Review Pidato Ibu Sastri Yunizarti Bakry, Selaku National Coordinator, BRICS Writers Association Indonesia

Oleh : Nurul Jannah*)

Integritas dan Keadilan: Cahaya Indonesia di Panggung BRICS

Ada pidato yang lewat bagai hembusan senja: menghilang tanpa jejak. Tetapi ada pidato yang datang bagai kilat di langit gelap: menyambar kesadaran, membakar semangat, dan meninggalkan jejak abadi.

Pidato Sastri Yunizarti Bakry pada The II BRICS Traditional Values Forum di Brasil, 16 September 2025, yang disampaikan secara online melalui pertemuan virtual, adalah kilat itu: ia bukan hanya suara Indonesia, tetapi gema nurani dunia.

Mengangkat Wajah Indonesia di Panggung Dunia

Sejak awal, Sastri menegaskan kebanggaan dan kerendahan hati. Ia memperkenalkan Indonesia bukan semata sebagai negara besar dengan 17.000 pulau, 1.300 etnis, dan 700 bahasa, tetapi sebagai bangsa yang menjunjung tinggi “Bhinneka Tunggal Ika”: kesatuan yang dirajut dari keberagaman.

Nurul Jannah sedang mereview pidato Ibu Sastri Yunizarti Bakry. (foto; ist)

Dengan ini, ia menempatkan Indonesia bukan sebagai angka statistik, tetapi simbol harapan bahwa perbedaan dapat menjadi kekuatan, bukan ancaman.

Integritas: Fondasi Moral yang Tak Tergantikan

Pidato ini berpusat pada nilai Integritas, dan Sastri mengaitkannya dengan sejarah dan pengalaman pribadinya. Ia berbagi bahwa sebagai pegawai negeri, ia menolak korupsi dan memilih kejujuran.

Ia juga menyebut Pramoedya Ananta Toer, penulis yang membayar mahal demi kebenaran.

Integritas, kata Sastri, bukan hiasan kata: ia adalah cahaya kecil yang membuat bangsa bertahan bahkan di saat gelap. Tanpa integritas, tak ada kepercayaan; tanpa kepercayaan, tak ada kerja sama yang abadi.

Kesejahteraan Ekonomi dan Keadilan Sosial: Dua Sayap Kemajuan

Sastri menegaskan bahwa kemajuan ekonomi tak berarti jika meninggalkan keadilan. Ia mengutip pesan Presiden Prabowo: “Prosperity without justice will only create new divisions.”

Ia mengingatkan bahwa meski Indonesia telah mengangkat 40 juta rakyat dari kemiskinan, pertumbuhan bukanlah kemenangan bila satu jiwa pun tertinggal.

Pembangunan, tegasnya, harus seiring dengan pendidikan, literasi, dan budaya: karena kemakmuran sejati tak bisa dipisahkan dari kemanusiaan.

Budaya dan Sastra sebagai Jembatan Bangsa

Bagian paling menyentuh adalah saat Sastri berbagi tentang International Minangkabau Literacy Festival (IMLF). Dalam beberapa tahun, festival ini tumbuh dari 12 menjadi 24 negara peserta: bukti bahwa sastra dapat melintasi batas politik dan bahasa.

Ia menawarkan gagasan World Poetry for Peace, forum puisi lintas negara di bawah payung BRICS.

Di tangan Sastri, sastra bukan hiburan; ia adalah diplomasi nurani: cara bangsa-bangsa berpegangan tangan di tengah dunia yang mudah terbelah.

BRICS sebagai Mercusuar Moral Dunia

Pidato ini lebih dari sekadar ajakan kolaborasi. Sastri mendorong BRICS agar menjadi mercusuar moral, bukan hanya kekuatan ekonomi.

Ia menantang para delegasi dengan kata-kata yang menghentak.

“Without integrity, no society can build trust, and without trust, no cooperation: national or international: can endure.”

Kata-kata ini menggetarkan hadirin virtual, menegaskan bahwa BRICS harus memimpin dengan teladan, bukan dominasi.

Pantun yang Merangkul dan Menyentuh

Pantun tentang Malaka dan integritas yang ia sampaikan bukan sekadar penutup puitis, tetapi jembatan budaya: pengingat bahwa nilai-nilai luhur dapat dikemas dalam keindahan sederhana.

Pernyataannya tentang sungai sastra yang tak berhenti mengalir mengikat pesan utama: nilai-nilai tradisional adalah arus yang membawa manusia menuju masa depan.

Refleksi Diri

Pidato Sastri Yunizarti Bakry bukan laporan diplomatik biasa: ia adalah panggilan jiwa.

Kata-katanya mengangkat Indonesia sebagai penjaga nilai tradisi, mengingatkan dunia bahwa integritas dan keadilan adalah tiang penyangga peradaban.

Siapa pun yang menyimak pidato ini: meski hanya lewat layar: akan sadar bahwa BRICS bukan semata aliansi ekonomi, tetapi ruang harapan bagi umat manusia untuk hidup lebih bermartabat, bersih, dan bersatu.

Pidato ini meninggalkan gema panjang: gema yang memanggil dunia untuk membangun dengan hati, bukan hanya dengan kekuatan. ❤‍🔥🌹🎀

Bogor, 17 September 2025

*) Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi yang percaya bahwa kata-kata dapat menyalakan perubahan. Lahir di Pati, ia tumbuh dari kesederhanaan yang menempanya menjadi pribadi tangguh dan penuh empati.

*) Dengan pengalaman sebagai akademisi, penulis, dan mentor komunitas menulis, Nurul tak hanya mengajarkan teori, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan cinta bumi. Karyanya; baik ilmiah maupun sastra: mengalir dari hati, menyentuh jiwa, dan mengajak pembaca merenung lebih dalam tentang kehidupan, harapan, dan keberanian untuk terus bermimpi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *