Gerakan Ayah Menjemput Rapor Perlu Sensitivitas Sosial

Oleh : William Nursal Devarco (Pax Alle)*)

Gerakan Ayah Mengambil Rapor Anak ke Sekolah pada dasarnya lahir dari niat baik pemerintah. Upaya ini patut diapresiasi sebagai langkah strategis untuk meningkatkan keterlibatan ayah dalam pendidikan anak, memperkuat ketahanan keluarga, serta menegaskan bahwa tanggung jawab pendidikan bukan hanya berada di pundak ibu semata.

Dalam banyak keluarga, kehadiran ayah di ruang-ruang pendidikan memang memiliki dampak psikologis positif: meningkatkan kepercayaan diri anak, mempererat ikatan emosional, dan membangun komunikasi yang lebih sehat antara orang tua dan sekolah.

Dari sudut pandang kebijakan publik, gerakan ini juga selaras dengan semangat penguatan peran keluarga sebagai fondasi pembangunan sumber daya manusia.

Namun demikian, kebijakan publik tidak cukup hanya berangkat dari niat baik. Ia harus diuji dengan kepekaan sosial dan empati terhadap realitas masyarakat yang majemuk.

Fakta sosial menunjukkan bahwa tidak semua anak hidup dalam struktur keluarga yang utuh. Ada anak yatim, piatu, anak dari orang tua tunggal, anak yang diasuh kakek-nenek, wali, atau keluarga pengganti. Bahkan ada pula anak yang secara fisik memiliki ayah, tetapi secara sosial dan emosional tidak mendapatkan peran ayah dalam kehidupannya.

Dalam konteks ini, penekanan simbolik pada kehadiran “ayah” berpotensi menghadirkan luka psikologis yang tidak kasat mata. Anak-anak yang tidak memiliki sosok ayah bisa merasa berbeda, tersisih, atau dipaksa mengingat kehilangan yang sejatinya tidak perlu dihadirkan di ruang sekolah—ruang yang seharusnya aman, inklusif, dan membahagiakan bagi setiap anak.

Pertanyaannya kemudian, apakah kebijakan ini telah melewati uji kepekaan rasa emosional anak?

Sekolah bukan sekadar tempat evaluasi akademik, tetapi juga ruang pembentukan karakter dan kesehatan mental. Setiap kebijakan yang menyentuh dunia anak seharusnya berpijak pada prinsip the best interest of the child—kepentingan terbaik bagi anak—bukan sekadar pada simbol peran sosial tertentu.

Oleh karena itu, gerakan ini perlu dikaji ulang, bukan untuk ditolak, melainkan untuk disempurnakan. Pendekatan yang lebih inklusif dapat dilakukan dengan memperluas makna “pendamping” dalam pengambilan rapor: ayah, ibu, wali, kakek, nenek, atau figur pengasuh yang berperan signifikan dalam kehidupan anak.

Dengan cara ini, pesan keterlibatan orang tua tetap tersampaikan tanpa menciptakan beban emosional baru bagi anak-anak dengan latar belakang keluarga yang berbeda.

Kebijakan pendidikan yang baik bukan hanya yang tampak indah di poster dan media sosial, tetapi yang mampu menjangkau realitas sosial secara utuh. Negara hadir bukan untuk menyeragamkan pengalaman hidup anak, melainkan untuk melindungi keberagaman kondisi mereka dengan adil dan manusiawi.

Niat baik pemerintah patut diapresiasi. Namun kepekaan sosial adalah kebijaksanaan yang tak boleh ditinggalkan. Karena dalam dunia anak, satu kebijakan yang kurang sensitif bisa meninggalkan luka yang jauh lebih panjang daripada yang kita bayangkan. []

Founder Jaringan Publik Indonesia (JPI)*)

Exit mobile version