Oleh : Putra Rahmadani*
Demokrasi ibarat panggung besar tempat suara rakyat menemukan gema. Di sana, media adalah lampu sorot yang menyingkap wajah kekuasaan, memperlihatkan denyut kehidupan masyarakat, sekaligus mengingatkan bahwa kebenaran tidak boleh disembunyikan.
Namun, apa jadinya bila sorot itu dipadamkan? Apa jadinya jika layar televisi, yang mestinya menjadi ruang percakapan publik, justru membisu karena fakta dianggap terlalu berisik?
Inilah dilema yang kita hadapi ketika Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjalankan perannya. Lembaga ini dibentuk sebagai pengawas independen untuk memastikan konten siaran tetap berada dalam koridor norma, moral, dan hukum.
Dalam prinsipnya, KPI bukanlah lembaga sensor, melainkan pengawal penyiaran yang berfungsi menegur, memberi sanksi, hingga menghentikan tayangan yang melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) (Diskominfo Bogor, 2023).
Namun, kebijakan yang diambil sering kali memunculkan kesan bahwa KPI lebih sibuk “menghaluskan layar” daripada melindungi kebenaran. KPI seolah menjadi pemangkas fakta, bukan pelindung hak publik untuk mendapatkan informasi akurat, yang esensinya merupakan fondasi dari demokrasi.
Ironisnya, alih-alih menampilkan realitas, media justru dipaksa untuk membisu atau menutupi fakta yang dianggap “terlalu berisik,” yang seolah mencerminkan kekerasan terhadap kebenaran itu sendiri. Fenomena ini, yang dapat disebut sebagai “Layar Mati Demokrasi,” menandakan bahwa cahaya yang seharusnya menerangi panggung publik kini justru redup, digantikan oleh kesunyian yang mencekam.
Kontroversi yang terus-menerus melingkupi kebijakan KPI ini sering kali menyoroti kelemahan dalam wewenang pengawasan lembaga tersebut (The Jakarta Post, 2021), menjadikannya penjaga moral penyiaran yang justru sering menjadi polemik.
Masalah utama dalam dunia penyiaran tidak terletak pada penayangan kekerasan fisik semata, melainkan pada penghapusan fakta yang tidak menyenangkan. Tayangan investigasi, kritik tajam terhadap kekuasaan, atau laporan tentang ketidakadilan seringkali dipangkas, diperingatkan, atau bahkan dihentikan dengan dalih “tidak sesuai norma” (Tirto.id, 2021).
Padahal, realitas yang pahit, meskipun menyakitkan, adalah bagian dari kehidupan yang seharusnya diketahui oleh publik. Mengabaikan atau menghilangkannya sama saja dengan menutup mata masyarakat terhadap kebenaran yang esensial.
Kutipan sastrawan legendaris W.S. Rendra, “Bila rakyat tidak berani lagi menyampaikan pendapat, maka sebenarnya bangsa ini sedang sakit,” terasa sangat relevan dengan kondisi penyiaran kita saat ini. Kematian demokrasi tidak disebabkan oleh kekerasan fisik, melainkan oleh kekerasan simbolik: di mana fakta dikesampingkan, suara kritis dikecilkan, dan realitas yang kompleks disulap menjadi tontonan yang steril dan aman. Fenomena ini, yang mematikan ruang diskusi publik, merupakan sebuah kemunduran yang mengancam fondasi demokrasi itu sendiri (The Jakarta Post, 2021).
Demokrasi diibaratkan sebagai panggung besar dengan simfoni yang kaya akan nada; ada yang harmonis, tetapi ada pula yang disonan dan tajam. Namun, ketika Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) hanya mengizinkan nada-nada yang “terdengar manis” dan nyaman, simfoni tersebut kehilangan esensinya. Alih-alih menghasilkan komposisi yang utuh, yang tersisa hanyalah alunan hambar tanpa makna.
Sebagai mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam, saya meyakini bahwa media bukanlah sekadar alat hiburan, melainkan sebuah amanah dakwah dan ruang vital untuk pertukaran gagasan. Dalam ajaran Islam, komunikasi adalah jalan untuk menyampaikan kebenaran dan menyebarkan kasih sayang, sejalan dengan firman Allah SWT dalam Surah Al-Ahzab ayat 70, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.”
Ayat ini secara tegas menekankan pentingnya kejujuran dan keberanian dalam menyampaikan fakta. Oleh karena itu, menghilangkan fakta dari layar media sama saja dengan mengabaikan amanah suci untuk bertindak jujur dan benar, yang merupakan nilai fundamental dalam ajaran Islam.
KPI seringkali berlindung di balik dalih “regulasi” untuk membenarkan tindakan mereka. Memang, regulasi sangat krusial untuk mencegah media menjadi liar, vulgar, atau sekadar menjual sensasi murahan. Namun, regulasi tidak sama dengan represi.
Sebaliknya, regulasi seharusnya berfungsi untuk melindungi publik dari kebohongan dan disinformasi, bukan untuk menghapus fakta yang tidak nyaman bagi penguasa atau kelompok dominan.
Menurut Bahruddin (2020), tantangan terbesar dalam regulasi penyiaran di era konvergensi media adalah menjaga keseimbangan antara perlindungan publik dan kebebasan berekspresi. Apabila pengawasan terlalu ketat, media akan kehilangan fungsinya sebagai pilar keempat demokrasi, dan ruang publik pun menyempit.
Hal ini sejalan dengan pendapat Prof. Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, yang menegaskan bahwa demokrasi tidak boleh alergi terhadap kritik. Seperti yang ia sampaikan dalam sebuah diskusi publik, “Demokrasi hanya bisa tumbuh jika suara-suara berbeda diberi ruang, bukan dibungkam.”
Di balik gemerlap layar kaca, terjadi sebuah tragedi yang paling ironis: penghilangan fakta adalah pembungkaman massal. Korban terbesarnya adalah kelompok minoritas, para pejuang keadilan yang bersuara dari pinggir republik, dan mereka yang berani mengkritik sistem.
Suara mereka, yang seharusnya menjadi denyut nadi demokrasi, perlahan-lahan dienyahkan dari ruang publik. Media, yang semestinya menjadi corong bagi mereka yang tak berdaya, telah berubah menjadi cermin dingin yang hanya memantulkan wajah-wajah yang dianggap layak, yang sejalan dengan narasi penguasa.
Pada akhirnya, kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan pedih: Apakah kita akan membiarkan demokrasi yang kita perjuangkan berubah menjadi monolog yang hampa, di mana hanya segelintir suara yang berkuasa, sementara jeritan nurani rakyat dibiarkan mati dalam kesunyian? Ini bukan lagi sekadar pertanyaan, melainkan dakwaan terhadap sebuah sistem yang gagal melindungi kebebasan berekspresi.
Sebagai mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam, saya menolak untuk bungkam. Saya melihat media bukan sebagai komoditas, melainkan sebagai amanah suci yang kini dikhianati. KPI, yang seharusnya menjadi pengawal demokrasi, telah menjelma menjadi penjaga pintu yang patuh pada kekuasaan, menolak fakta untuk masuk ke ruang publik. Ironi terbesarnya adalah, mereka menutupi kebobrokan di balik jubah regulasi, mengorbankan nurani demi kepentingan yang dangkal.
Pandangan almarhum Gus Dur, “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan,” adalah tamparan keras bagi media kita hari ini. Mereka tidak boleh hanya mengabdi pada regulasi yang kaku, melainkan harus berpihak pada manusia, pada suara yang lemah, pada fakta yang sering disembunyikan.
“Layar mati demokrasi” tidak selalu berarti layar hitam yang kosong. Ia seringkali masih menyala terang, memamerkan hiburan hambar, gosip murahan, atau berita ringan yang tidak substansial. Namun, di balik cahaya palsu itu, fakta yang krusial justru dipadamkan. Inilah kematian demokrasi yang paling sunyi: tanpa darah, tanpa teriakan, hanya kesenyapan fakta yang disamarkan oleh kebisingan yang tak berarti.
Kita harus menolak panggung kosong ini. Kita harus menyalakan kembali layar demokrasi bukan dengan sensasi murahan, tetapi dengan keberanian untuk menyiarkan kebenaran, sejalan dengan perintah agama untuk jujur. Sebab, pada akhirnya, demokrasi tanpa fakta hanyalah panggung kosong, dan rakyat hanyalah penonton yang tertipu. []
Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Imam Bonjol Padang*)