Oleh : Maifil Eka Putra, S.Ag*)
Fenomena pendidikan di Indonesia kembali menjadi sorotan. Baru-baru ini, publik digemparkan oleh peristiwa seorang siswa yang ditampar kepala sekolah karena kedapatan merokok di lingkungan sekolah.
Kejadian ini menimbulkan beragam reaksi: ada yang memuji ketegasan sang kepala sekolah, namun tak sedikit pula yang mengecam tindakan kekerasan terhadap anak didik.
Peristiwa ini sejatinya menjadi cermin, sejauh mana pendidikan agama dan karakter telah benar-benar hidup di sekolah-sekolah kita. Pendidikan di sekolah bukan sekadar mengajarkan matematika atau bahasa, melainkan juga membentuk jiwa dan perilaku.
Di sinilah pendidikan agama dan karakter seharusnya menjadi ruh yang menghidupkan seluruh kegiatan belajar. Sayangnya, pelajaran agama sering kali hanya berhenti di ruang kelas — berupa hafalan ayat, hukum fikih, atau sejarah nabi — tanpa benar-benar menanamkan nilai-nilai kasih sayang, kesabaran, dan empati yang diajarkan Rasulullah ?.
Rasulullah bukan hanya guru dalam arti penyampai ilmu, tapi pendidik hati dan pembentuk karakter. Beliau pernah bersabda:
“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)
Inilah inti dakwah pendidikan: membentuk manusia berakhlak, bukan hanya pintar. Maka ketika seorang guru atau kepala sekolah mendidik, ia sejatinya sedang menjalankan misi kenabian — mengantarkan anak-anak menuju kebaikan, bukan dengan kekerasan, tapi dengan keteladanan dan kasih sayang.
Krisis Keteladanan
Ketika seorang siswa merokok, sesungguhnya itu tanda adanya kekosongan bimbingan dan perhatian. Anak bukan semata pelaku kesalahan, tetapi juga korban dari lingkungan, budaya permisif, dan kurangnya figur yang membimbing dengan sabar.
Rasulullah SAW mengajarkan kita bagaimana bersikap terhadap kesalahan. Saat seorang pemuda datang meminta izin berzina, para sahabat marah, namun Nabi tidak memukul atau menghardiknya. Beliau malah mendekati, berdialog, dan menyentuh hati pemuda itu dengan kelembutan logika dan kasih.
Akhirnya pemuda itu menyesal dan berubah.
Inilah pendidikan sejati — bukan tangan yang menampar, tapi hati yang menyentuh.
Guru dan kepala sekolah adalah da’i (pendakwah) di ruang pendidikan. Setiap tindakan dan tutur katanya adalah dakwah yang dilihat dan ditiru murid-muridnya.
Maka, ketika ada kenakalan di sekolah, penyelesaiannya bukan dengan amarah, melainkan dengan hikmah dan kasih sayang sebagaimana firman Allah:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik…”(QS. An-Nahl: 125)
Sekolah seharusnya menjadi taman tempat anak-anak belajar bukan hanya ilmu, tetapi juga akhlak. Pendidikan agama dan karakter tak bisa hanya berupa mata pelajaran — ia harus menjadi budaya yang hidup: guru yang jujur, kepala sekolah yang sabar, dan suasana belajar yang menanamkan nilai-nilai Islam dalam keseharian.
Saatnya Kembali ke Spirit Rasulullah
Kasus anak merokok dan tamparan kepala sekolah hendaknya tidak hanya menjadi bahan perdebatan hukum, tetapi momentum refleksi: apakah sistem pendidikan kita sudah meneladani Rasulullah dalam mendidik dengan hati?
Rasulullah SAW tak pernah mendidik dengan tangan yang keras, melainkan dengan hati yang lembut. Beliau pernah bersabda:
“Barang siapa tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Maka, mari jadikan setiap ruang kelas sebagai medan dakwah, setiap guru sebagai teladan akhlak, dan setiap anak sebagai amanah Allah yang harus dibimbing — bukan ditakuti. Sebab pendidikan sejati bukan mencetak murid yang takut pada guru, tapi murid yang takut berbuat dosa. []
Penulis adalah Pegiat dan Pecinta Dakwah*)