Oleh : Sastri Bakry*)
Hari-hari belakangan ini kita dibuat terpana dengan omongan wakil rakyat yang mestinya membela rakyat, justru merendahkan rakyat. Pamer kekuasaan dan pamer kekayaan. Mereka memperjuangkan pendapatan mereka sendiri. Seolah tak sensitif atas penderitaan rakyat yang bahkan untuk makan dan sekolah anak saja susah.
Demo adalah bentuk ekspresi menggugat ketidakadilan ini. Namun ujungnya justru yang jadi korban masyarakat kecil termasuk kepolisian di lapisan bawah. Sementara pemimpin dan wakil rakyat tak berani berdialog bahkan untuk menjumpai pendemo. Mereka merasakan sudah cukup dengan permintaan maaf di medsos.
Di tengah hiruk pikuk demo yang berujung kerusuhan, kita menyaksikan adegan yang mengagetkan: masyarakat menjarah rumah menteri dan anggota DPR. Tindakan ini mungkin dianggap irasional oleh sebagian orang, tapi mari kita simak lebih dalam.
Masyarakat menjarah rumah para pejabat bukan karena mereka iri dengan kemewahan interior yang menghiasi dinding-dinding megah. Bukan pula karena mereka menginginkan perabotan rumah tangga yang mewah. Mereka menjarah karena rumah-rumah itu adalah simbol dari kegagalan sistem yang telah mereka percayakan.
Rumah-rumah mewah itu adalah representasi dari kekuasaan yang telah disalahgunakan. Mereka adalah bukti bahwa janji-janji perubahan dan keadilan hanya menjadi slogan kosong di bibir para pejabat. Masyarakat merasa bahwa mereka telah dikhianati oleh orang-orang yang seharusnya menjadi pelayan rakyat.
Menjarah rumah menteri dan anggota DPR adalah cara masyarakat untuk mengatakan, “Kami sudah tidak percaya lagi dengan sistem ini.” Mereka merasa bahwa sistem yang ada saat ini tidak lagi mewakili kepentingan rakyat, melainkan kepentingan para elit yang berkuasa. Seolah tak punya hati , mata dan telinga. Tertutup semuanya.
Tindakan menjarah ini juga dapat dilihat sebagai bentuk keputusasaan masyarakat. Mereka merasa bahwa tidak ada lagi jalan lain untuk menyampaikan aspirasi mereka, kecuali dengan cara-cara yang lebih ekstrem. Ini adalah tanda bahwa sistem komunikasi antara pemerintah dan rakyat telah gagal.
Jadi, mari kita renungkan: apa yang sebenarnya terjadi ketika masyarakat merasa bahwa mereka tidak lagi memiliki akses ke kekuasaan? Apa yang terjadi ketika mereka merasa bahwa suara mereka tidak lagi didengar? Jawabannya mungkin ada di rumah-rumah mewah yang dibakar dan dijarah.
Kita perlu memahami bahwa tindakan menjarah ini bukanlah solusi untuk masalah yang ada. Namun, ini adalah pertanda bahwa ada sesuatu yang sangat sangat salah dengan sistem yang ada saat ini. Kita perlu melakukan perubahan yang lebih fundamental untuk memastikan bahwa kekuasaan tidak lagi disalahgunakan dan bahwa suara rakyat didengar.
Beberapa tuntutan masyarakat yang sudah terakumulasi demikian banyak mesti dijawab pemerintah secara transparan. Mulai dari penghapusan semua peningkatan pendapatan mereka, seperti kenaikan tunjangan Anggota DPR dan segala turunannya, jabatan rangkap wamen yang merugikan negera, pencopotan Kapolri, UU perampasan aset, menteri yang korup jangan lagi dilindungi.
Mari kita pikirkan bersama, agar kita menyadari yang paling penting melindungi masyarakat. Jangan atas nama penegakkan hukum sebagian penjarah/ pendemo ditangkapi, ditembaki, sementara penjarah/koruptor sesungguhnya yang masih berkuasa kita tutup mata.
Lalu kepada siapa lagi mereka mengadu? Sampai kapan negara kita diobrak abrik dengan sistem yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme?
Bangunlah. Buka ruang komunikasi, partisipasi dan transparansi antara rakyat dan wakil rakyat.
Sastri Bakry, Sastrawan, Penulis, mantan Birokrat, Aktivis Budaya dan Penggiat Literasi asal Padang, Sumatera Barat. Sastri Bakry dikenal sebagai Ketua Organisasi Penulis SatuPena Sumatera Barat, Pendiri Sumbar Talenta Indonesia dan Ketua International Minangkabau Literacy Festival (IMLF).*)