Jumat di Bawah Langit Tanah Abang

Menikmati menu restoran Jepang di Grand Indonesia bukan karena tren, tetapi karena kami ingin sesuatu yang bersih, menenangkan, dan menghadirkan keseimbangan. (foto; ist)

Essay : Nurul Jannah*)

Ketika Silaturahmi, Cinta, dan Pekerjaan Menyatu dalam Syukur

Pagi itu, Jumat, 3 Oktober 2025, langit Bogor tampak teduh dan penuh kelembutan: seolah menumpahkan embun doa di setiap langkahku. Aku menapaki peron stasiun dengan hati ringan dan pikiran lapang.

Di dalam kereta menuju Tanah Abang, jendela menjadi cermin perjalanan batin: ia berlari cepat membawa kenangan, menyelipkan rindu, dan menyalakan kembali bara semangat yang sempat redup.

Hari itu bukan perjalanan kerja biasa, melainkan perjalanan hati. Tentang silaturahmi, kebersamaan, dan cinta yang tumbuh dari pertemanan dan pertemuan.

Pertemuan di Milenium Tanah Abang

“Alhamdulillah, akhirnyaaa!” seru Mbak Shinta begitu aku tiba di hotel tempatnya menginap bersama sang ananda, Sheby.

“Akhirnya bertemu lagi… setelah pertemuan terakhir sebulan lalu.”

Tak lama kemudian, sekitar pukul sepuluh lewat, Bu Fetty datang dengan wajah sumringah bercahaya. Kami bertiga berbincang di ruang hotel, ditemani lempok durian dan kombucha segar. Percakapan mengalir indah: tentang tulisan, rencana buku, dan lembar-lembar kehidupan yang seolah masih disunting oleh waktu.

Tidak ada jarak, tidak ada lelah, hanya bahagia dan rasa syukur yang menetes pelan di antara kalimat-kalimat kami.

“Masih bawa kerjaan, ya?” goda Mbak Shinta melihatku menurunkan ransel laptop.

Aku tertawa kecil. “Iya, begitulah. Rezeki dan tanggung jawab tak selalu menunggu waktu; kadang datang bersama silaturahmi.”

Dan rasa bahagia kami pun mengalir, jernih seperti doa yang baru lahir.

Menuju Grand Indonesia: Misi Sehat dan Bahagia

Setelah berbagi cerita dan bahagia, kami sepakat melanjutkan obrolan di tempat lain; menyambung kisah sembari mengisi energi. Kami pun melangkah menuju Grand Indonesia. Restoran Jepang menjadi pilihan, bukan karena tren, tetapi karena kami ingin sesuatu yang bersih, menenangkan, dan menghadirkan keseimbangan.

Kami mulai memahami bahwa hidup sehat adalah cara paling tulus mensyukuri napas yang Tuhan anugerahkan.

Menjelang jam sebelas, pasukan bertambah, Bu Munasri hadir dengan senyum khasnya.

Meja bundar di pojok restoran menjadi saksi kecil kebersamaan kami. Sederhana, namun sarat makna.

Piring demi piring hadir silih berganti: salmon sashimi yang lembut, sup miso yang harum, sushi yang menggoda, hingga es krim lembut yang menutup dengan manis.

“Coba deh salmon sashiminya, lembut banget,” ujar Mbak Shinta sambil menatap piringnya dengan mata berbinar.

Bu Fetty tertawa, “Si cantik Sheby suka Japanese food juga, ya?”

Sheby tersipu, “Iya Tante, ini makanan favoritku!”

Bahagia mengalir tanpa alasan lagi. Begitu hangat, dan menenteramkan. Di sela gurauan, terselip doa-doa kecil tentang kesehatan, persahabatan, dan kebahagiaan.

Hari itu aku belajar: bahagia tak harus megah. Kadang ia hadir sesederhana duduk bersama orang-orang yang membuat hatimu terasa lapang.

Kembali ke Hotel: Saat Waktu Menjadi Sahabat

Selepas menikmati sajian menu Japanese food, kami kembali ke hotel. Waktu seolah melambat dengan penuh kasih, berputar lembut di antara cerita dan agenda berbagi yang enggan usai.

Sekitar pukul dua siang, Mbak Shinta berpamitan. Ia harus segera menuju bandara. Palembang telah menunggunya. Kami melepasnya dengan pelukan panjang dan doa.

“Selamat jalan. Sampai jumpa di tulisan dan kenangan,” ucapku pelan sambil menepuk pundaknya.

Ia merespon dengan lembut, “Lanjutkan ya, teruslah menulis dengan hati.”

Kata-kata itu mengendap dalam diri ini, meninggalkan jejak makna yang dalam.

Zoom dan Zikir di Tengah Suara Hati

Aku masih bertahan di hotel. Masih ada dua agenda Zoom menunggu, antara tanggung jawab dan panggilan nurani. Namun kali ini, pekerjaan terasa lebih ringan, seolah setiap tugas telah menjelma doa yang menari di layar.

Bu Fetty dan Bu Munasri masih menemani hingga menjelang pukul empat sore.

“Alhamdulillah, senang ya, bisa kerja di mana pun,” canda Bu Fetty.

“Bisa bersilaturahmi sambil bekerja itu sesuatu banget. Lalu, nikmat mana lagi yang bisa kita dustakan?”

Tawa kami kembali pecah, menciptakan simfoni persahabatan yang enggan berhenti.

Selepas salat Asar, keduanya berpamitan.

“Hari ini sungguh berkah,” ucap Bu Munasri lembut.

“Iya, Bu. Alhamdulillah. Jumat ini bukan hanya tentang kerja, tapi juga ziarah hati.”

Bahagia yang Tak Bisa Disembunyikan

Menjelang sore, aku melangkah meninggalkan hotel menuju Bogor. Di tangan, bukan hanya lempok durian dan kopi Bintang, tetapi juga sebotol kombucha dari Mbak Dini, pengusaha NJD yang selalu menebar energi positif. Namun di hati, yang kubawa jauh lebih berharga: kehangatan, dan kebahagiaan serta rasa syukur yang membuncah.

Di dalam kereta, pantulan wajahku di jendela memperlihatkan lelah yang indah; lelah yang lahir dari rasa bahagia. Hari itu, di antara piring sushi dan es krim lembut, aku memahami: kebahagiaan sejati tidak perlu dirayakan dengan megah. Cukup duduk bersama mereka yang membuatmu lupa pada waktu.

Ketika Cinta Menjadi Cahaya

Di balik setiap pertemuan hari itu, aku tahu: Tuhan sedang mengajarkanku makna pulang ke hati yang damai. Karena sejatinya, silaturahmi bukan hanya menyambung hubungan antar manusia, melainkan menyambung kehidupan dengan langit.

Dan aku berjanji: selama langkah masih diizinkan Allah, aku akan terus menulis, bekerja, dan mencintai, dengan cara paling sederhana: penuh syukur dan penuh cahaya.

Menulis bagiku bukan lagi pekerjaan tangan, melainkan zikir hati yang menyalakan cinta. Setiap huruf adalah doa, dan setiap kisah adalah jalan pulang menuju Tuhan.❤‍🔥🌹🎀.

Bogor, 13 Oktober 2025

Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *