Sudah Waktunya PBB P2, Pajak Rumah Makan/Restoran dan Pajak-pajak Lainnya yang Beratkan Rakyat, Di Hapus!

Oleh: Gusfahmi Arifin, SE., MA., MM.*)

Di zaman Rasulullah ﷺ (622-632 M), pajak yang dikenakan terhadap tanah hanya pajak atas hasil bumi dari tanah milik negara (khalifah), yang diperoleh dari peperangan sebagai Harta Rampasan Perang (Ghanimah, QS. Al Anfaal [8]: 1,41,69), yang diperoleh dari suku Yahudi di Khaibar.

Suku Yahudi Khaibar meminta kepada Rasulullah ﷺ agar tanah tersebut tidak dibagikan kepada tentara sebagaimana ketentuan Ghanimah, namun diberikan hak pengelolaannya kepada mereka (kaum Yahudi) dengan syarat mereka menyerahkan separo hasilnya (50%) untuk negara. Tanah tersebut disebut tanah Kharajiyah (tanah sewa hasil bumi), yang dikenakan Kharaj – خراج -(pajak hasil bumi), sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَجْلَى الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى مِنْ أَرْضِ الْحِجَازِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا ظَهَرَ عَلَى خَيْبَرَ أَرَادَ إِخْرَاجَ الْيَهُودِ مِنْهَا وَكَانَتْ الْأَرْضُ حِينَ ظَهَرَ عَلَيْهَا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِلْمُسْلِمِينَ وَأَرَادَ إِخْرَاجَ الْيَهُودِ مِنْهَا فَسَأَلَتْ الْيَهُودُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُقِرَّهُمْ بِهَا أَنْ يَكْفُوا عَمَلَهَا وَلَهُمْ نِصْفُ الثَّمَرِ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُقِرُّكُمْ بِهَا عَلَى ذَلِكَ مَا شِئْنَا فَقَرُّوا بِهَا حَتَّى أَجْلَاهُمْ عُمَرُ إِلَى تَيْمَاءَ وَأَرِيحَاءَ

Dari Ibnu’Umar radliallahu ‘anhuma berkata; “Ketika Rasulullah “. Dan berkata, ‘Abdur Razzaaq telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij berkata, telah menceritakan kepadaku Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar bahwa ‘Umar bin Al Khaththab radliallahu ‘anhu mengusir Yahudi dan Nashrani dari tanah Hijaz. Dan Rasulullah  ketika menaklukan Khaibar berkehendak untuk mengusir Kaum Yahudi dari wilayah tersebut. Dan ketika Beliau menguasainya tanah Khaibar Beliau manfaatkan untuk Allah, RasulNya dan Kaum Muslimin dan Beliau berkehendak mengusir Kaum Yahudi darinya, namun Kaum Yahudi meminta kepada Rasulullah  agar Beliau mengizinkan mereka tetap tinggal disana untuk memanfaatkannya dan mereka mendapat hak bagian separuh dari hasil buah-buahannya (Kharaj/pajak), maka Rasulullah  bersabda: “Kami tetapkan kalian tinggal dan memberdayakannya sesuai kehendak kami”. Maka mereka menetap disana hingga akhirnya ‘Umar radliallahu ‘anhu mengusir mereka ke daerah Taima’ dan Ariha’. (HR. Bukhari no. 2170 dan HR. Muslim no. 2899).

Di zaman Umar bin Khattab RA (634-644 M), pengenaan pajak atas hasil tanah seperti dimasa Rasulullah ﷺ juga pernah dilaksanakan oleh Umar RA, ketika beliau tidak membagikan tanah di Sawad Iraq sebagai Ghanimah, namun menjadikannya sebagai tanah wakaf yang dipungut Kharaj (pajak hasil tanah), dimana hasilnya dijadikan sebagai pendapatan negara, yang bermanfaat untuk membiayai berbagai keperluan negara seperti menggaji tentara yang menjaga perbatasan di Syam, Jazrah, Kufah, Bashrah dan Mesir.

Keputusan ini diambil oleh Umar demi kemaslahatan jangka panjang dan lebih bermanfaat bagi generasi sesudahnya. Dasar ijtihad Umar ini adalah QS. Al Hasyr [59]: 6-10, dimana Allah SWT memerintahkan agar harta itu tidak hanya beredar diantara orang kaya saja diantara mereka, melainkan diberikan pula kepada yang miskin, muhajirin, dan kemaslahatan umat Islam.

Pengenaan Kharaj (pajak hasil bumi) di masa Rasulullah ﷺ dan masa Umar bin Khattab RA hanya atas tanah milik negara (khalifah) yang diberikan hak pengelolaannya kepada rakyat. Jadi, pembayaran pajak atas tanah di zaman Rasulullah ﷺ dan zaman Umar RA hanya dikenakan terhadap tanah milik negara, yang diserahkan hak pengelolaannya kepada rakyat. Sedangkan atas hasil tanah yang dimiliki dan dikelola oleh kaum Muslimin tetap hanya dikenakan Zakat atau ‘Usyur (Zakat hasil pertanian), sebagaimana dijelaskan dalam hadits:

عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ الْحَضْرَمِيِّ قَالَ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَهْلِ هَجَرَ شَكَّ أَبُو حَمْزَةَ قَالَ وَكُنْتُ آتِي الْحَائِطَ يَكُونُ بَيْنَ الْإِخْوَةِ فَيُسْلِمُ أَحَدُهُمْ فَآخُذُ مِنْ الْمُسْلِمِ الْعُشْرَ وَمِنْ الْآخَرِ الْخَرَاجَ

Dari Al ‘Ala` Bin Al Hadlrami dia berkata; “Rasulullah ﷺ pernah mengutusku ke negeri Bahrain atau penduduk Hajar -Abu Hamzah ragu (mengenai redaksinya) – Al ‘Ala` berkata; “Lalu aku datang ke suatu kebun yang dimiliki oleh beberapa orang bersaudara, lalu salah seorang dari mereka masuk Islam, maka aku mengambil dari seorang muslim ‘Usyur (Sepersepuluh) (Zakat) sedangkan dari yang lain (kafir) sebagai Kharaj (pajak).” (HR. Ahmad no. 19622).

Membandingkan Kharaj yang pernah dipungut di zaman Rasulullah ﷺ dan Umar bin Khattab RA dengan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Indonesia saat ini tentu akan terlihat jelas sekali bedanya. Kharaj dipungut atas tanah milik negara, sedangkan PBB P2 dipungut atas tanah milik rakyat. Kharaj dipungut atas hasil tanah dengan tarif proporsional atau bagi hasil (muqasamah), sesuai hasil yang diperoleh, sedangkan PBB P2 dipungut dengan tarif tetap (muhasabah), tanpa memperhatikan apakah tanah tersebut menghasilkan atau tidak.

Kaum Muslimin sudah diwajibkan membayar Zakat berupa ‘Usyur (zakat hasil pertanian, tarif 5% atau 10%) atas hasil tanah miliknya, sehingga tidak lagi dikenakan Kharaj. Di Indonesia, atas kepemilikan tanah, selain di kenakan PBB P2, juga dikenakan Zakat (hasil pertanian) dan Pajak Penghasilan (PPh).

Dalam hal ini terjadi pajak berlapis tiga (triple tax) yaitu PBB-P2, Zakat dan PPh. Hal inilah yang menyebabkan rakyat marah dan tidak terima, ketika seorang kepala daerah menetapkan kenaikan PBB-P2 secara sepihak, dengan cara menaikkan NJOP, sehingga PBB-P2 menjadi naik 100%, 200% bahkan ada yang 300%.

Bercermin dari kasus penolakan kenaikan PBB-P2 ini, yang dirasakan tidak sesuai dengan rasa keadilan, juga tidak sesuai dengan syari’at Islam karena adanya pajak berganda dengan PPh, maka sudah waktunya PBB-P2 ini ditinjau kembali oleh DPR dan pemerintah untuk di hapus.

Kharaj (pajak hasil bumi) yang pernah diterapkan di zaman Rasulullah ﷺ atas tanah Khaibar dan Khalifah Umar bin Khattab RA atas tanah Sawad di Iraq dan tanah di Mesir, dikenakan atas tanah milik khalifah (negara) yang pengelolaannya diserahkan kepada rakyat, bukan tanah milik pribadi rakyat yang sudah diakui hak kepemilikannya. Atas tanah rakyat yang sudah diberi hak kepemilikannya (SHM, HGB, HGU) dikenakan Zakat (‘Usyur ) dan Pajak Penghasilan (PPh) sebagai pajak tambahan setelah zakat.

Pengenaan pajak atas hasil penghasilan seperti Pajak Penghasilan (PPh), merupakan tambahan kewajiban sesudah Zakat, sebagai hasil ijtihad ulama yang dibolehkan menurut Syari’at Islam. Pembolehannya berdasarkan metode istinbath Maslahah Al Mursalah, karena sangat dibutuhkan oleh Ulil Amri sebagai pengelola negara, disebabkan kas negara mengalami kekurangan akibat sumber pendapatan negara yang utama dari Ghanimah, Fa’i, Jizyah, Kharaj, ‘Usyur tidak mencukupi.

Zakat tidak bisa digunakan selain hanya untuk asnaf yang delapan (QS. At Taubah [9]: 60), maka Ulil Amri harus berijtihad mengadakan sumber pendapatan baru yang disebut Dharibah (pajak tambahan) berupa PPh, sebagai bentuk jihad kaum Muslimin untuk membiayai berbagai pengeluaran negara di zaman modern saat ini.

Karena sudah ada kewajiban tambahan berupa PPh, maka kewajiban lain seperti PBB P2, Pajak Rumah Makan/Restoran (sekarang namanya Pajak Barang dan Jasa Tertentu /PBJT), serta 16 jenis Pajak Daerah lainnya, yaitu: PBB-P2, BPHTB, PBJT, Pajak Reklame, PAT, Pajak MBLB, Pajak Sarang Burung Walet, Opsen PKB dan Opsen BBNKB, PKB, BBNKB, PAB, PBBKB, PAP, Pajak Rokok. dan Opsen Pajak MBLB (sesuai Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah) seharusnya di hapus.

Pemerintah sebaiknya fokus kepada maksimalisasi laba dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) serta Orang Pribadi dan Badan swasta yang memiliki usaha skala besar, yang bergerak dibidang industri pengolahan minyak bumi, gas, batu bara, sawit dan sejenisnya, dimana pajaknya dizaman Rasulullah ﷺ adalah 50%.

Saudi Arabia dengan PT Aramco yang mengolah minyak, mampu memberikan pajak kepada negara lebih dari Rp3.000. triliun per tahun. Tarif pajak untuk perusahaan minyak negara di Saudi Arabia adalah 50%. Jumlah pajak yang disetor PT Aramco hampir sama dengan APBN Indonesia tahun 2025. Demikian juga halnya dengan negara-negara lain seperti Kuwait, Qatar, UEA dan Brunei Darussalam.

Demikian pula dengan pajak makanan/minuman di rumah makan/restoran (sekarang disebut Pajak Barang dan Jasa Tertentu/PBJT), yang dipungut ketika seseorang makan di rumah makan atau di restoran sebesar 5% s/d 10% (beda masing-masing daerah), yang dikenakan atas setiap orang yang makan dan minum. Makan dan minum adalah kebutuhan pokok manusia (maqashid dharuriyyat), yang seharusnya tidak boleh dikenakan pajak. Apalagi PBJT ini tidak melihat, apakah orang yang makan itu kaya atau miskin, ini bertentangan dengan Syari’at.

Syari’at membolehkan pemungutan pajak hanya kepada orang kaya saja (QS. Al Hasyr [59]: 7), yang melebihi kebutuhan pokoknya (lihat QS. Al Baqarah [2]: 219). Jika dikenakan terhadap orang miskin, maka hal ini dilarang oleh Allah SWT. Rumah makan atau restoran tidak bisa membedakan, mana orang kaya atau orang miskin, sehingga pajak rumah makan/restoran ini harus dihapus.

Pengenaan pajak terhadap rakyat termasuk dalam hukum mu’amalah, yang prinsip dasarnya adalah boleh (ibahah) dilakukan kecuali ada dalil yang melarangnya. الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم, “Hukum asal segala sesuatu (mu‘āmalah dan adat) adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya.” Kebolehan memungut pajak dibatasi oleh syari’at dengan melarang berbuat zhalim kepada orang lain, sebagaimana qaidah fiqh yang berbunyi: لا ضرر ولا ضرار, artinya,”Tidak boleh berbuat mudarat (merugikan diri sendiri) dan tidak boleh pula memudaratkan orang lain.” (HR. Ibnu Majah).

Pengenaan pajak dalam Islam harus memenuhi syarat: 1) adanya harta yang tumbuh, bertambah dan berkembang; 2) harta sudah melebihi kebutuhan pokok (nishab dalam zakat, Penghasilan Tidak Kena Pajak dalam perpajakan); 3) hanya dibebankan kepada orang kaya saja; 4) dipungut ketika negara betul-betul membutuhkannya (darurat); dan 5) digunakan untuk tujuan apa pajak itu dipungut (keamanan, Pendidikan, Kesehatan), tidak boleh untuk hal-hal yang tidak mendesak apalagi dikorupsi.

PBB P2 dan pajak rumah makan/restoran (sekarang disebut Pajak Barang dan Jasa Tertentu/PBJT) tidak memenuhi syarat untuk diperbolehkan dipungut menurut syari’at, karena tidak ada unsur harta yang bertambah dan berkembang dan tidak ada kepastian hanya dipungut kepada orang kaya saja. Jika tetap dikenakan, maka akan menzalimi rakyat, dan hal ini adalah haram menurut syari’at. []

*) Gusfahmi Arifin, SE., MA. adalah Mahasiswa S3 Hukum Islam, Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang, bekerja sebagai Penyuluh Pajak Ahli Madya di Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Riau.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis, tidak mewakili institusi dimana penulis bekerja.

Exit mobile version