Gema Adzan Menembus Kaca dan Kabut

Oleh : Nurul Jannah*)

Gema adzan pecah dari menara masjid di jantung metropolitan,
memantul di kaca pencakar langit,
lalu melesat ke bukit-bukit desa,
menggetarkan kabut pagi dan membangunkan ruh-ruh yang hampir letih memanggul takdirnya.

Di kota, doa dipanjatkan di antara sirine ambulans
dan notifikasi ponsel.
Di desa, doa dipahatkan di tikar pandan,
ditemani aroma tanah basah.
Keduanya naik, menerobos langit, dan menyatukan Indonesia
di bawah satu seruan suci: “Allahu Akbar!”.
Seruan yang mengumpulkan keberanian dari hati yang ingin menyerah.

Ketika suara gema adzan berbaur dengan deru kereta api,
aku merasakan denyut Indonesia yang tidak pernah padam,
denyut yang ditempa dari luka sejarah, air mata ibu-ibu di perantauan,
dan tekad para ayah yang tak pulang-pulang demi kehidupan.

Ia menyeberangi jalan tol dan jembatan gantung,
membawa pesan: tak ada gedung terlalu tinggi,
tak ada bukit terlalu jauh,
untuk suaramu, ya Rabb, menundukkan angkuh dunia dan menegakkan kembali jiwa-jiwa yang hampir runtuh.

Di situlah aku melihat Indonesia,
sebuah bangsa yang terjaga oleh gema adzan.
Di pasar, di sawah, di pelabuhan hingga di terminal bus..
Sebuah bangsa yang tak pernah benar-benar kalah,
karena yang menjaga mereka adalah langit itu sendiri.

Ia mengikat kota dan desa dalam satu tarikan napas. Mengingatkan bahwa di balik beton dan kabut, doa masih mengakar.

Di bawah langit yang sama, kita bersujud, satu bangsa, satu jiwa,
menggenggam harapan, agar Nusantara tak pernah kehilangan cahaya.

Dan di gema suci itu, Indonesia tetap berdiri tegak.
Sebab selama adzan masih berkumandang,
selama sujud masih menundukkan angin,
tidak ada kekuatan di bumi yang mampu mematahkan bangsa yang dijaga oleh doa.❤‍🔥🌹

Bogor, 14 Desember 2025

Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)

Exit mobile version