Badai Pasti Berlalu

Oleh: Ihsan, S.Pd.I, M.Pd *)

Ketika langit Minangkabau kembali dibalut mendung dan kabar musibah datang bertubi-tubi, hati kita seakan diuji keteguhannya. Dari galodo yang menyambar, banjir yang meluap tiba-tiba, angin kencang yang menerjang atap rumah, hingga tanah yang longsor membawa duka, semua terasa begitu dekat, begitu menghujam perasaan. Namun di balik gelap itu, ada petuah lama yang tak pernah pudar: “Badai pasti berlalu.”

Ungkapan ini bukan sekadar rangkaian kata penghibur. Ia adalah cahaya kecil yang selalu memancar dari warisan sastra dan kebijaksanaan Buya Hamka, ulama besar Minangkabau yang kata-katanya menjadi oase peneduh bagi umat sepanjang zaman.

Dalam salah satu nasihatnya, Buya Hamka pernah menuliskan bahwa musibah tidak selalu hadir sebagai hukuman, tetapi lebih sebagai cara Allah mengingatkan manusia untuk pulang, melihat kembali ke dalam diri, dan membersihan hati dari kesombongan.

Beliau berkata, “Kadang Allah menurunkan hujan deras agar manusia kembali mencari payung rahmat-Nya.”
Petuah ini terasa begitu dalam ketika kita melihat kondisi hari-hari terakhir di ranah Minang.

Musibah yang datang silih berganti bukanlah tanda Allah membenci, melainkan bukti bahwa Dia masih memperhatikan kita. Dia ingin kita tersadar, bersujud, dan kembali menghidupkan dzikir dalam langkah-langkah yang mungkin mulai menjauh.

Sejak dahulu, masyarakat Minangkabau terkenal sebagai kaum yang teguh menghadapi gelombang kehidupan. Di rumah gadang yang terletak di kaki bukit, di sawah yang terbentang di lembah, di nagari-nagari yang penuh adat dan nilai, telah tertanam filosofi lama:

“Sakik-sakik hilang, tabang-tabang tumbuah, dantang-dantang bakawan.”
Sakit itu sembuh.
Yang patah tumbuh.
Yang retak tersambung kembali.

Beginilah jiwa urang Minang ditempa. Musibah mampu merobohkan bangunan, tetapi tidak mampu meruntuhkan harapan. Air bah dapat menghanyutkan tanah, tetapi tidak akan pernah menggoyahkan iman.

Buya Hamka mengajarkan bahwa keteguhan iman terlihat bukan ketika hari cerah, melainkan saat hujan menghantam tanpa henti.

Beliau pernah menulis,
“Hidup ini adalah perjalanan dari satu ujian ke ujian lainnya. Yang menang bukan yang paling kuat, tapi yang paling banyak bergantung kepada Allah.”

Maka ketika air mata jatuh karena kehilangan, ketika hati runtuh melihat rumah hanyut di bawa arus, atau ketika keluarga terpencar saat banjir melanda—di balik semua itu ada pelukan Allah yang tak terlihat, memanggil kita untuk semakin dekat.

Kadang dalam kesibukan dunia, kita lupa menengok hati. Kita terlena dengan rutinitas, sibuk mengejar dunia, hingga maksiat dianggap biasa, dan dosa menjadi sekadar kebiasaan.

Musibah hadir sebagai pengetuk pintu kesadaran.

Ia berkata dalam bahasa yang lembut:
“Kembalilah. Perbaikilah. Jangan tunggu lebih terlambat.”

Dalam gelap itu, Allah memberi kesempatan kedua.
Dalam hujan itu, Ia menurunkan rahmat.
Dalam badai itu, Ia menanamkan kekuatan baru.

Buya Hamka menegaskan bahwa “iman yang sejati adalah ketika seseorang menyerahkan seluruh hidupnya kepada Allah, meskipun ia tidak memahami apa maksud dari setiap peristiwa.”

Musibah mengajarkan kita untuk kembali menaruh harapan hanya kepada-Nya. Sehebat apa pun manusia merencanakan, sehebat apa pun teknologi dikembangkan, tetap saja tak ada yang sanggup menahan hujan jika Allah telah memerintahkannya turun.

Maka di tengah musibah, mari kembali memperbanyak istighfar, menghidupkan sholat malam, menekankan kesabaran, serta menguatkan ukhuwah antar sesama.

Hari ini memang berat. Air mata mengalir, tanah retak, dan banyak yang kehilangan tempat tinggal. Tetapi percayalah, sebagaimana petuah Buya Hamka:

“Tidak ada malam yang abadi.
Tidak ada hujan yang tidak reda.
Tidak ada duka yang tidak diganti Allah dengan bahagia.”

Badai yang datang akan pergi.
Kesedihan hari ini akan menjadi cerita kekuatan di masa depan.
Dan ranah Minang akan kembali tegak, seperti biasa, dengan semangat gotong royong dan keimanan yang tak tergoyahkan.

Sebagai pendakwah dan juga Pendidik agama, dan bagian dari kemenag Kota Padang, dan sebagai sesama anak bangsa, saya mengajak kita semua untuk memperkuat hati.

Mari meneladani kata-kata Buya Hamka:
“Jika hidup adalah perjuangan, maka berjuanglah.
Jika hidup adalah ujian, maka sabarlah.
Dan jika hidup adalah amanah, maka jagalah dengan sebaik-baiknya.”

Karena badai pasti berlalu, dan ketika ia berlalu, semoga kita muncul sebagai hamba-hamba Allah yang lebih bersih jiwanya, lebih kokoh imannya, dan lebih lembut hatinya dalam melihat saudara-saudara kita yang tengah diuji.

Semoga Allah menguatkan Minangkabau.
Semoga Allah meneguhkan hati kita.
Semoga rahmat-Nya turun lebih deras daripada hujan yang membasahi bumi.

Aamiin ya Rabbal ‘aalamiin.*

Penulis adalah mahasiswa S3/ Doktoral Universitas Muhammadiiyah Sumatera Barat (UMSB )*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *