Oleh: Zahra Azizah Sikma*)
Banjir yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera Barat bukan sekadar peristiwa alam, melainkan juga krisis sosial dan ekonomi yang berdampak panjang bagi masyarakat. Ketika air surut dan perhatian publik mulai beralih, warga justru menghadapi fase paling sulit: memulihkan kehidupan dari keterbatasan yang nyata.
Dari sinilah pentingnya melihat bencana tidak hanya dari angka kerugian, tetapi dari pengalaman masyarakat lokal yang mengalaminya secara langsung.
Pendidikan, Kesehatan, dan Luka Psikologis yang Tertinggal
Dampak sosial pascabanjir paling cepat dirasakan pada sektor pendidikan. Banyak sekolah terpaksa menghentikan aktivitas belajar mengajar akibat kerusakan bangunan atau akses jalan yang terputus.
Anak-anak kehilangan waktu belajar sekaligus mengalami tekanan psikologis akibat perubahan rutinitas dan kondisi darurat yang berkepanjangan.
Layanan kesehatan juga menghadapi tantangan serius. Fasilitas kesehatan yang terdampak banjir serta keterbatasan transportasi menyulitkan masyarakat untuk memperoleh pelayanan medis, terutama bagi kelompok rentan seperti lansia, ibu hamil, dan anak-anak.
Selain risiko penyakit pascabanjir, masyarakat juga menghadapi beban psikologis berupa kecemasan, trauma, dan ketidakpastian masa depan—aspek yang sering luput dari perhatian kebijakan.
Namun, di tengah keterbatasan tersebut, masyarakat Sumatera Barat menunjukkan ketahanan sosial yang kuat. Nilai gotong royong di tingkat nagari menjadi modal sosial penting.
Warga saling membantu membersihkan rumah, berbagi bahan pangan, dan memberikan dukungan moral. Solidaritas ini tidak hanya mempercepat pemulihan, tetapi juga menjaga kohesi sosial pascabencana.
Tekanan Ekonomi dan Kehilangan Mata Pencaharian
Dari sisi ekonomi, dampak banjir terasa lebih berat dan berlangsung lebih lama. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat memperkirakan kerugian akibat satu peristiwa banjir dan longsor besar mencapai sekitar Rp1 triliun. Kerugian ini mencakup sektor pertanian, perdagangan, hingga usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Petani mengalami gagal panen akibat rusaknya lahan dan sistem irigasi. Pedagang kecil kehilangan tempat usaha, sementara pelaku UMKM terpaksa menghentikan produksi. Akibatnya, pendapatan rumah tangga menurun drastis, sementara pengeluaran justru meningkat untuk perbaikan rumah, kebutuhan pangan, dan biaya kesehatan.
Untuk bertahan, banyak warga mengandalkan tabungan, bantuan keluarga, atau pekerjaan sementara. Namun strategi ini bersifat jangka pendek.
Pemulihan ekonomi diperkirakan membutuhkan waktu 12–18 bulan, sementara pemulihan investasi bahkan dapat berlangsung hingga 14–20 bulan. Tanpa intervensi kebijakan yang tepat, kelompok masyarakat berpenghasilan rendah berisiko terjebak dalam kemiskinan pascabencana.
Pemulihan Berbasis Masyarakat dan Kebijakan Berkelanjutan
Pemulihan pascabanjir tidak cukup dilakukan melalui bantuan darurat semata. Pemerintah daerah perlu mengembangkan kebijakan yang berorientasi jangka panjang dan berbasis kebutuhan masyarakat lokal.
Perbaikan infrastruktur vital, dukungan modal bagi UMKM, pendampingan petani, serta penciptaan lapangan kerja sementara merupakan langkah strategis yang perlu diprioritaskan.
Selain itu, penguatan sistem peringatan dini dan pengelolaan lingkungan menjadi bagian penting dari upaya mitigasi bencana. Pencegahan kerusakan lingkungan dan perencanaan tata ruang yang berkelanjutan akan mengurangi risiko bencana serupa di masa depan sekaligus melindungi sumber penghidupan masyarakat.
Penutup
Banjir di Sumatera Barat menunjukkan bahwa bencana bukan hanya persoalan alam, tetapi juga persoalan sosial dan ekonomi.
Di balik kerentanan yang terungkap, terdapat pula kekuatan masyarakat lokal dalam membangun solidaritas dan ketahanan.
Dengan kebijakan yang berpihak pada pengalaman dan kebutuhan warga, proses pemulihan tidak hanya mampu mengembalikan kondisi semula, tetapi juga membangun fondasi masyarakat yang lebih tangguh menghadapi bencana di masa depan. []
Mahasiswa Ekonomi Syariah UIN Imam Bonjol Padang*)




