“Ibu yang Tidak Pernah Pamit”

Oleh : Nurul Jannah*)

Ibu tidak pernah benar-benar pergi.
Ia hanya berpindah alamat,
dari rumah kecil yang dulu penuh suara,
ke langit tinggi
yang sunyinya tak pernah mampu dijangkau oleh panggilan anak-anaknya.

Sejak hari itu,
aku belajar bahwa kehilangan, bukan tentang ketiadaan semata,
melainkan tentang kehadiran
yang mendadak
tak lagi bisa disentuh, dipeluk,
atau dipanggil pulang.

Ibu tidak pamit.
Ia tidak sempat menyiapkan kata perpisahan.
Tidak sempat berkata,
“Jaga dirimu,”
“Jangan lupa makan,”
atau
“Jangan terlalu keras
pada hidup yang kadang tak adil.”

Ia pergi seperti napas terakhir,
yang ditarik pelan tanpa suara,
meninggalkan ruang kosong
yang tak pernah benar-benar bisa diisi,
bahkan oleh waktu.

Sejak itu,
setiap lelah yang kupikul terasa berlipat,
karena tak ada lagi bahu
tempat aku boleh runtuh sepenuhnya,
tanpa perlu menjelaskan apa pun.

Aku rindu caramu diam.
Diam yang bekerja tanpa pamer.
Diam yang menjaga tanpa menuntut dipahami.
Diam yang menguatkan tanpa perlu banyak kata.

Engkau perempuan yang tak pernah mengeluh,
meski hidup sering menggenggam keras.
Tak pernah menyalahkan keadaan,
meski dunia berkali-kali tidak ramah.
Engkau menua sambil memberi,
lelah sambil tetap tersenyum,
dan pergi tanpa pernah meminta apa pun kembali.

Kini aku mengerti,
bahwa kekuatan sejati tidak selalu bersuara lantang.
Kadang ia hadir
dalam doa yang disimpan rapat,
dalam air mata yang jatuh sendirian,
dalam sabar panjang yang tidak dipamerkan ke siapa pun.

Ketika aku ingin menyerah pada dunia,
ketika langkah terasa terlalu berat untuk diteruskan,
pada hari-hari rapuh itu, namamu muncul pelan di dadaku,
seperti cahaya kecil
yang menolak padam,
meski dikepung gelap dari segala arah.

“Kalau Ibu bisa bertahan,” bisikku pada diri sendiri, “aku pun harus bisa.”

Maka aku berjalan lagi.
Dengan luka yang kutata rapi.
Dengan tangis yang kupeluk sendiri.
Dengan iman yang kadang tertatih,
namun tidak pernah benar-benar pergi.

Ibu,
jika surga adalah tempat
bagi mereka yang mencintai tanpa syarat,
maka aku tahu
engkau tidak sekadar tinggal di sana, engkau adalah bagiannya.

Dan aku, di sini,
anakmu yang terus bertumbuh dalam rindu,
selalu merasa bangga terlahir dari rahimmu.
Perempuan yang masih belajar kuat,
dari seorang ibu tangguh,
yang tidak pernah mengeluh,
yang setiap detik hidupnya hanya diisi dengan syukur yang diam-diam melimpah.

Doaku selalu menyusul namamu.
Rinduku selalu pulang kepadamu.
Dan cintaku, tak pernah berpamitan.

Alfatihah ❤‍🔥🌹🎀

Bogor, 16 Desember 2025

Exit mobile version