Kolom  

RKUHAP: Di Antara Janji Reformasi dan Ancaman Kemunduran Demokrasi

Oleh : Ghazi Falih*

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) kembali menjadi sorotan. Di tengah semangat pembaruan hukum pidana nasional, justru muncul kegelisahan publik: apakah RKUHAP ini benar-benar membawa reformasi, atau justru memperluas ruang represi atas nama legalitas?

Sebagai mahasiswa hukum sekaligus bagian dari masyarakat sipil yang sadar akan pentingnya sistem peradilan yang adil dan demokratis, saya melihat banyak substansi dalam draf RKUHAP yang justru bertolak belakang dengan prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia dan negara hukum.

Pasal-pasal yang Berpotensi Menyalahgunakan Kekuasaan

Salah satu pasal yang paling mencolok adalah kewenangan penyadapan tanpa izin pengadilan (Pasal 83–89). Dalam RKUHAP, penyidik diberi kewenangan menyadap percakapan warga tanpa perlu persetujuan hakim. Ini bukan hanya persoalan prosedural, tapi menyangkut hak privasi warga negara yang sangat fundamental. Jika mekanisme kontrol diabaikan, maka ruang-ruang pribadi bisa dengan mudah dimasuki oleh kekuasaan.

Lebih jauh, masa penahanan yang diperpanjang secara signifikan dalam Pasal 20–30 juga mencemaskan. Bayangkan, tersangka bisa ditahan hingga 120 hari hanya dalam tahap penyidikan. Ini berisiko besar membuka celah penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum, dan bisa menjadi alat intimidasi yang dilegalkan.

Masalah lain yang tak kalah serius adalah penghilangan pendampingan hukum dalam tahap awal pemeriksaan tersangka (Pasal 53). Justru pada tahap inilah, tersangka sangat rentan terhadap tekanan, intimidasi, hingga rekayasa keterangan. Tanpa kehadiran penasihat hukum, hak tersangka bisa tergerus secara sistematis.

Lalu, pengawasan elektronik dan penahanan rumah (Pasal 63–68) tampak menjanjikan sebagai bentuk pemidanaan alternatif. Namun, sayangnya tidak disertai mekanisme pengawasan yang kuat. Dalam praktiknya, ini bisa berubah menjadi cara membungkam kritik dengan membatasi mobilitas seseorang secara diam-diam.

Penyusunan yang Elitis, Partisipasi yang Ditiadakan

Yang lebih ironis, proses penyusunan RKUHAP dilakukan secara tertutup dan jauh dari semangat partisipatif. Tidak ada transparansi terhadap isi draf, tidak tersedia ruang diskusi publik yang memadai, dan pelibatan masyarakat sipil hanya sebatas formalitas.

Padahal, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 secara tegas mengamanatkan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan secara terbuka dan partisipatif. Jika RKUHAP disusun di balik pintu tertutup, maka bagaimana mungkin hasil akhirnya mencerminkan kepentingan publik?

Reformasi atau Represi yang Disahkan?

Situasi ini mengundang pertanyaan besar: apakah RKUHAP memang diarahkan untuk memperbaiki sistem hukum, atau justru membuka ruang baru bagi penyalahgunaan kekuasaan yang dibungkus rapi dalam narasi legal?

Jika dibiarkan, RKUHAP bisa menjadi instrumen yang melemahkan kontrol sipil terhadap negara, dan justru menjadi ancaman terhadap demokrasi itu sendiri. Hukum, yang semestinya melindungi, bisa berubah menjadi alat represi.

Oleh karena itu, kami mendesak pemerintah dan DPR RI untuk:

  1. Meninjau ulang pasal-pasal bermasalah dalam RKUHAP.
  2. Menunda pengesahan hingga ada jaminan bahwa proses pembahasan dilakukan secara transparan dan partisipatif.
  3. Melibatkan elemen masyarakat sipil, akademisi, serta mahasiswa dalam proses penyusunan lanjutan.

Hukum yang kehilangan keberpihakannya terhadap keadilan, pada akhirnya hanya akan menjadi teks kosong yang tidak punya legitimasi. Jika RKUHAP dipaksakan tanpa perbaikan, maka yang akan terdampak bukan hanya para tersangka tetapi seluruh warga negara Indonesia. []

Presiden Mahasiswa DEMA UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi*

Exit mobile version