotensi melanggar hukum, tetapi mengancam harmonisasi sosial yang telah terjalin di tengah masyarakat yang majemuk.
Insiden ini jangan hanya dilihat sebagai kasus tunggal, melainkan gejala dari masalah yang lebih luas, seperti adanya indikasi upaya pemecahbelahan umat melalui isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan).
Intoleransi dan Polarisasi Identitas
Dalam perspektif teori konflik sosial, sosiolog Lewis A. Coser (1956) menjelaskan, konflik antar kelompok menjadi semakin intens ketika menyangkut identitas yang dianggap mendasar, seperti agama dan etnisitas.
Ketika rumah doa milik umat kristen dirusak sekelompok orang, jelas ini menunjukkan bagaimana isu agama mulai digunakan sebagai instrumen untuk menciptakan “musuh bersama” yang akhirnya memperkuat polarisasi identitas di tengah masyarakat.
Peristiwa di Kota Padang ini terjadi di tengah citra yang sebelumnya disandang sebagai salah satu kota toleransi di Indonesia versi Setara Institute.
Namun, kasus seperti ini justru mengonfirmasi bahwa predikat toleran tidak serta-merta menjamin kebal terhadap gejolak intoleransi, apalagi bila tidak didukung dengan langkah antisipatif dari pemangku kebijakan, tokoh agama dan masyarakat luas.
SARA Sebagai Senjata Politik dan Ideologis
Dalam teori politik identitas (identity politics) dijelaskan, bahwa identitas kelompok bisa menjadi alat mobilisasi massa yang sangat efektif.
Sayangnya, dalam konteks Indonesia, isu SARA kerap dieksploitasi bukan untuk membangun solidaritas, melainkan untuk memecah belah masyarakat demi kepentingan politik jangka pendek.
Hal ini diperparah oleh penyebaran narasi intoleran melalui media sosial dan jejaring komunitas eksklusif yang memperkuat bias konfirmasi dan prasangka kelompok.
Berkaca pada insiden di Padang ini, patut dicurigai adanya upaya sistematis untuk mengguncang fondasi toleransi yang telah dibangun dengan susah payah selama ini. Apalagi, sejak puluhan tahun terakhir masalah pertikaian antar agama seperti ini tak pernah muncul di Padang.
Masyarakatnya selama ini hidup berdampingan dalam cinta kasih dan kedamaian dengan mengedepankan sikap tolerasi yang tinggi, meski dengan berbagai latar belakang suku dan agama .
Sekarang muncul upaya sekelompok orang untuk merusak toleransi yang selama ini terbangun. Tentunya semua dilakukan pihak tertentu dengan agenda utama merusak harmonisasi dan citra masyarakat minangkabau di Sumatera Barat dan Kota Padang khususnya.
Kita tahu, rumah doa itu juga difungsikan sebagai tempat pendidikan agama kristen. Artinya menjadi simbol pembentukan nilai-nilai keagamaan sejak dini. Merusaknya, berarti merusak ruang tumbuhnya perdamaian dan keberagaman.
Peran Tokoh Adat, Agama dan Masyarakat
Tokoh adat dan tokoh agama memiliki tanggung jawab moral untuk tidak membiarkan api intoleransi menyala dan membesar.
Sosialog terkemuka dunia, Emile Durkheim dalam teori integrasi sosial menjelaskan, lembaga adat dan agama merupakan salah satu instrumen penting dalam menjaga solidaritas sosial. Ketika tokoh-tokoh agama bersatu dalam menentang tindakan intoleran, maka mereka tidak hanya menjaga umatnya sendiri, tetapi juga menjaga integritas sosial bangsa.
Begitu pula, masyarakat sipil harus memperkuat budaya literasi toleransi, terutama di ruang-ruang digital yang rawan disusupi provokasi.
Kesadaran kolektif akan pentingnya kebhinekaan harus menjadi bagian dari pendidikan formal dan informal di seluruh lapisan masyarakat.
Kasus perusakan rumah doa di Kota Padang ini bukan sekadar insiden kriminal biasa, melainkan sinyal bahaya dari potensi pecahnya kerukunan umat beragama yang selama ini sudah berjalan baik.
Negara, masyarakat dan seluruh tokoh lintas agama yang berada dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) harus bersatu melawan setiap upaya eksploitasi isu SARA yang berpotensi menjadi alat pemecah umat.
Bila tidak diantisipasi, kejadian serupa bisa menyebar ke daerah lain, menggerus rasa saling percaya dan menghancurkan semangat persatuan dan kesatuan dalam keberagaman yang menjadi pilar utama bangsa ini.
Saatnya, lembaga adat di Minangkabau bersama ulama maupun FKUB turun ke masyarakat, merajut kembali keberagaman yang ada dalam bingkat toleransi, cinta kasih dan kedamaian. Aparat penegak hukum juga harus bersikap tegas menindak para pelaku perusakan sesuai aturan dan hukum yang berlaku. Supaya kejadian serupa tidak menjadi preseden buruk dan tidak terjadi di daerah lain. (*)
* Penulis adalah jurnalis FokusRiau.Com (Fokus Media Grup) dan Sekretaris DPD Pro Jurnalismedia Siber (PJS) Riau