Oleh : Olivia Marlius Ananta*)
Sebagai Bus Rapid Transit (BRT) pertama di Sumatera Barat, Trans Padang awalnya hadir membawa harapan besar. Masyarakat membayangkan sebuah transportasi yang aman, tertib, nyaman, sekaligus murah.
Sayangnya, dari hari ke hari, layanan ini justru menunjukkan wajah lain. Banyak penumpang mengeluhkan gaya mengemudi sopir yang ugal-ugalan: menikung tajam, menyalip kendaraan lain, melaju seolah di arena balap, hingga sering kali membahayakan pengendara lain. Padahal, jalan raya adalah ruang publik yang menuntut kehati-hatian dan etika berkendara.
Perilaku sopir yang terburu-buru jelas membahayakan penumpang. Mereka yang terpaksa berdiri (kala kursi penuh) sering kali oleng dan nyaris terjatuh ketika bus menikung. Sementara itu, penumpang yang duduk pun tak jarang terombang-ambing, merasakan hentakan mendadak akibat rem yang diinjak secara kasar.
Bukannya merasa aman, masyarakat justru dihantui rasa waswas. Pertanyaan besar pun muncul, bagaimana mungkin transportasi publik yang semestinya menjamin keselamatan, justru menjadi sumber ketakutan baru bagi penumpang?
Saya pernah mengalami pengalaman buruk menaiki Trans Padang, saat menuju kampus. Saat itu, entah mengapa sang supir mengendarai Trans Padang itu dengan terburu buru, hingga hampir menabrak seorang pengendara motor.
Mirisnya, bukannya meminta maaf, melainkan ia yang memaki pengendara tersebut. Kami yang berada di dalam Trans Padang itu tentunya menjadi risih akibat perbuatan sang supir yang terlihat sangat arogan.
Saya juga ingat bahwa ada salah satu akun kreator tiktok yang mengungkap keluh kesahnya tentang perilaku Trans Padang yang membahayakan penumpang maupun pengendara lain, dikomentar pun banyak masyarakat yang merasa sama dengan sang kreator, salah satu komentar menjelaskan keluh kesahnya “sekarang Trans Padang ugal-ugalan, saya rasanya seperti sedang menaiki angkot,” ujarnya.
Fenomena supir yang ugal-ugalan menunjukkan lemahnya pengawasan dari pengelola. Supir seolah dibiarkan menjalankan bus tanpa kontrol yang ketat. Padahal, keselamatan puluhan penumpang ada di tangan mereka.
Pertanyaannya, apakah para supir mendapat pelatihan etika berkendara? Atau justru mereka lebih dibebani target setoran dan waktu sehingga keselamatan penumpang terabaikan? Pertanyaan semacam ini penting dijawab, sebab tanpa evaluasi menyeluruh, masalah yang sama akan terus berulang.
Meskipun di setiap dinding badan bus Trans Padang terpampang nomor pengaduan, yang mana berguna untuk menyampaikan keluh kesah masyarakat yang merasa tidak nyaman ketika menaiki trans Padang tersebut, nyatanya nomor yang tertera tidak terdeteksi/tidak ada, nomor tersebut hanyalah suatu formalitas yang tidak ada gunanya. Apa gunanya nomor tersebut jika tak berfungsi?
Masalah lain yang tak kalah penting adalah kerusakan pendingin udara (AC). Padahal, AC merupakan salah satu fasilitas utama yang sejak awal membedakan Trans Padang dari angkutan kota biasa. Kini, tak sedikit unit bus yang AC-nya sudah tidak berfungsi optimal.
Salah satunya Trans Padang koridor satu nomor 13 dimana AC nya sudah tidak berfungsi. Hembusan udara dingin digantikan hawa panas dan pengap. Tak jarang pula muncul bau tidak sedap akibat sirkulasi udara yang buruk. Dalam iklim tropis seperti Padang yang panas dan lembap, perjalanan dengan AC rusak tentu jauh dari kata nyaman.
Akibatnya, penumpang merasa kecewa. Mereka yang semula berpindah dari kendaraan pribadi ke Trans Padang demi kenyamanan dan keamanan, kini mulai berpikir ulang. Jika transportasi publik gagal menawarkan rasa aman dan nyaman, apa lagi yang bisa menjadi alasan bagi masyarakat untuk bertahan?
Situasi ini sangat disayangkan, sebab hilangnya kepercayaan publik akan membuat misi utama BRT mengurangi kemacetan dan polusi menjadi sulit tercapai.
Di satu sisi, kehadiran Trans Padang sebenarnya vital. Kota-kota modern selalu bertumpu pada transportasi publik yang handal. Semakin banyak warga yang menggunakan angkutan umum, semakin ringan beban jalan raya.
Kemacetan berkurang, polusi bisa ditekan, dan kualitas hidup meningkat. Namun, hal ini hanya mungkin terwujud jika layanan yang diberikan benar-benar memenuhi standar keselamatan dan kenyamanan.
Pemerintah Kota Padang bersama pengelola Trans Padang perlu membangun sistem pemeliharaan rutin dan respons cepat terhadap kerusakan. Penumpang yang membayar tiket, sekecil apa pun harganya, berhak mendapatkan fasilitas yang layak. Sudah saatnya pemerintah kota melihat transportasi publik sebagai investasi jangka panjang, bukan sekadar proyek seremonial.
Pelatihan ulang supir, pengawasan ketat di lapangan, perawatan armada yang disiplin, serta penyediaan saluran aduan masyarakat yang efektif adalah langkah nyata yang bisa dilakukan. Tanpa itu semua, Trans Padang akan semakin kehilangan wibawa di mata masyarakat.
Lucunya, Trans Padang masih bangga disebut ikon dan kebanggaan kota Padang, padahal yang tersisa kini hanyalah bus dengan AC mati, sopir yang menguji nyali, dan nomor pengaduan yang tidak berguna. Kalau begini caranya, mungkin satu-satunya “perbaikan” yang tersisa hanyalah spanduk bertuliskan: Selamat Menikmati Ketidaknyamanan Anda. []
Mahasiswi Semester 5, Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Padang*)
