Oleh : Rahma Nurul Sakinah*)
PENDAHULUAN
Generasi Z atau yang sering disebut Gen Z adalah kelompok individu yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Generasi ini tumbuh ditengah perkembangan teknologi yang sangat pesat, di mana media sosial dan internet menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Akses informasi yang tanpa batas membuat Gen Z menjadi generasi yang kritis, kreatif, dan melek teknologi. Namun, di balik keunggulan tersebut, muncul berbagai tantangan psikologis baru, salah satunya adalah overthinking atau berpikir berlebihan.
Rasa insecure dan overthinking adalah dua hal yang sering dialami oleh banyak orang, terutama di era digital yang penuh dengan informasi dan kompetisi. Rasa insecure adalah ketidakpercayaan diri atau ketakutan akan penilaian orang lain, Sedangkan overthinking adalah kecenderungan untuk memikirkan sesuatu secara berlebihan atau negatif.
Kedua hal ini dapat berdampak buruk bagi kesehatan mental dan fisik, serta mengganggu hubungan sosial dan produktivitas seseorang.
Bagi Gen Z, tekanan untuk tampil dan berprestasi datang dari berbagai arah. Media sosial, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, menghadirkan lautan perbandingan yang nyaris tanpa akhir.
Melihat pencapaian teman sebaya, standar kecantikan atau gaya hidup yang ideal, hingga ekspektasi sosial yang dibangun oleh algoritma, sering kali menimbulkan rasa kurang mampu dan tidak cukup baik. Tidak sedikit yang akhirnya terjebak dalam siklus pikiran negatif: merasa gagal, merasa tidak sebanding, atau merasa harus membuktikan diri secara terus-menerus.
Dalam banyak kasus, insecure overthinking muncul bahkan tanpa pemicu yang jelas seolah menjadi kebiasaan mental yang sulit dihentikan.
PEMBAHASAN
Overthinking berasal dari kata “over” (berlebihan) dan “thinking” (berpikir). Secara sederhana, Overthinking diartikan sebagai kebiasaan seseorang untuk memikirkan suatu hal secara berlebihan dan terus-menerus, bahkan setelah hal tersebut selesai.
Menurut Nolen-Hoeksema (2000), Overthinking adalah proses berpikir negatif yang berulang dan mendalam terhadap suatu masalah tanpa menghasilkan solusi nyata. Sedangkan Insecure adalah perasaan tidak aman, cemas, dan kurang percaya diri yang membuat seseorang merasa ragu akan kemampuan, nilai diri, atau posisinya, seringkali ditandai dengan membandingkan diri, khawatir berlebihan, dan mudah merasa iri atau cemburu, yang bisa disebabkan pengalaman buruk atau tekanan sosial.
Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan signifikan dalam pola kehidupan dan interaksi sosial generasi muda. Generasi muda saat ini tidak dapat dilepaskan dari penggunaan teknologi digital, khususnya media sosial, dalam kehidupan sehari-hari.
“Generasi Z (Gen Z), yang lahir di era digital, tumbuh bersama perkembangan teknologi dan media sosial. Media Sosial merupakan situs dimana seseorang dapat membuat web page pribadi dan terhubung dengan setiap orang yang bergabung dalam media sosial yang sama untuk berbagi informasi dan melakukan komunikasi”. (Fronika,2019).
Berdasarkan data dari Lembaga Statistika (2017), pengguna media sosial di Indonesia mencapai 96 juta jiwa pada tahun 2017 dan terus meningkat hingga tahun 2022.
Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah seiring meningkatnya kelahiran anak-anak Gen Z yang secara alami lebih terpapar teknologi digital sejak dini. Kecenderungan ini menjadikan gen z sebagai generasi yang paling intens dalam menggunakan media sosial, dengan rata-rata durasi penggunaan mencapai 5-8 jam per hari.
Menurut Damanik, bila dilihat dari segi usia mahasiswanya berumur dengan rentang antara usia 18 s/d 30 tahun dan masuk dalam kelompok generasi milenial dan generasi 2 (genZ). (Damanik, 2025).
Di tengah fenomena tersebut, muncul kekhawatiran mengenai dampak Overexposure merujuk pada kondisi di mana seseorang terlalu sering dan terlalu lama terpapar informasi digital, dalam hal ini konten media sosial, tanpa jeda yang memadai. Negatif dari penggunaan media sosial yang berlebihan atau dikenal sebagai overexposure.
Paparan terus-menerus terhadap inforrnasi, tren, dan perbandingan sosial dapat menimbulkan kelelahan mental, tekanan emosional, dan bahkan gangguan psikologis seperti kecemasan, perasaan tidak berharga, dan depresi.
Masa remaja merupakan fase penting dalam perkembangan psikososial. Menurut Potter & Perry menyebutkan bahwa usia remaja (11-20 tahun) ditandai dengan perubahan fisik, psikologis, dan sosial yang signifikan.
Masa remaja sering kali menjadi masa krisis identitas, pencarian jati diri, serta meningkatnya kebutuhan akan pengakuan sosial. Dalam konteks ini, media sosial dapat menjadi pedang bermata dua: di satu sisi memberikan ruang eksplorasi diri, namun di sisi lain berpotensi menekan dan memicu gangguan mental jika tidak digunakan secara bijak.
Berdasarkan hasil wawancara, seluruh responden mengakses media sestal setiap hari, dengan rata-rata durasi 5-8 jam. Rata-rata, mereka mulai aktif menggunakan media sosial sejak usia 12 sampai 14 tahun.
Platform yang paling sering digunakan adalah Instagram, TikTok, dan Twitter. Hal ini cenderung didorong oleh motif hiburan dan kesenangan dengan frekuensi tinggi namun singkat, serta dipengaruhi oleh situasi emosional seperti bosan atau santai, hai hal ini mencerminkan kebutuhan psikologis dan sosial membentuk kebiasaan digital mereka.
Dua responden menyebutkan secara spesifik bahwa mereka mengakses TikTok sebelum tidur, yang berpotensi mengganggu kualitas tidur. Hal itu dapat menyebabkan overthinking dan mimpi buruk. Dua responden juga mengindikasikan bahwa 7 dari 10 responden mengaku pernah merasa “down” atau sangat tertekan setelah mengakses media sosial.
Sehingga, sebagian responden menyadari pentingnya pengendalian diri dan mulai menerapkan strategi seperti: Membatasi waktu layar harian dengan aplikasi pengatur waktu, Menghapus sementara aplikasi saat sedang stress atau menjelang ujian, Memilih konten positif dan edukatif, Mengikuti akun- akun yang memotivasi dan meninggalkan akun yang menimbulkan tekanan mental.
Namun, sebagian lainnya merasa kesulitan berhenti karena media social telah menjadi bagian dari gaya hidup, sehingga diperlukan dukungan dari keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial.
Penelitian oleh Nolen-Hoeksema menyebutkan bahwa “rumination dapat meningkatkan risiko stres, kecemasan, dan depresi karena pikiran negatif yang berulang membuat seseorang terjebak pada situasi mental yang melelahkan” (Nolen-Hoeksema, 2000).
Kemudian Gen Z juga menghadapi lingkungan akademik yang lebih kompetitif dibanding generasi sebelumnya. Mereka dihadapkan pada tuntutan untuk mendapatkan nilai tinggi, masuk perguruan tinggi terbaik, memiliki prestasi non-akademik, hingga merencanakan karier sejak dini.
Kondisi ini menyebabkan sebagian besar dari mereka terus memikirkan masa depan secara berlebihan. Overthinking biasanya berupa dua bentuk utama: Rumination (memikirkan masa lalu secara berulang), Worrying (kekhawatiran berlebih tentang masa depan).
Selain tekanan akademik, banjir informasi mengenai standar kesuksesan seperti “harus sukses sebelum usia 25 tahun” atau “harus punya usaha sendiri” membuat remaja berpikir mereka harus mencapai segalanya dalam waktu cepat.
Hal ini memperparah kecenderungan overthinking. Insecure dan overthinking memiliki hubungan yang sangat erat. Ketika seseorang merasa tidak percaya diri, ia cenderung memikirkan kekurangan dirinya secara terus-menerus.
Sebaliknya, overthinking dapat memperkuat rasa tidak aman dan memunculkan penilaian negatif terhadap diri sendiri. Penelitian psikologi perkembangan menunjukkan bahwa konsep diri yang tidak stabil membuat remaja lebih rentan mengalami gangguan emosional seperti kecemasan dan stres (Santrock, 2014).
PENUTUP
Fenomena insecure dan overthinking di kalangan Generasi Z merupakan isu yang semakin nyata seiring pesatnya perkembangan teknologi dan media sosial.
Paparan informasi yang berlebihan (overexposure), tekanan sosial, serta tingginya tuntutan akademik menjadi faktor utama yang memengaruhi kondisi psikologis remaja masa kini.
Temuan dari hasil wawancara memperlihatkan bahwa sebagian besar Gen Z mengakses media sosial dalam durasi panjang, bahkan sejak usia sangat muda. Kebiasaan ini tidak hanya membentuk pola pikir dan perilaku digital mereka, tetapi juga berdampak pada kesehatan mental, seperti munculnya kecemasan, stres, gangguan tidur, hingga perasaan tidak berharga.
Insecure dan overthinking saling berhubungan erat, di mana ketidakpercayaan diri mendorong pikiran negatif yang berulang, sementara overthinking memperkuat rasa tidak aman yang sudah ada.
Kombinasi ini dapat menghambat perkembangan psikososial remaja, terutama pada masa pencarian jati diri. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran dan pengendalian diri dalam penggunaan media sosial, didukung oleh lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Upaya seperti membatasi waktu layar, memilih konten yang positif, serta menjaga keseimbangan antara aktivitas digital dan kehidupan nyata dapat membantu mengurangi dampak negatif tersebut.
Dengan pemahaman yang tepat mengenai penyebab dan dampaknya, diharapkan Gen Z mampu membangun konsep diri yang lebih sehat, meningkatkan ketahanan mental, serta menggunakan teknologi secara bijak.
Kesadaran kolektif dan pendampingan yang memadai menjadi kunci dalam membantu generasi ini melewati tantangan psikologis yang mereka hadapi di era digital. []
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam STAI-PIQ Sumatera Barat*)




