“Kasih Ibu Sepanjang Masa”

Tak ada hari yang sepenuhnya siap tanpa kehadiran seorang ibu

Oleh : Ir. Nurul Jannah, MM, Ph.D

Aku menulis kali ini sebagai catatan seorang anak yang telah kehilangan ibunya lebih dari tiga puluh tahun lalu, dan baru mengerti banyak hal setelah semuanya tak bisa diulang.

Dulu, ketika ibu masih ada, waktu terasa seperti sahabat yang murah hati. Seolah esok selalu tersedia. Seolah ibu akan selalu duduk di tempatnya, menunggu, tanpa pernah benar-benar pergi.

“Makan dulu, Nduk. Nanti keburu dingin.”

Kalimat itu dulu terasa biasa. Sekarang, ia terdengar seperti doa yang dulu tak sempat kupeluk lebih lama.

Ibu jarang bercerita tentang mimpinya sendiri. Ia lebih sering bertanya tentang kami, anak-anaknya.

“Kamu capek?”

“Uangnya cukup?”

“Jangan lupa salat, ya.”

Aku biasanya menjawab seperlunya. Kadang sambil lalu. Kadang sambil berjalan. Kadang sambil berpikir, “nanti saja ngobrolnya.”

Aku tidak tahu saat itu bahwa “nanti” adalah kata yang paling sering menipu kami, anak-anaknya.

Ibu juga tidak pernah mengeluh dengan suara. Jika lelah, ia hanya duduk sedikit lebih lama. Jika sedih, ia menyapu rumah lebih pelan. Jika kecewa, ia menatap lebih jauh ke luar jendela.

“Ibu nggak apa-apa, kok.”

Itu kalimat favoritnya. Dan aku, dengan polosnya, memercayainya.

Padahal sekarang aku tahu, “nggak apa-apa” adalah cara paling halus seorang ibu menyembunyikan luka.

Bertahun-tahun setelah ibu pergi, aku baru memahami: kasih ibu tidak bekerja di saat-saat besar.

Ia bekerja setiap hari, di hal-hal kecil yang tak pernah kita catat. Di piring yang selalu terisi lebih dulu. Di baju yang rapi tanpa kita tahu kapan disetrikanya. Di doa yang mengalir bahkan saat kita lupa menyebut namanya dalam doa kita sendiri.

Aku masih ingat satu sore menjelang maghrib. Ibu duduk di sampingku, menyisir rambutku pelan, seperti sedang menenangkan waktu.

“Kalau Ibu nggak ada nanti, kamu harus bisa jaga dirimu sendiri.”

Aku tertawa waktu itu. “Ah, Ibu. Ibu kan sehat.”

Ia tersenyum. Tidak menjawab. Hanya melanjutkan menyisir rambutku, lebih lama dari biasanya.

Sekarang baru aku memahami. Ada kalimat ibu yang baru terdengar maknanya setelah ia tiada.

Dan, hari ketika ibu pergi, tidak ada suara petir. Tidak ada tanda besar. Hanya ada sunyi yang tiba-tiba menetap.

Sejak itu, rumah tidak pernah benar-benar sama. Karena tak ada lagi suara yang bertanya dengan sungguh-sungguh: “Kamu sudah makan?”

Maka, untukmu yang masih memiliki ibu, aku tidak ingin mengajarimu apa pun.

Aku hanya ingin bercerita dari sisi yang telah kehilangan, dari jarak yang tak bisa dipeluk kembali.

Peluklah ibumu, tanpa menunggu alasan. Dengarkan ceritanya, meski terdengar berulang. Jawab pesannya, meski singkat.

Karena suatu hari, semua itu hanya tinggal ingatan.

Kini, setiap kali aku bersujud, aku menyebut namanya tanpa suara, agar rindu yang menyesak ini punya tempat berlabuh.

Aku tidak lagi berani berharap waktu kembali.

Aku hanya berharap ingatan ini cukup hangat untuk menuntunku pulang. Kadang, di sela napas yang tenang, aku merasa ibu lewat sebentar, bukan sebagai bayangan, melainkan sebagai ketenteraman.

Kini aku hidup dengan rindu yang tidak lagi menuntut jawaban; ia hanya tinggal, seperti debu tipis di perabot lama yang tak pernah benar-benar dibersihkan.

Aku menyebut namanya dalam hati, tanpa suara, tanpa harap untuk kembali. Cukup agar langkahku tidak terlalu bising saat melewati hari.

Jika suatu waktu aku mampu tersenyum lepas, itu karena aku telah mampu berjalan perlahan di atasnya. Membawa kenangan indah tentang Ibu sebagai penyeimbang, sebagaimana dulu ia menata rumah. Diam, rapi, dan tidak pernah meminta dilihat.❤‍🔥🌹🎀.

Jakarta, 27 Desember 2025

Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)

Exit mobile version