Oleh : Ervin Sandri*)
Deru mesin bus yang membawa kami membelah jalanan Padang pagi itu terasa berbeda. Ia bukan sekadar suara transportasi, melainkan simfoni dari debar antusiasme, secercah gugup, dan sebuah ambisi besar.
Saya, Ervin Sandri, bersama sebelas kawan seperjuangan dari Program Studi Bahasa dan Sastra Arab, UIN Imam Bonjol Padang, sedang dalam sebuah perjalanan yang akan menjadi salah satu tonggak penting dalam kehidupan akademik panggung The 7th International Conference on Language, Literature, and Education (ICCLE) di Universitas Negeri Padang.
Memasuki Medan Laga Gagasan
Begitu tiba di lokasi konferensi pada 8 Oktober 2025, kami langsung merasakan denyut intelektual yang kental. Aula dan ruang-ruang seminar dipenuhi para akademisi, guru besar, dan peneliti dari berbagai negara.
Mendengar percakapan dalam beragam aksen Melayu, Inggris, bahkan Rusia membuat kami sadar, ini bukan lagi sekadar seminar tingkat kota. Ini adalah arena global, sebuah melting pot tempat gagasan-gagasan terbaik dari seluruh dunia bertemu, beradu, dan saling memperkaya.
Konferensi yang mengusung tema “Era Transformasi Digital” ini menghadirkan pembicara-pembicara kelas atas dari Malaysia, Singapura, Rusia, dan tentu saja, para pakar dari Indonesia. Bagi kami, ini adalah kesempatan langka.
Selama ini kami bergelut dengan teori di ruang kelas, kini kami bisa mendengar langsung bagaimana teori-teori tersebut diaplikasikan dan diperdebatkan dalam konteks tantangan zaman sekarang ini.
Suara Mahasiswa Sastra Arab di Pentas Internasional
Momen puncak bagi kami adalah saat nama-nama kami dipanggil untuk sesi presentasi. Jantung berdebar lebih kencang. Ini bukan lagi ujian di depan dosen, ini adalah momen di mana kami mahasiswa berdiri setara dengan para peneliti lainnya, membagikan buah pemikiran kami kepada audiens internasional.
Kelompok kami datang dengan amunisi riset yang beragam, membuktikan bahwa kajian Bahasa dan Sastra Arab memiliki relevansi yang sangat luas. Saya dan teman-teman memaparkan berbagai topik:
Ada yang mengupas keindahan tak tertandingi Al-Qur’an melalui pisau bedah Stilistika, menunjukkan bagaimana sastra bisa menjadi jembatan menuju pemahaman spiritual.
Lainnya menjelajahi bagaimana bahasa membentuk dan dibentuk oleh masyarakat dalam kajian Sosiolinguistik dan Pragmatik.
Kami juga menyelami kedalaman jiwa manusia yang tersembunyi di balik kata-kata melalui Psikologi Sastra.
Yang paling menarik perhatian adalah presentasi yang menghubungkan keahlian berbahasa Arab dengan dunia modern, seperti topik Bahasa Arab dan Diplomasi, yang membuka mata banyak orang bahwa bahasa ini bukan hanya untuk kajian klasik, tetapi juga alat strategis di panggung global.
Perjalanan itu dimulai bukan saat kami menginjakkan kaki di arena konferensi, melainkan jauh sebelumnya, di ruang-ruang diskusi senyap, di depan layar laptop hingga larut malam, saat gagasan-gagasan kami masih berupa untaian kata di atas kertas. Kami membawanya dengan hati-hati, seperti membawa barang rapuh, penuh harap sekaligus cemas. Kami merasa gagasan itu sudah utuh, sudah selesai.
Namun, kami salah besar.
Momen yang paling kami takuti sesi tanya jawab justru menjadi berkah yang paling berharga. Saat seorang ahli, dengan tatapan tajam namun penuh rasa ingin tahu, melontarkan pertanyaan kritis, rasanya seperti seluruh bangunan gagasan kami diguncang. Sanggahan yang datang bukan untuk meruntuhkan, melainkan untuk menguji fondasinya. Di sanalah keajaiban terjadi.
Gagasan yang semula kaku dan senyap di atas kertas, tiba-tiba “hidup”. Ia dipaksa untuk bergerak, beradaptasi, dan membela dirinya. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah napas yang diembuskan ke dalam konsep kami. Ini adalah proses pendewasaan yang menyakitkan sekaligus mencerahkan.
Kami belajar kerendahan hati yang sesungguhnya, bahwa ilmu adalah tentang dialog, bukan monolog. Kami menyadari bahwa kami datang bukan untuk “mengajari” forum, tapi untuk “belajar” dari forum. Di situlah esensi pembelajaran sejati bersemayam, saat kita berani melepaskan ego dan membiarkan ide kita diuji oleh dunia luar.
Dua hari terasa singkat, seperti mimpi di siang hari. Panitia mungkin memberi kami sertifikat partisipasi, selembar kertas bertinta yang akan kami simpan di map. Namun, apa yang kami bawa pulang jauh melampaui itu. Ia tak bisa dicetak, tak bisa dibingkai, namun bobotnya terasa jelas di dalam dada.
Kami membawa pulang “cakrawala baru”. Ini bukan sekadar istilah klise. Ini adalah perasaan nyata saat memandang masalah yang sama dengan kacamata yang berbeda. Kami bertemu rekan dari negara lain yang menghadapi tantangan serupa dengan solusi yang tak pernah kami pikirkan. Tembok-tembok sempit di kepala kami runtuh satu per satu.
Kami membawa pulang “jaringan pertemanan”. Bukan sekadar bertukar kartu nama, tapi bertukar tawa di sela-sela rehat kopi, berbagi kecemasan sebelum presentasi, dan menemukan “bahasa” yang sama bahasa keingintahuan meski aksen dan asal negara kami berbeda.
Kami menemukan bahwa di belahan dunia lain, ada orang-orang yang sama “gilanya” dengan kami, yang rela menghabiskan waktu berjam-jam membahas satu teori.
Dan yang terpenting, kami membawa pulang “kepercayaan diri”. Ini bukan arogansi. Ini adalah kepercayaan diri yang lahir dari validasi. Kepercayaan diri yang berbisik lembut, “Ternyata, kamu bisa. Ternyata, apa yang kamu pikirkan di sudut kampusmu, didengar dan dihargai di panggung dunia.”
Kami adalah mahasiswa dari UIN Imam Bonjol. Kami adalah mahasiswa Sastra Arab. Sebuah identitas yang mungkin bagi sebagian orang terdengar sangat spesifik, sangat “lokal”, atau bahkan “langka”. Ada keraguan yang sering membayangi apakah suara kami, yang datang dari disiplin ilmu yang begitu spesifik, akan relevan di forum global yang hiruk pikuk?
Konferensi ini adalah jawabannya. Ia mengajarkan kami bahwa ilmu pengetahuan tak punya paspor. Ia menembus batas geografis, bahasa, dan bahkan disiplin. Justru karena kami datang dari Sastra Arab, kami membawa perspektif unik tentang humanitas, sejarah, dan peradaban yang tak dimiliki orang lain. Kami sadar, “spesifik” bukan berarti “terbatas”. “Spesifik” berarti “mendalam”.
Kami membuktikan, bukan kepada orang lain, tetapi kepada diri kami sendiri, bahwa visi almamater kami Unggul, Progresif, dan Berdampak bukanlah slogan kosong. Terjun ke forum ini adalah cara kami mewujudkannya. Kami unggul karena berani bersaing. Kami progresif karena mau membuka pikiran. Dan kami (semoga) akan berdampak dengan membawa pulang percikan api ini.
Saat bus membawa kami pulang, suaranya memang terdengar berbeda. Jika saat berangkat ia diisi simfoni penantian dan kecemasan akan hal yang tak diketahui, kini ia berganti irama. Bukan irama pesta yang riuh, melainkan irama kemenangan yang hening dan khidmat.
Kemenangan atas keraguan diri. Kemenangan atas rasa takut. Inspirasi yang kami bawa bukanlah untuk dipamerkan, melainkan untuk dibagikan. Kami pulang sebagai 12 orang yang berbeda dari saat kami berangkat. Kami bukan lagi sekadar mahasiswa. Kami adalah 12 mahasiswa yang mempunyai sebuah tanggung jawab yang manis sekaligus berat.
Kami sadar bahwa sertifikat dan foto-foto di ICCLE adalah penanda sebuah babak. Tapi perjalanan kami yang sesungguhnya adalah perjalanan membawa wawasan global ini kembali ke ruang kelas, ke komunitas, ke masyarakat. Justru baru saja dimulai. Dan kami siap melangkah kemanapun! []
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Imam Bonjol Padang*)