“Di Hadapan yang tak Terlihat”

Puisi : Nurul Jannah*)

Ketika segala daya luluh di kaki waktu,
dan akal tersesat di ujung jalan sunyi,
aku tersungkur dalam sujud panjang,
menggigil di antara harap yang menetes dan takut yang menelanjangi jiwa,
menyadari bahwa segala yang kugenggam hanyalah debu, yang Kau hembus pergi kapan pun Kau mau.

Langit di atas terasa mendekat dan berlutut,
seakan mendengarkan bisu hatiku.
Aku tak lagi berdoa dengan kata,
karena lidahku kaku oleh penyesalan yang menua.
Hanya air mata yang berbicara,
menyampaikan rahasia terdalam;
bahwa aku rindu…
bahwa aku ingin selalu dekat pada-Mu.

Ya Rabb…
Betapa kecilnya aku di hadapan-Mu,
sementara aku sering berdiri pongah,
mengira bisa menulis takdir dengan tanganku sendiri.
Padahal setiap hela napas adalah tinta takdir-Mu
yang mengalir tanpa perlu aku pahami.

Aku pernah marah pada hidup,
pada luka yang tak kunjung sembuh,
pada kehilangan yang terasa
tak adil.
Namun kini aku mengerti,
setiap luka adalah jendela
yang Kau buka agar cahaya-Mu masuk dan menenangkan gelapku.

Engkau, yang mengetahui rahasia setiap tetes air mata,
menyaksikan betapa sering aku berpura-pura kuat,
padahal di dadaku badai tak juga reda.
Namun justru dalam runtuhku,
aku menemukan Engkau;
bukan di puncak kemenangan,
melainkan di dasar keikhlasan.

Aku pernah memohon agar dunia berhenti menyakitiku,
tapi kini aku lebih senang berdoa:

“Ya Robb, kuatkan aku untuk tetap tersenyum
meski Kau titipkan ujian yang tak kupahami.”

Sebab kini aku tahu,
setiap perih adalah surat cinta-Mu
yang tak semua hamba mampu membacanya.

Ketika aku menyerah,
bukan karena kalah,
melainkan karena sadar,
tak ada lagi yang bisa kurengkuh selain Engkau.

Dan,
di situlah aku tenang, karena tak ada yang bisa hilang selain yang memang bukan milikku.

Aku bukan siapa-siapa, ya Rabb,
hanya sebutir debu di samudra kuasa-Mu.
Namun Engkau tetap memanggilku lembut,
menyapaku di tengah sepi,
membiarkanku menangis hingga kering,
lalu Kau hembuskan damai ke relung terdalamku.

Kini aku tahu,
kepasrahan adalah keberanian tertinggi,
dan keikhlasan adalah cinta yang tak lagi menuntut.
Aku belajar mencintai takdir
bukan karena tak ada pilihan,
melainkan karena
di sanalah Kau menunggu.

Ya Robb…
Jika Kau menahanku di jalan derita,
aku tahu Kau sedang menuntunku pulang.
Jika Kau merenggut yang kucinta,
aku tahu Kau ingin mengosongkan tanganku
agar hanya Engkau yang kupeluk erat.

Bimbing aku, ya Rabb,
untuk mencintai-Mu tanpa syarat,
menangis tanpa keluh,
menyerah tanpa takut.
Ajari aku untuk tetap sujud
meski bumi di bawahku berguncang,
dan tetap tersenyum
meski langit di atasku retak.

Sebab hanya dengan begitu
aku bisa pulang ke rumah cahaya-Mu,
tanpa nama, tanpa beban,
hanya seorang hamba
yang akhirnya ikhlas
menjadi milik-Mu sepenuhnya🌹❤‍🔥🎀.

Banjarbaru, 10 Oktober 2025

Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *