“Ketika Daun Menulis Kepada Langit”

Essay : Nurul Jannah*)

Bisikan Sunyi Bumi dan Cinta yang Terluka

“Di dalam setiap daun yang jatuh, bumi mengirimkan surat cinta terakhirnya: lembut, getir, dan menunggu untuk kau baca.”

Kadang bumi tidak berteriak saat terluka. Ia hanya menunggu, menatap kita, dan menulis pesan-pesan sunyi melalui daun yang jatuh.

Ada waktu-waktu ketika bumi tak menjerit meski disakiti: ia hanya diam, menunggu kita menyadari luka yang kita torehkan. Ia tak mengetuk pintu rumah kita, tak memohon, tak memarahi.

Ia hanya mengirim tanda: sungai yang kehilangan jernihnya, langit yang memudar warnanya, dan daun yang jatuh terlalu cepat dari rantingnya. Jika kita cukup peka, kita akan tahu bahwa setiap hembusan angin dan setiap embun pagi adalah panggilan lembut agar kita berhenti, menatap, dan bertanya pada nurani: masihkah kita layak disebut penjaga bumi?

Pagi merayap pelan di ujung hutan, menyingkap tirai kabut tipis yang bergelayut di pucuk-pucuk pinus. Embun berkilau di setiap ujung rumput, bagai ribuan permata kecil yang dipinjamkan langit.

Burung-burung memecah sunyi dengan kicau lirih, seolah membacakan doa yang tak pernah selesai. Udara basah beraroma tanah yang baru saja bernafas setelah malam panjang, membawa kenangan purba tentang bumi yang pernah hijau dan utuh. Namun di balik keelokan itu, tersembunyi kesedihan samar: getar halus yang menunggu ditemukan: bisikan jiwa bumi yang hampir tak terdengar di tengah riuh dunia.

Di tepi hutan, pohon tua berdiri anggun: batangnya keriput bagai wajah bijak yang menyimpan jutaan cerita. Angin lewat, menyapu lembut dedaunannya, lalu sebuah daun menguning terlepas perlahan: menari dalam cahaya keemasan sebelum jatuh ke tanah.

Saat menyentuh bumi, suara lirih menembus kesunyian.

Sang Daun pun berbisik, suaranya ringan tapi menusuk: “Aku pernah menari dalam hembusan angin, memberi teduh pada lelahmu, memberi napas pada duniamu. Kini aku jatuh bukan karena waktuku habis, tetapi karena kalian tak lagi mendengarkan bisik bumi.”

Batang pohon tua itu berderit, dan dari kedalamannya muncul suara serak, penuh luka namun tetap lembut: “Wahai Manusia… aku berdiri di sini sebelum kotamu lahir, sebelum jembatan baja dan gedung kaca merenggut cakrawala. Aku menyaksikan cinta pertamamu di bawah rindangku, dan aku menyimpan rahasia air mata yang kau usap diam-diam. Tapi kalian memutus saudaraku, menebang keluargaku, dan menutup telinga dari rintih sungai yang sekarat.”

Di jalan setapak tak jauh dari situ, seorang anak kecil berhenti. Sepatunya yang lusuh berdecit di tanah basah.

Ia menatap daun yang jatuh dan merasakan angin berdesir, membawa keluhan yang membuat dadanya mendadak sesak.

Dengan suara hampir bergetar, ia bertanya: “Apakah kalian marah pada kami?”

Sang Pohon menjawab lirih, namun terdengar tajam seperti angin dingin: “Tidak, Nak. Kami tidak marah. Kami… terluka. Kami hanya takut dunia ini akan menjadi reruntuhan sebelum kau sempat merasakan betapa indahnya ia. Kami tidak butuh permintaan maafmu, kami butuh uluran tanganmu: sebelum semua ini tinggal jadi cerita yang kalian bisikkan kepada bintang-bintang.”

Langit mendadak berubah warna. Cahaya keemasan menari di sela ranting, burung-burung kembali berkicau, menyulam harapan. Namun bayangan kota berasap dan sungai keruh masih mengintai, mengguncang kesadaran bahwa waktu bumi kian menipis.

Dan, sang Daun pun menyampaikan suara terakhirnya, hampir tak terdengar, terbawa angin:“Rawatlah kami, agar esok anak-anakmu masih mengenal aroma hujan, warna senja, dan nyanyian angin.”

Angin pun berhenti sejenak. Daun itu pun gugur, diam di tanah, seperti surat tanpa amplop, menunggu manusia membaca isi hatinya.

Di bawah langit yang merona pilu, bumi berbisik lembut: bisikan yang merobek sunyi dan menampar nurani, menghantam hingga ke relung terdalam jiwa. Dalam hembusan itu, ia menitipkan harapan terakhirnya: agar manusia belajar mencintai sebelum segalanya hanyut dan terlambat.

Refleksi Diri

Dan, jika kita berhenti sejenak dari kebisingan ambisi dan perburuan tanpa henti, kita akan mendengar bumi memanggil dengan suara yang nyaris hilang. Bukan dengan amarah, melainkan dengan cinta yang getir: cinta yang tetap memberi udara meski kita menyesakkannya, yang tetap memberi air meski kita mencemarinya.

Jika hari ini kita menutup mata, mungkin esok anak-anak kita hanya akan mengenal hutan, hujan, dan angin sebagai legenda.

Tetapi jika kita mau mendengar bisikan daun yang jatuh pagi ini, kita masih bisa menulis ulang kisah bumi: kisah yang tak berakhir dengan penyesalan, tetapi dengan pelukan hangat antara manusia dan alam yang setia menunggu.❤‍🔥🌹

Bogor, 23 September 2025

Nurul Jannah adalah seorang penulis, dosen, dan aktivis lingkungan yang memandang bumi bukan hanya sebagai tempat tinggal, melainkan sebagai sahabat yang layak dicintai. Baginya, setiap embun, daun, dan hembusan angin adalah bahasa alam yang menyimpan pesan kehidupan.

Melalui tulisan “Ketika Daun Menulis Kepada Langit”, ia mengajak pembaca berhenti sejenak dari riuh dunia untuk mendengar bisikan bumi: bisikan yang lembut namun getir, penuh cinta sekaligus peringatan untuk kembali merawat bumi; sebelum segalanya terlambat.*)

Exit mobile version