Oleh : Ilda Peliana*
BERBAGAI pelatihan dan workshop kurikulum telah bergulir dari tahun ke tahun. Dimulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kurikulum 2013, hingga kini Kurikulum Merdeka.
Namun, satu pertanyaan mendasar tetap mengemuka: mengapa pelatihan yang begitu masif ini belum menunjukkan dampak nyata di ruang-ruang kelas?
Jawabannya mungkin sederhana, namun cukup menyentak: pelatihan yang diselenggarakan selama ini masih bersifat informatif, bukan transformatif. Narasumber lebih sering tampil sebagai penyampai materi, bukan sebagai pelatih yang membimbing perubahan.
Slide demi slide disuguhkan, definisi dikutip, namun tidak pernah benar-benar menyentuh praktik pembelajaran konkret yang seharusnya menjadi inti dari perubahan.
Padahal, Kurikulum Merdeka menjanjikan pembelajaran yang berpihak pada murid- bermakna, menggembirakan, dan berkesadaran. Konsep student-centered learning digaungkan kuat. Namun ironisnya, semangat ini justru tidak tercermin dalam pelatihan itu sendiri.
Guru sebagai peserta hanya duduk pasif, mencatat, bahkan sebagian tampak mengantuk, menundukkan kepala di meja meskipun berada di ruangan hotel berpendingin udara. Gaya penyampaian masih satu arah, monoton, dan jauh dari semangat pembelajaran aktif.
Ini menunjukkan kontradiksi yang mencolok: bagaimana mungkin guru diharapkan menerapkan pembelajaran aktif, kolaboratif, dan kontekstual jika pelatihan yang mereka terima sendiri tidak merefleksikan hal tersebut?
Alih-alih menjadi ruang praktik dan refleksi, pelatihan kurikulum sering kali sekadar menjadi ajang formalitas. Guru datang untuk daftar hadir, lalu pulang dengan berkas sertifikat, tanpa membawa bekal keterampilan yang utuh untuk diterapkan di kelas.
Di sisi lain, pemateri yang dihadirkan pun jarang berasal dari kalangan praktisi pembelajaran aktif. Mereka lebih sering ahli dokumen ketimbang fasilitator yang mampu memodelkan bagaimana strategi pembelajaran diterapkan secara nyata. Pelatihan yang seharusnya membangun kapasitas guru malah berubah menjadi ruang ceramah dan pemaparan konsep.
Kita tidak butuh kurikulum yang terus berganti nama, jika cara memperkenalkannya kepada guru tidak pernah berubah. Pelatihan harus menjadi ruang belajar yang otentik bagi guru. Pemateri harus turun dari podium, membuka dialog, mensimulasikan pembelajaran, dan menunjukkan bukti konkret dari apa yang disampaikan.
Transformasi pendidikan tidak akan terjadi jika perubahan berhenti di kertas kebijakan. Ia baru akan hidup ketika guru mengalaminya langsung- melalui pelatihan yang menggugah, membangkitkan semangat, dan menyentuh praktik.
Kurikulum boleh merdeka. Tapi selama pelatihan masih terpenjara dalam pola lama, maka kelas-kelas kita akan tetap senyap dan murid hanya menjadi objek, bukan subjek dari pendidikan. []
Penulis adalah Instruktur Nasional PKB Kemenag RI 2021–2024, Pengawas Madrasah Kemenag Kota Padang*